Lompat ke isi

Hujan

Ini adalah artikel bagus. Klik untuk informasi lebih lanjut.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari 🌦)

Awan badai hitam yang di bawahnya terdapat lembaran hujan abu-abu jatuh di dataran rumput.
Corong hujan di bawah badai petir.

Hujan (bahasa Inggris: rain) adalah sebuah presipitasi berwujud cairan, berbeda dengan presipitasi noncair seperti salju, batu es dan campuran hujan dengan salju. Hujan memerlukan keberadaan lapisan atmosfer tebal agar dapat menemui suhu di atas titik leleh es di dekat dan di atas permukaan Bumi. Di Bumi, hujan adalah proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air yang cukup berat untuk jatuh dan biasanya tiba di daratan. Dua proses yang mungkin terjadi bersamaan dapat mendorong udara semakin jenuh menjelang hujan, yaitu pendinginan udara atau penambahan uap air ke udara. Virga adalah presipitasi yang jatuh ke Bumi namun menguap sebelum mencapai daratan; inilah satu cara penjenuhan udara. Presipitasi terbentuk melalui tabrakan antara butir air atau kristal es dengan awan. Butir hujan memiliki ukuran yang beragam mulai dari pepat, mirip panekuk (butir besar), hingga bola kecil (butir kecil).

Hujan di daerah Kalimantan Selatan

Kelembapan yang bergerak di sepanjang zona perbedaan suhu dan kelembapan tiga dimensi yang disebut front cuaca adalah metode utama dalam pembuatan hujan. Jika pada saat itu terdapat kelembapan dan gerakan ke atas yang cukup, hujan akan jatuh dari awan konvektif (awan dengan gerakan kuat ke atas) seperti kumulonimbus (badai petir) yang dapat terkumpul menjadi ikatan hujan sempit. Di kawasan pegunungan, hujan deras bisa terjadi jika aliran atas lembah meningkat di sisi atas angin permukaan pada ketinggian yang memaksa udara lembap mengembun dan jatuh sebagai hujan di sepanjang sisi pegunungan. Di sisi bawah angin pegunungan, iklim gurun dapat terjadi karena udara kering yang diakibatkan aliran bawah lembah yang mengakibatkan pemanasan dan pengeringan massa udara. Pergerakan truf monsun, atau zona konvergensi intertropis, membawa musim hujan ke iklim sabana. Hujan adalah sumber utama air tawar di sebagian besar daerah di dunia, menyediakan kondisi cocok untuk keragaman ekosistem, juga air untuk pembangkit listrik hidroelektrik dan irigasi ladang. Curah hujan dihitung menggunakan pengukur hujan. Jumlah curah hujan dihitung secara aktif oleh radar cuaca dan secara pasif oleh satelit cuaca.

Dampak pulau panas perkotaan mendorong peningkatan curah hujan dalam jumlah dan intensitasnya di bawah angin perkotaan. Pemanasan global juga dapat mengakibatkan perubahan pola hujan di seluruh dunia, termasuk suasana hujan di timur Amerika Utara dan suasana kering di wilayah tropis. Hujan adalah komponen utama dalam siklus air dan penyedia utama air tawar di planet ini. Curah hujan rata-rata tahunan global adalah 990 milimeter (39 in). Sistem pengelompokan iklim seperti sistem pengelompokan iklim Köppen menggunakan curah hujan rata-rata tahunan untuk membantu membedakan kawasan-kawasan iklim. Antartika adalah benua terkering di Bumi. Di daerah lain, hujan juga pernah turun dengan kandungan metana, besi, neon, dan asam sulfur.

Pembentukan

Udara lembap

Udara berisikan uap air dan sejumlah air dalam massa udara kering, disebut Rasio Pencampuran, diukur dalam satuan gram air per kilogram udara kering (g/kg).[1][2] Jumlah kelembapan di udara juga disebut sebagai kelembapan relatif; yaitu persentase total udara uap air yang dapat bertahan pada suhu udara tertentu.[3] Jumlah uap air yang dapat ditahan udara sebelum melembap (100% kelembapan relatif) dan membentuk awan (sekumpulan air kecil dan tampak dan partikel es yang tertahan di atas permukaan Bumi)[4] bergantung pada suhunya. Udara yang lebih panas memiliki lebih banyak uap air daripada udara dingin sebelum melembap. Karena itu, satu-satunya cara untuk melembapkan udara adalah dengan mendinginkannya. Titik embun adalah suhu yang dicapai dalam pendinginan udara untuk melembapkan udara tersebut.[5]

Ada empat mekanisme utama dalam pendinginan udara hingga titik embunnya: pendinginan adiabatik, pendinginan konduktif, pendinginan radiasional, dan pendinginan evaporatif. Pendinginan adiabatik terjadi ketika udara naik dan menyebar.[6] Udara dapat naik karena konveksi, gerakan atmosfer berskala besar, atau perintang fisik seperti pegunungan (pengangkatan orografis). Pendinginan konduktif terjadi ketika udara bertemu permukaan yang lebih dingin,[7] biasanya tertiup dari satu permukaan ke permukaan lain, misalnya dari permukaan air ke daratan yang lebih dingin. Pendinginan radiasional terjadi karena emisi radiasi inframerah yang muncul akibat udara ataupun permukaan di bawahnya.[8] Pendinginan evaporatif terjadi ketika kelembapan masuk dalam udara melalui penguapan, sehingga memaksa suhu udara mendingin hingga suhu bulb basah, atau mencapai titik kelembapan.[9]

Cara utama uap air dapat bergabung dengan udara adalah ketika angin berkonvergensi ke wilayah gerakan ke atas,[10] presipitasi atau virga yang jatuh dari atas,[11] pemanasan siang hari yang menguapkan air dari permukaan laut, badan air atau tanah basah,[12] transpirasi tumbuhan,[13] udara dingin atau kering yang bergerak di perairan panas,[14] dan udara yang naik di pegunungan.[15] Uap air biasanya mulai mengembun di nuklei kondensasi seperti debu, es, dan garam untuk membentuk awan. Bagian-bagian tinggi front cuaca (tiga dimensi)[16] memaksa wilayah luas melakukan gerakan ke atas di atmosfer Bumi sehingga membentuk dek awan seperti altostratus atau sirostratus.[17] Stratus adalah dek awan stabil yang terbentuk ketika udara dingin dan stabil terperangkap di bawah massa udara panas. Awan ini juga dapat terbentuk akibat pengangkatan kabut adveksi ketika kondisi berangin.[18]

Koalesensi

Diagram memperlihatkan bahwa butir hujan terkecil berbentuk hampir bulat. Ketika butir semakin besar, bentuknya semakin pepat di bawah seperti roti hamburger. Butir hujan terbesar terpisah menjadi butir-butir kecil karena resistensi air yang membuatnya semakin tidak stabil.
Bentuk butir hujan menurut ukurannya

Koalesensi terjadi ketika butir air bergabung membentuk butir air yang lebih besar, atau ketika butir air membeku menjadi kristal es yang dikenal sebagai proses Bergeron. Resistensi udara mengakibatkan butiran air mengambang di awan. Ketika turbulensi udara terjadi, butiran air bertabrakan dan menghasilkan butiran yang lebih besar. Butiran air besar ini turun dan koalesensi terus berlanjut, sehingga butiran menjadi cukup berat untuk melawan resistensi udara dan jatuh sebagai hujan. Koalesensi umumnya sering terjadi di awan atas titik beku dan dikenal sebagai proses hujan hangat.[19] Di awan bawah titik beku, kristal es mulai jatuh ketika memiliki massa yang cukup. Umumnya, kristal membutuhkan massa yang lebih besar daripada koalesensi yang terjadi antara kristal dan butiran air sekitarnya. Proses ini bergantung kepada suhu, karena butiran air superdingin hanya ada di awan bawah titik beku. Selain itu, karena perbedaan suhu yang besar antara awan dan permukaan, kristal-kristal es ini bisa mencair ketika jatuh dan menjadi hujan.[20]

Butiran hujan memiliki beragam ukuran mulai dari diameter rata-rata 0,1 milimeter (0,0039 in) hingga 9 milimeter (0,35 in), di atas itu butiran akan terpisah-pisah. Butiran kecil disebut butiran awan dan berbentuk bola. Butiran hujan besar semakin pepat di bawah seperti roti hamburger, butiran terbesar berbentuk mirip parasut.[21] Berbeda dengan kepercayaan masyarakat, bentuk butir hujan yang asli justru tidak mirip air mata.[22] Butiran hujan terbesar di Bumi tercatat di Brasil dan Kepulauan Marshall pada tahun 2004—beberapa di antaranya sebesar 10 milimeter (0,39 in). Ukuran besar ini disebabkan oleh pengembunan partikel asap besar atau tabrakan antara sekelompok kecil butiran dengan air tawar yang banyak.[23]

Intensitas dan durasi hujan biasanya berkaitan terbalik yang berarti badai intensitas tinggi memiliki durasi pendek dan badai intensitas rendah memiliki durasi panjang.[24][25] Butir hujan pada hujan es cair cenderung lebih besar daripada butiran hujan lain.[26] Butir hujan jatuh pada kecepatan terminalnya, lebih besar untuk butiran besar karena massanya yang lebih besar terhadap rasio tarikan. Di permukaan laut tanpa angin, gerimis 0,5 milimeter (0,020 in) jatuh dengan kecepatan 2 meter per detik (4,5 mph), sementara butiran besar 5 milimeter (0,20 in) jatuh pada kecepatan 9 meter per detik (20 mph).[27] Suara butir hujan menabrak air disebabkan oleh gelembung air berosilasi di bawah air.[28][29] Kode METAR untuk hujan adalah RA, sementara kode untuk hujan deras adalah SHRA.[30]

Sebab

Klasifikasi awan troposfer berdasarkan ketinggian kemunculannya. Jenis-jenis genus bertingkat dan vertikal tidak terbatas pada satu tingkat ketinggian saja; termasuk nimbostratus, cumulonimbus, dan beberapa spesies cumulus yang lebih besar.
Tahapan kehidupan awan kumulonimbus.
Awan calvus kumulonimbus di atas Teluk Meksiko di Galveston, Texas.
Nimbostratus precipitation
Pelangi di depan awan Nimbostratus Ns di sore hari.
Badai petir disertai hujan dan angin. Petir memainkan peran penting dalam siklus nitrogen dengan mengoksidasi nitrogen diatomik di udara menjadi nitrat yang diendapkan oleh hujan dan dapat menyuburkan pertumbuhan tanaman dan organisme lainnya.
Bagian atas awan badai menjadi bermuatan positif sementara bagian tengah hingga bawah awan badai menjadi bermuatan negatif.
Curah hujan per jam di sebagian wilayah Jawa dan sekitarnya saat terjadinya Siklon Cempaka.
Siklon Ockhi menyebabkan hujan di Maladewa.
Hujan frontal adalah jenis hujan yang terjadi karena adanya pertemuan antara massa udara hangat yang cukup besar dengan massa udara dingin yang cukup besar juga.
Perenggan atau biasa disebut Fron adalah permukaan pemisah antara dua macam massa udara dan merupakan pembatas yang memisahkan badai cuaca buruk dengan kondisi cuaca normal

Aktivitas frontal

Hujan stratiform (perintang hujan besar dengan intensitas yang relatif sama) dan dinamis (hujan konvektif yang alaminya deras dengan perubahan intensitas besar dalam jarak pendek) terjadi sebagai akibat dari naiknya udara secara perlahan dalam sistem sinoptis (satuan cm/detik), seperti di sekitar daerah front dingin dan dekat front panas permukaan. Kenaikan sejenis juga terjadi di sekitar siklon tropis di luar dinding mata, dan di pola hujan sekitar siklon lintang tengah.[31] Berbagai jenis cuaca dapat ditemukan di sepanjang front tutupan dengan kemungkinan terjadinya badai petir, namun biasanya jalur mereka dikaitkan dengan penguapan massa air. Front tutupan biasanya terbentuk di sekitar daerah bertekanan rendah.[32] Hal yang memisahkan curah hujan dari presipitasi lainnya, seperti butir es dan salju, adalah adanya lapisan tebal udara yang tinggi dengan suhu di atas titik cair es, yang mencairkan hujan beku sebelum mencapai tanah. Jika ada lapisan dangkal dekat permmukaan yang suhunya di bawah titik beku, hujan beku (hujan yang membeku setelah bersentuhan dengan permukaan di lingkungan sub-beku) akan terjadi.[33] Hujan es semakin jarang terjadi ketika titik beku di atas atmosfer melebihi ketinggian 11.000 kaki (3.400 m) di atas permukaan laut.[34]

Konvektif

Diagram memperlihatkan udara lembap menjadi lebih panas daripada sekitarnya, udara bergerak ke atas dan menyebabkan hujan deras singkat.
Hujan konvektif

Hujan konvektif, atau hujan deras, berasal dari awan konvektif seperti kumulonimbus atau kumulus kongestus. Hujan ini jatuh deras dengan intensitas yang cepat berubah. Hujan konvektif jatuh di suatu daerah dalam waktu yang relatif singkat, karena awan konvektif memiliki bentangan horizontal terbatas. Sebagian besar hujan di daerah tropis bersifat konvektif; namun, selain hujan konvektif, hujan stratiform juga diduga terjadi.[31][35] Graupel dan hujan es menandakan konveksi.[36] Di lintang tengah, hujan konvektif berselang-seling dan sering dikaitkan dengan batasan baroklinis seperti front dingin, garis squall, dan front panas.[37]

Efek orografis

Diagram memperlihatkan bagaimana udara lembap di samudra naik dan bergerak ke daratan, menyebabkan pembekuan dan hujan turun ketika awan melintasi untaian pegunungan.
Hujan orografis

Hujan orografis terjadi di sisi atas angin pegunungan dan disebabkan oleh gerakan udara lembap berskala besar ke atas melintasi pegunungan, mengakibatkan pendinginan dan kondensasi adiabatik. Di daerah berpegunungan dunia yang mengalami angin relatif tetap (misalnya angin dagang), iklim yang lebih lembap biasanya lebih menonjol di sisi atas angin gunung daripada sisi bawah angin gunung. Kelembapan tidak ada karena pengangkatan orografis, meninggalkan udara yang lebih kering (lihat angin katabatik) di sisi bawah angin yang menurun dan menghangatkan serta menjadi tempat pengamatan bayangan hujan.[15]

Di Hawaii, Gunung Wai'ale'ale, di pulau Kauai, terkenal karena curah hujannya yang ekstrem dan memiliki curah hujan rata-rata tahunan tertinggi kedua di dunia, 460 inci (12.000 mm).[38] Sistem badai Kona membasahi negara bagian ini dengan hujan deras antara Oktober dan April.[39] Iklim setempat bervariasi di masing-masing pulau karena topografinya, terbagi menjadi kawasan atas angin (Koʻolau) dan bawah angin (Kona) berdasarkan lokasi relatif terhadap pegunungan tinggi. Sisi atas angin memaparkan wilayah timur terhadap angin dagang timur laut dan menerima lebih banyak hujan; sisi bawah angin lebih kering dan cerah, dengan sedikit hujan dan cakupan awan.[40]

Di Amerika Selatan, untaian pegunungan Andes menghalangi kelembapan Pasifik yang datang ke benua ini, mengakibatkan iklim gurun di bawah angin melintasi Argentina Barat.[41] Pegunungan Sierra Nevada menciptakan efek yang sama di Amerika Utara denngan membentuk Great Basin dan Gurun Mojave.[42][43]

Wilayah tropis

Tabel memperlihatkan sebuah kota di Australia dengan hujan 450 mm pada musim dingin dan kurang dari 50 mm pada musim panas.
Penyebaran hujan bulanan di Cairns memperlihatkan batas musim hujan di daerah tersebut

Musim hujan adalah masa dalam suatu tahun yang terjadi selama satu atau beberapa bulan ketika sebagian besar hujan rata-rata tahunan suatu daerah jatuh di tempat tersebut.[44] Istilah musim hijau juga kadang digunakan sebagai eufemisme oleh pihak pariwisata.[45] Wilayah dengan musim hujan tersebar di beberapa kawasan tropis dan subtropis.[46] Iklim dan wilayah sabana dengan cuaca monsun memiliki musim panas hujan dan musim dingin kemarau. Hutan hujan tropis teknisnya tidak memiliki musim kemarau atau hujan, karena hujan tersebar merata sepanjang tahu.[47] Sejumlah daerah dengan musim hujan akan mengalami jeda dalam pertengahan musim hujan ketika zona konvergensi intertropis atau truf monsun bergerak ke kutub dari lokasinya selama pertengahan musim panas.[48] Ketika musim hujan terjadi selama musim panas, hujan lebih sering turun selama akhir sore dan awal malam. Musim hujan adalah masa ketika kualitas udara[49] dan air segar membaik,[50][51] dan tanaman tumbuh subur.

Siklon tropis, sumber curah hujan sangat deras, terdiri dari massa udara besar beberapa ratus mil dengan tekanan rendah di pusatnya dan angin bertiup ke pusat searah jarum jam (belahan Bumi selatan) atau berlawanan arah jarum jam (belahan Bumi utara).[52] Meski siklon dapat mengakibatkan kematian dan kerusakan properti yang besar, inilah faktor penting dalam penguasaan hujan atas suatu daerah, karena siklon dapat membawa hujan yang sangat dibutuhkan di wilayah kering.[53] Wilayah di sepanjang jalurnya dapat menerima jatah hujan setahun penuh melalui satu kali peristiwa siklon tropis.[54]

Pengaruh manusia

Citra Atlanta, Georgia memperlihatkan penyebaran suhu, warna biru berarti suhu dingin, merah hangat, dan putih panas.

Zat partikulat yang dihasilkan oleh gas buang mobil dan sumber-sumber polusi lain membentuk nuklei kondensasi awan, yang mendorong pembentukan awan dan meningkatnya kemungkinan hujan. Akibat polusi lalu lintas penglaju dan komersial menumpuk sepanjang minggu, kemungkinan hujan meningkat: hujan memuncak pada Sabtu setelah lima hari penumpukan polusi. Di daerah padat penduduk dekat pesisir, seperti Pesisir Timur Amerika Serikat, dampaknya bisa dramatis: ada kemungkinan hujan 22% lebih tinggi pada hari Sabtu daripada Senin.[55] Dampak pulau panas perkotaan memanaskan kota sebesar 0,6 °C (1,1 °F) hingga 5,6 °C (10,1 °F) di atas kawasan pinggiran kota dan pedesaan sekitarnya. Panas tambahan ini mendorong gerakan yang lebih besar ke atas dan menyebabkan aktivitas hujan deras dan badai petir tambahan. Tingkat curah hujan di bawah angin kota meningkat antara 48% dan 116%. Sebagai akibat pemanasan ini, curah hujan bulanan 28% lebih besar antara 20 mil (32 km) hingga 40 mil (64 km) di bawah angin kota, jika dibandingkan dengan atas angin.[56] Sejumlah kota mengakibatkan curah hujan total meningkat sebesar 51%.[57]

Peta penyebaran suhu dunia memperlihatkan belahan Bumi utara lebih panas daripada belahan Bumi selatan selama periode tersebut.
Anomali suhu permukaan rata-rata pada periode 1999 hingga 2008 dibandingkan dengan suhu rata-rata dari 1940 hingga 1980

Suhu yang meningkat cenderung meningkatkan penguapan yang dapat mendorong lebih banyak hujan. Jumlah peristiwa hujan meningkat di daratan sebelah utara 30°N sejak 1900 hingga 2005, namun mulai menurun di kawasan tropis sejak 1970-an. Di seluruh dunia, tidak ada kecenderungan presipitasi keseluruhan secara statistik dalam satu abad terakhir, meski kecenderungan hujan bervariasi menurut daerah dan waktunya. Wilayah timur Amerika Utara dan Selatan, Eropa Utara, dan Asia Tengah semakin basah, Sahel, Mediterania, Afrika bagian Selatan, dan beberapa bagian Asia Selatan semakin kering. Terjadi peningkatan jumlah peristiwa hujan deras di berbagai daerah dalam satu abad terakhir, termasuk peningkatan sejak 1970-an akibat banyaknya kekeringan—khususnya di wilayah tropis dan subtropis. Perubahan curah hujan dan penguapan di samudra diakibatkan oleh berkurangnya salinitas di perairan lintang tengah dan tinggi (berarti lebih banyak hujan) dan meningkatnya salinitas di lintang rendah (berarti sedikit hujan dan/atau banyak penguapan). Di daratan Amerika Serikat, total curah hujan tahunan meningkat dengan tingkat rata-rata 6,1 persen per abad sejak 1900, dengan peningkatan tertinggi terjadi di wilayah iklim Tengah Utara Timur (11,6 persen per abad) dan Selatan (11,1 persen). Hawaii adalah satu-satunya wilayah yang mengalami penurunan (-9,25 persen).[58]

Upaya mempengaruhi cuaca yang paling sukses adalah penyemaian awan yang melibatkan teknik peningkatan presipitasi musim dingin di atas pegunungan dan mengurangi hujan es.[59]

Macam-Macam Hujan

Ada beberapa macam jenis hujan yang akan kita bahas di bawah ini yang terjadi berdasar proses terjadinya.

Hujan Frontal

Macam hujan yang pertama adalah hujan frontal. Hujan frontal adalah jenis hujan yang terjadi karena adanya pertemuan antara massa udara hangat yang cukup besar dengan massa udara dingin yang cukup besar juga. Dari pertemuan itulah, maka hujan ini dinamakan dengan hujan frontal. Selain itu, pertemuan antara dua massa itu juga menyebabkan terjadinya turbulensi.

Bukan hanya dapat terjadi turbulensi saja, tetapi hujan frontal yang berasal dari pertemuan antara dua massa juga bisa menyebabkan suhu berubah menjadi dingin secara mendadak. Kemudian, dari suhu yang sangat dingin itu menghasilkan kondensasi dan menghasilkan hujan frontal.

Hujan frontal bisa dibilang cukup berbahaya karena bisa menghasilkan petir secara bersamaan dalam bentuk. Adapun lamanya hujan frontal ini diperkirakan dapat bertahan selama beberapa menit atau bahkan bisa terjadi sampai beberapa jam. Sedangkan wilayah atau daerah yang sering terjadi hujan frontal adalah daerah dengan lintang sedang.

Oleh sebab itu, ketika hujan frontal terjadi, sebaiknya kita segera mencari tempat untuk berteduh agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Lebih baik lagi, kalau kita memulai aktivitas kembali setelah hujan frontal selesai.

Hujan Konvekti

Hujan konvektif adalah proses hujan yang terjadi karena adanya ketidaksamaan panas antara lapisan udara dan permukaan tanah. Semakin tinggi di atmosfer, maka udara dengan suhu tinggi akan berubah menjadi udara dingin, sampai uap air mengembun akhirnya mulai membentuk awan kumulus yang jatuh sebagai hujan.

Namun, jenis hujan ini tidak terjadi di seluruh daerah, tetapi hanya di sebagian kecil, sehingga Anda mungkin hanya melihat hujan lebat di beberapa daerah dan tidak melihat hujan lebat di daerah sekitarnya.

Jenis hujan ini juga dikenal dengan hujan lebat. Adapun asal dari hujan ini adalah berasal dari awan konvektif, seperti awan cumulonimbus. Seperti namanya, maka curah hujan ini sangat deras dan terjadi dengan intensitas yang dapat berubah dengan cepat.

Pada umumnya, hujan jenis ini, hanya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini dikarenakan jangkauan horizontal dari awan konvektif hanya terbatas. Selain itu, hujan ini biasanya terjadi di daerah tropis.

Sementara itu, di lintang tengah, curah hujan konvektif ini terputus-putus dan seringkali dihubungkan dengan batas barklinik, seperti front hangat, front dingin, dan front datar.

Hujan Orografis

Curah hujan geologis atau orografis terjadi di sisi angin pegunungan dan disebabkan oleh pergerakan skala besar udara lembab di atas pegunungan, sehingga mengakibatkan pendinginan dan kondensasi adiabatik. Di daerah pegunungan, biasanya memiliki angin yang relatif stabil (seperti angin pasat). Selain itu, daerah pegunungan juga memiliki iklim yang lebih basah dan seringkali lebih menonjol di sisi pegunungan yang melawan arah angin daripada di sisi arah angin.

Hujan orografis adalah jenis hujan yang terjadi karena gerakan lurus ke atas angin yang mengandung uap air. Angin mengambil jalan naik ke daerah tinggi di gunung, suhu udara menjadi dingin, sehingga terjadi pengembunan uap air yang kemudian hujan turun di sekitar pegunungan. Hujan ini menyebabkan bayangan hujan (satu sisi gunung tidak terkena hujan geologis).

Angin laut sering terjadi di daerah perbukitan atau pegunungan karena proses ini diciptakan oleh angin masuk yang mendorong udara ke arah perbukitan dan pegunungan atau hutan hujan tropis tempat berbagai spesies hewan hidup.

Kemudian, udara di atas bukit mulai mendingin. Ketika mencapai kelembapan, perlahan-lahan mengembun menjadi awan, yang kemudian jatuh seperti tetesan hujan di permukaan bumi.

Hujan Muson

Hujan muson adalah jenis hujan yang disebabkan oleh angin muson atau angin yang menimbulkan hujan dan musim kemarau. Angin muson bertiup dari daratan Asia ke Australia dengan variasi musiman. Ketika angin ini melintasi lautan, ada banyak uap air dan hujan. Hujan ini biasanya turun di beberapa bagian India, Asia Tenggara dan beberapa daerah lainnya.

Hujan muson adalah hujan musiman yang disebabkan oleh muson. Di Indonesia, hujan karena angin muson timur yang menyebabkan angin dingin turun dari Oktober hingga April selama musim hujan. Angin musim dingin bertiup dari Australia ke Asia. Angin ini membawa awan dan hujan lebat karena sedang musim dingin di Australia.

Hujan Siklon

Hujan siklon dapat berakibat positif bagi semua makhluk hidup dan diharapkan oleh semua makhluk hidup di bumi. Biasanya terjadi di daerah yang dilintasi garis khatulistiwa. Hujan ini dimulai dengan awan yang sangat gelap. Fitur yang menentukan dari hujan ini dapat dilihat sebagai awan gelap yang tiba-tiba dan menghasilkan hujan yang sangat deras.

Hujan ini disebabkan oleh udara hangat, suhu lingkungan yang tinggi dan angin rotasi yang disebabkan oleh pertemuan angin pasat timur laut dan pasat tenggara.

Hujan Asam

Hujan asam adalah jenis hujan yang terjadi karena karbon dioksida di udara (CO2) terlarut dalam air hujan. Hasil senyawa tersebut akan mengubah air menjadi lebih asam dengan pH lebih rendah dari biasanya, di bawah 5,6. Sementara itu, air hujan normal memiliki pH 6 hingga 7.

Penyebab hujan asam dapat berupa letusan gunung berapi atau pembakaran bahan bakar fosil dari proses di pembangkit listrik dan kendaraan bermotor, mesin, bahan bakar alat berat, industri manufaktur, kilang dan lain-lain.

Hujan ini bermanfaat bagi tumbuhan dan hewan karena dapat mempercepat penguraian mineral di dalam tanah. Hujan ini mempercepat proses korosi besi. Namun, hujan ini berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat.

Jika intensitasnya tinggi, pemberian pakan dapat mengubah komposisi tanah dan air,, sehingga tidak cocok untuk tanaman dan hewan.

Penyemaian awan dapat dilakukan melalui generator darat, pesawat, atau roket
Generator kimia penyemai hujan Berbasis Darat – Colorado, AS

Tidak seperti jenis lainnya, hujan ini buatan manusia dengan teknik menciptakan lebih banyak hujan. Biasanya dilakukan karena tidak pernah hujan atau untuk memadamkan api yang biasanya terjadi pada kebakaran hutan.

Metode reduksi hujan ini mengalami proses fisik yaitu dengan melibatkan proses tumbukan dan aglomerasi (tumbukan dan aglomerasi) yang kemudian diolah dengan proses pembentukan es atau nukleasi es. Awan air yang cukup diperlukan agar hujan turun ke tanah. Selain itu, beberapa bibit dapat menyerap kelembapan atau membentuk es.

Hujan buatan dapat membantu daerah yang mengalami kekeringan, mengisi waduk, danau, dan keperluan air bersih. Hujan buatan juga dapat membantu mengurangi polusi udara dengan menghasilkan deposisi basah.

Hujan buatan dapat menyebabkan banjir jika tidak tepat sasaran. Hujan buatan juga dapat menyebabkan pemanasan global, mengubah siklus hidrologi, hujan salah musim, dan membahayakan pasokan air tanah di musim kemarau. Penggunaan kristal garam AgI yang berlebihan dapat mempengaruhi ekosistem tanah dan air.

Modifikasi cuaca

Kru Proyek Stormfury pada tahun 1969 di depan Douglas DC-6 yang digunakan untuk penyemaian awan

Modifikasi cuaca merupakan sebuah upaya dan usaha manusia dengan menerapkan teknologi yang mempengaruhi sistem awan untuk mengkondisikan cuaca agar berperilaku lebih mengarah sesuai dengan yang dibutuhkan.[60] Modifikasi cuaca juga dapat bertujuan untuk mencegah terjadinya cuaca yang membahayakan, seperti hujan es atau angin topan ; atau memprovokasi cuaca yang berbahaya terhadap musuh dalam peperangan, sebagai taktik perang militer atau ekonomi seperti Operasi Popeye , di mana awan disebarkan untuk memperpanjang musim hujan di Vietnam. Modifikasi cuaca dalam peperangan telah dilarang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di bawah ENMOD.

Gambaran masa depan Mesin pengendali cuaca pada tahun 2000. Gambar kolektor dari perusahaan coklat Theodor Hildebrand & Sohn dari tahun 1900

Kepercayaan populer di Eropa Utara bahwa penembakan dapat mencegah hujan es menyebabkan banyak kota pertanian menembakkan meriam tanpa amunisi. Para veteran Perang Tujuh Tahun , perang Napoleon , dan Perang Saudara Amerika melaporkan bahwa hujan turun setelah setiap pertempuran besar. Setelah cerita mereka dikumpulkan dalam Perang dan Cuaca, Departemen Perang Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 membeli bubuk mesiu dan bahan peledak senilai $9.000 untuk meledakkannya di Texas, dengan harapan dapat mengembunkan uap air menjadi hujan . Hasil tes yang diawasi oleh Robert Dyrenforth tidak meyakinkan.[61]

Wilhelm Reich melakukan eksperimen cloudbusting pada tahun 1950an, yang hasilnya kontroversial dan tidak diterima secara luas oleh ilmu pengetahuan arus utama.

Tari hujan

Tarian hujan Dumagat ditampilkan di San Jose del Monte, Filipina, 2023

Tari hujan adalah tarian yang dilakukan untuk menurunkan hujan dan juga untuk melindungi panen.

Berbagai interpretasi "tari hujan" dapat ditemukan di berbagai kebudayaan, dari Mesir Kuno sampai beberapa suku asli Amerika. Tarian ini masih dapat ditemukan pada abad ke 20 di Balkan, di ritual bernama Paparuda (Romania) atau Perperuna (Slavia).

Karakteristik

Pola

Ikatan badai petir terlihat di tampilan radar cuaca

Ikatan hujan adalah wilayah awan dan presipitasi yang panjang. Gelombang hujan dapat bersifat stratiform atau konvektif,[62] dan terbentuk akibat perbedaan suhu. Jika dilihat melalui pencitraan radar cuaca, perpanjangan presipitasi ini disebut sebagai struktur terikat.[63] Ikatan hujan mendahului front tutupan panas dan front panas dikaitkan dengan gerakan lemah ke atas,[64] dan cenderung lebar serta bersifat stratiform.[65]

Ikatan hujan yang muncul dekat dan mendahului front dingin bisa jadi merupakan garis squall yang mampu menghasilkan tornado.[66] Ikatan hujan yang dikaitkan dengan front dingin dapat dibelokkan oleh pegunungan lurus terhadap orientasi front karena pembentukan jet penghalang tingkat rendah.[67] Ikatan badai petir dapat terbentuk bersama angin laut dan angin darat jika kelembapan yang diperlukan untuk membentuknya ada pada saat itu. Jika ikatan hujan angin laut cukup aktif mendahului front dingin, mereka mampu menutupi lokasi front dingin tersebut.[68]

Ketika siklon menutupi langit, sebuah truf udara panas tinggi (trough of warm air aloft), atau "trowal", akan terjadi akibat angin selatan yang kuat di perbatasan timurnya berputar-putar tinggi mengitari kawasan timur lautnya, dan mengarah ke periferi (juga disebut sabuk pengangkut panas) barat lautor, memaksa truf permukaan berlanjut ke sektor dingin lengkungan yang sama menuju front tutupan. Trowal menciptakan bagian dari siklon tutupan yang disebut sebagai kepala koma, karena bentuk awan pertengahan troposfer seperti koma yang menyertai fenomena ini. Ini juga bisa menjadi fokus atas presipitasi lokal yang deras, dengan kemungkinan badai petir jika atmosfer di sepanjang trowal cukup stabil untuk menciptakan konveksi.[69] Pengikatan di dalam pola presipitasi kepala koma suatu siklon ekstratropis dapat menandakan hujan deras.[70] Di balik siklon ekstratropis pada musim gugur dan dingin, ikatan hujan dapat terbentuk di bawah angin permukaan air panas seperti Danau-Danau Besar. Di bawah angin kepulauan, ikatan hujan deras dan badai petir dapat terbentuk karena konvergensi angin tingkat rendah di bawah angin batas pulau. Di lepas pantai California, hal ini terjadi ketika adanya peningkatan front dingin.[71]

Ikatan hujan dengan siklon tropis memiliki orientasi melengkung. Siklon tropis berisikan hujan deras dan badai petir yang, bersama dinding mata dan mata, membentuk hurikan atau badai tropis. Batas ikatan hujan di sekitar siklon tropis dapat membantu menentukan intensitas siklon tersebut.[72]

Keasaman

Siklus hujan asam

pH hujan selalu bervariasi yang umumnya dikarenakan daerah asal hujan tersebut. Di pesisir timur Amerika, hujan yang berasal dari Samudra Atlantik biasanya memiliki pH 5,0-5,6; hujan yang berasal dari seberang benua (barat) memiliki pH 3,8-4,8; dan badai petir lokal memiliki pH serendah 2,0.[73] Hujan menjadi asam karena keberadaan dua asam kuat, yaitu asam belerang (H2SO4) dan asam nitrat (HNO3). Asam belerang berasal dari sumber-sumber alami seperti gunung berapi dan lahan basah (bakteri penghisap sulfat); dan sumber-sumber antropogenik seperti pembakaran bahan bakar fosil dan pertambangan yang mengandung H2S. Asam nitrat dihasilkan oleh sumber-sumber alami seperti petir, bakteri tanah, dan kebakaran alami; selain itu juga sumber-sumber antropogenik seperti pembakaran bahan bakar fosil dan pembangkit listrik. Dalam 20 tahun terakhir, konsentrasi asam nitrat dan asam belerang dalam air hujan telah berkurang yang dikarenakan adanya peningkatan amonium (terutama amonia dari produksi ternak) yang berperan sebagai penahan hujan asam dan meningkatkan pH-nya.[74]

Pengelompokan iklim Köppen

Peta iklim Köppen-Geiger terbaru[75]
  Af
  Am
  Aw
  BWh
  BWk
  BSh
  BSk
  Csa
  Csb
  Cwa
  Cwb
  Cfa
  Cfb
  Cfc
  Dsa
  Dsb
  Dsc
  Dsd
  Dwa
  Dwb
  Dwc
  Dwd
  Dfa
  Dfb
  Dfc
  Dfd
  ET
  EF

Klasifikasi Köppen bergantung pada nilai suhu dan presipitasi rata-rata bulanan. Bentuk klasifikasi Köppen yang umum digunakan memiliki lima jenis utama mulai dari A hingga E. Jenis utama tersebut adalah A, tropis; B, kering; C, sejuk lintang menengah; D, dingin lintang menengah; dan E, kutub. Lima klasifikasi utama ini dapat dibagi lagi menjadi klasifikasi sekunder seperti hutan hujan, monsun, sabana tropis, subtropis lembap, daratan lembap, iklim lautan, iklim mediterania, stepa, iklim subarktik, tundra, daratan es kutub, dan gurun.

Hutan hujan ditandai dengan curah hujan tinggi yang minimum normal tahunnya antara 1.750 milimeter (69 in) dan 2.000 milimeter (79 in).[76] Sebuah sabana tropis adalah bioma daratan rumput yang terletak di kawasan iklim semi-gersang hingga semi-lembap di lintang subtropis dan tropis dengan curah hujan antara 750 milimeter (30 in) dan 1.270 milimeter (50 in) per tahun. Sabana tropis tersebar di Afrika, India, wilayah utara Amerika Selatan, Malaysia, dan Australia.[77] Zona iklim subtropis lembap adalah daerah yang hujan musim dinginnya dikaitkan dengan badai besar yang diarahkan angin westerlies dari barat ke timur. Kebanyakan hujan musim panas terjadi selama badai petir dan siklon tropis.[78] Iklim subtropis lembap terletak di daratan sebelah timur, antara lintang 20° dan 40° derajat dari khatulistiwa.[79]

Iklim lautan (atau oseanik/maritim) dapat dijumpai di sepanjang pesisir barat di lintang tengah seluruh benua di dunia, berbatasan dengan lautan dingin dan wilayah tenggara Australia, dan memiliki presipitasi besar sepanjang tahun.[80] Iklim mediterania membentuk iklim benua di Cekungan Mediterania, sebagian wilayah barat Amerika Utara, sebagian Australia Barat dan Selatan, wilayah barat daya Afrika Selatan dan sebagian wilayah tengah Chili. Iklim ini ditandai oleh musim panas yang panas dan kering dan musim dingin yang dingin dan basah.[81] Stepa adalah daratan rumput kering.[82] Iklim subarktik bersifat dingin dengan permafrost abadi dan presipitasi kecil.[83]

Pola Curah Hujan Indonesia

Peta yang menunjukkan perkiraan lokasi sabuk hujan tropis

Indonesia secara umum termasuk dalam kategori iklim tropis dengan dua musim yaitu penghujan dan kemarau. Akan tetapi sebaran curah hujan di setiap wilayah di Indonesia bervariasi karena berbagai faktor. Artinya di Indonesia tidak ada batas yang jelas antara musim penghujan dan musim kemarau karena Indonesia ada di wilayah Daerah Konvergensi Antar Tropik (DKAT).

Jadi kalau anda lihat berita di TV kebanyakan wilayah di pulau Jawa sudah mulai mengalami musim kemarau sedangkan beberapa wilayah di Sulawesi seperti Konawe Utara, Wajo dan Sidenreng Rappang mengalami banjir. Hal lainnya adalah jangan jangan beranggapan bahwa ketika sudah masuk musim hujan, maka semua daerah di Indonesia akan hujan. Berikut adalah pola pergerakan curah hujan yang ada di Indonesia.

Berdasarkan distribusi data rata-rata curah hujan bulanan, BMKG umumnya membagi wilayah Indonesia dibagi menjadi 3 pola hujan, sedangkan dari Kementerian Pertanian membagi 4 pola hujan, yaitu :

  1. Pola hujan monsun (Type monsoon), yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau kemudian dikelompokan dalam Zona Musim (ZOM), tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan, Desember-Januari-Februari (DJF) musim hujan, Juni-Juli-Agustus (JJA) musim kemarau). Seperti di wilayah Sumatera bagian timur dan selatan, Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan bagian selatan, Sulawesi Selatan bagian pantai barat, Sulawesi Tenggara bagian barat dan pulau buton/muna, Sulawesi Utara, Maluku bagian selatan dan Papua bagian pantai utara dan Merauke.
  2. Pola hujan equatorial (Type ekuatorial), yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kreteria musim hujan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi ekinoks. Seperti di wilayah Sumatera bagian barat, Kalimantan bagian utara, sebagian Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan (wilayah luwu raya dan toraja) dan Papua bagian tengah.
  3. Pola hujan Lokal (Type lokal), yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola monsun. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsun. Seperti di wilayah Parigi moutong, Palu, Luwuk Banggai, Kepulauan Banggai, Taliabu, Sula, Buru bagian selatan,Seram bagian selatan, Ambon, Sorong, Raja Ampat, Teluk Bintuni, Fak-fak dan Sulawesi Selatan bagian pantai timur.
  4. Pola hujan Multi Pattern, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan hampir merata tiap bulan, tidak ada puncak hujan dan kemarau yang segnifikan. Seperti di wilayah Kota Palu, Morowali Utara, Asmat, Mimika dan Kerinci

Pada kondisi normal, daerah yang bertipe hujan monsun akan mendapatkan jumlah curah hujan yang berlebih pada saat monsun barat dibanding saat monsun timur. Pengaruh monsun di daerah yang memiliki pola curah hujan ekuator kurang tegas akibat pengaruh insolasi pada saat terjadi ekinoks, demikian juga pada daerah yang memiliki pola curah hujan lokal yang lebih dipengaruhi oleh efek orografi .

Hujan di daerah Kalimantan Selatan

Pola umum curah hujan di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh letak geografis. Secara rinci pola umum hujan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:

  • Pantai sebelah barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak daripada pantai sebelah timur.
  • Curah hujan di Indonesia bagian barat lebih besar daripada Indonesia bagian timur. Sebagai contoh, deretan pulau-pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang dihubungkan oleh selat-selat sempit, jumlah curah hujan yang terbanyak adalah Jawa Barat.
  • Curah hujan juga bertambah sesuai dengan ketinggian tempat. Curah hujan terbanyak umumnya berada pada ketinggian antara 600 – 900 m di atas permukaan laut.
  • Di daerah pedalaman, di semua pulau musim hujan jatuh pada musim pancaroba. Demikian juga halnya di daerah-daerah rawa yang besar.

Ada beberapa daerah yang mendapat curah hujan sangat rendah dan ada pula daerah yang mendapat curah hujan tinggi:

  • Daerah yang mendapat curah hujan rata-rata per tahun kurang dari 1000 mm, meliputi 0,6% dari luas wilayah Indonesia, di antaranya Nusa Tenggara, dan 2 daerah di Sulawesi (lembah Palu dan Luwuk).
  • Daerah yang mendapat curah hujan antara 1000 – 2000 mm per tahun di antaranya sebagian Nusa Tenggara, daerah sempit di Merauke, Kepulauan Aru, dan Tanibar.
  • Daerah yang mendapat curah hujan antara 2000 – 3000 mm per tahun, meliputi Sumatera Timur, Kalimantan Selatan, dan Timur sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Tengah, sebagian Irian Jaya, Kepulauan Maluku dan sebagaian besar Sulawesi.
  • Daerah yang mendapat curah hujan tertinggi lebih dari 3000 mm per tahun meliputi dataran tinggi di Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, dataran tinggi Irian bagian tengah, dan beberapa daerah di Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba.

Grafik kota-kota pilihan

Iklim hutan hujan tropis

Pola hujan equatorial, Suhu rata-rata maks. dan min. dalam °C, Total presipitasi dalam mm

Padang, Indonesia
Tabel iklim (penjelasan)
JFMAMJJASOND
 
 
351
 
34
23
 
 
259
 
35
24
 
 
307
 
34
25
 
 
363
 
33
24
 
 
315
 
34
24
 
 
307
 
34
24
 
 
277
 
33
23
 
 
345
 
34
24
 
 
352
 
35
25
 
 
495
 
34
24
 
 
518
 
33
24
 
 
480
 
33
24
Suhu rata-rata maks. dan min. dalam °C
Total presipitasi dalam mm
Sumber: [1]
Pontianak, Indonesia
Tabel iklim (penjelasan)
JFMAMJJASOND
 
 
266
 
31
24
 
 
183
 
32
24
 
 
205
 
33
24
 
 
264
 
32
24
 
 
230
 
32
24
 
 
173
 
32
24
 
 
148
 
32
24
 
 
148
 
32
24
 
 
194
 
34
24
 
 
316
 
32
24
 
 
393
 
31
24
 
 
376
 
31
24
Suhu rata-rata maks. dan min. dalam °C
Total presipitasi dalam mm
Sumber: [2]

Iklim muson tropis

Pola hujan muson, Suhu rata-rata maks. dan min. dalam °C, Total presipitasi dalam mm

Denpasar, Indonesia
Tabel iklim (penjelasan)
JFMAMJJASOND
 
 
399
 
33
24
 
 
315
 
33
24
 
 
225
 
34
24
 
 
138
 
34
25
 
 
79
 
33
24
 
 
63
 
31
24
 
 
45
 
30
23
 
 
22
 
30
23
 
 
51
 
31
23
 
 
117
 
34
24
 
 
217
 
33
24
 
 
331
 
33
24
Suhu rata-rata maks. dan min. dalam °C
Total presipitasi dalam mm
Sumber: BMKG[84][85]
Jakarta, Indonesia
Tabel iklim (penjelasan)
JFMAMJJASOND
 
 
363
 
31
24
 
 
323
 
31
24
 
 
191
 
32
25
 
 
153
 
32
25
 
 
110
 
33
25
 
 
75
 
33
25
 
 
66
 
32
24
 
 
53
 
33
25
 
 
61
 
33
25
 
 
111
 
33
25
 
 
124
 
32
25
 
 
196
 
31
25
Suhu rata-rata maks. dan min. dalam °C
Total presipitasi dalam mm
Sumber: BMKG[86]

Pengukuran

Alat ukur

Pengukur hujan standar
Stasiun Curah Hujan Telemetri

Cara standar untuk mengukur curah hujan atau curah salju adalah menggunakan pengukur hujan standar, dengan variasi plastik 100-mm (4-in) dan logam 200-mm (8-in).[87] Tabung dalam diisi dengan 25 mm (0,98 in) hujan, limpahannya mengalir ke tabung luar. Pengukur plastik memiliki tanda di tabung dalam hingga resolusi 0,25 mm (0,0098 in), sementara pengukur logam membutuhkan batang yang dirancang dengan tanda 0,25 mm (0,0098 in). Setelah tabung dalam penuh, isinya dibuang dan diisi dengan air hujan yang tersisa di tabung luar sampai tabung luar kosong, sehingga menjumlahkan total keseluruhan sampai tabung luar kosong.[88] Jenis pengukuran lain adalah pengukur hujan sepatu yang populer (pengukur termurah dan paling rentan), ember miring, dan beban.[89] Untuk mengukur curah hujan dengan cara yang murah, kaleng silindris dengan sisi tegak dapat dipakai sebagai pengukur hujan jika dibiarkan berada di tempat terbuka, namun akurasinya bergantung pada penggaris yang digunakan untuk mengukur hujan. Semua pengukur hujan tadi dapat dibuat sendiri dengan pengetahuan yang memadai.[90]

Ketika penghitungan curah hujan dilakukan, berbagai jaringan muncul di seluruh Amerika Serikat dan tempat lain ketika penghitungan curah hujan dapat dikirimkan melalui Internet, seperti CoCoRAHS atau GLOBE.[91][92] Jika jariingan Internet tidak tersedia di daerah tempat tinggal, stasiun cuaca terdekat atau kantor meteorologi akan melakukan penghitungan.[93]

Satu milimeter curah hujan sama dengan satu liter air per meter persegi. Ini menyederhanakan penghitungan kebutuhan air untuk pertanian.[94]

Sensor jarak jauh

Akumulasi curah hujan 24 jam di radar Val d'Irène, Kanada Timur. Zona tanpa data di timur dan barat daya disebabkan adanya sorotan sinar dari pegunungan. (Sumber: Environment Canada)

Salah satu kegunaan utama radar cuaca adalah mampu menilai jumlah curah hujan yang jatuh di cekungan besar untuk keperluan hidrologis.[95] Misalnya, pengendalian banjir sungai, pengelolaan selokan bawah tanah, dan pembangunan bendungan adalah semua bidang yang memerlukan data akumulasi curah hujan. Perhitungan curah hujan radar melengkapi data stasiun darat yang dapat digunakan untuk kalibrasi. Untuk menghasilkan akumulasi radar, tingkat hujan di satu titik dihitung menggunakan nilai data reflektivitas pada satu titik jaringan. Persamaan radar kemudian dipakai, yaitu

,

Z berarti reflektivitas radar, R berarti tingkat curah hujan, dan A dan b adalah konstanta.[96] Perhitungan curah hujan satelit memakai instrumen gelombang mikro pasif di atas orbit kutub serta satelit cuaca geostasioner untuk mengukur tingkat curah hujan secara tidak langsung.[97] Untuk menghasilkan akumulasi curah hujan pada satu periode waktu tertentu, semua akumulasi dari masing-masing kotak jaringan di dalam gambar pada waktu itu harus dijumlahkan.

Intensitas

Intensitas curah hujan dikelompokkan menurut tingkat presipitasi:

  • Gerimis — ketika tingkat presipitasinya < 2,5 milimeter (0,098 in) per jam
  • Hujan sedang — ketika tingkat presipitasinya antara 2,5 milimeter (0,098 in) - 7,6 milimeter (0,30 in) atau 10 milimeter (0,39 in) per jam[98][99]
  • Hujan deras — ketika tingkat presipitasinya > 7,6 milimeter (0,30 in) per jam,[98] atau antara 10 milimeter (0,39 in) dan 50 milimeter (2,0 in) per jam[99]
  • Hujan badai — ketika tingkat presipitasinya > 50 milimeter (2,0 in) per jam[99]

Periode kembali

Kemungkinan suatu peristiwa dengan intensitas dan durasi tertentu disebut frekuensi atau periode kembali.[100] Intensitas badai dapat diperkirakan untuk periode kembali dan durasi badai apapun dengan melihat grafik yang didasarkan pada data historis lokasi hujan.[101] Istilah badai 1 dalam 10 tahun menjelaskan peristiwa hujan yang jarang dan hanya mungkin terjadi sekali setiap 10 tahun, sehingga hujan ini memiliki kemungkinan 10 persen setiap tahun. Hujan akan lebih deras dan banjir akan lebih buruk daripada badai terburuk yang terjadi dalam satu tahun. Istilah badai 1 dalam 100 tahun menjelaskan peristiwa hujan yang sangat jarang dan akan terjadi dengan kemungkinan sekali dalam satu abad, sehingga hujan ini memiliki kemungkinan 1 persen setiap tahun. Hujan akan menjadi ekstrem dan banjir lebih parah daripada peristiwa 1 dalam 10 tahun tersebut. Seperti semua peristiwa kemungkinan, "badai 1 dalam 100 tahun" bisa saja terjadi berkali-kali dalam satu tahun saja.[102]

Prakiraan hujan

Contoh prakiraan hujan lima hari dari Hydrometeorological Prediction Center

Prakiraan Presipitasi Kuantitatif (disingkat PPK; QPF dalam bahasa Inggris) adalah perkiraan jumlah presipitasi cair yang terkumpul dalam periode tertentu di suatu daerah.[103] PPK akan diperinci ketika jenis presipitasi terukurkan yang mencapai batas minimal merupakan prakiraan untuk setiap am selama periode sah PPK. Prakiraan presipitasi cenderung dibatasi oleh jam sinoptis seperti 0000, 0600, 1200 dan 1800 GMT. Relief daratan juga termasuk dalam PPK melalui pemakaian topografi atau berdasarkan pola presipitasi iklim dari hasil observasi dengan rincian jelas.[104] Dimulai pada pertengahan hingga akhir 1990-an, PPK digunakan dalam model prakiraan hidrologi untuk mensimulasikan dampak terhadap sungai di seluruh Amerika Serikat.[105] Model prakiraan memperlihatkan sensitivitas tertentu terhadap tingkat kelembapan di lapisan pelindung planet, atau di tingkat terendah atmosfer yang menurun seiring ketinggiannya.[106] PPK dapat dibuat dengan dasar prakiraan jumlah kuantitatif atau kemungkinan prakiraan jumlah kualitatif.[107] Teknik prakiraan citra radar memperlihatkan kemampuan yang lebih tinggi daripada prakiraan model dalam 6 hingga 7 jam waktu citra radar. Prakiraan dapat diverifikasi melalui pemakaian pengukur hujan, prakiraan radar cuaca, atau keduanya. Berbagai skor kemampuan dapat ditentukan untuk mengukur nilai prakiraan curah hujan.[108]

Dampak

Musim hujan memiliki dampak yang signifikan terhadap ekosistem, membawa sejumlah perubahan yang dapat bersifat positif maupun negatif terhadap lingkungan sekitarnya.

Dampak Positif
  • Penghidupan Tanaman, Musim hujan memberikan air yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Air hujan menghidrasi tanah, memungkinkan akar tanaman menyerap nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan optimal. Hal ini mendukung keanekaragaman flora di ekosistem.
  • Pengayaan Sumber Daya Air, Curah hujan yang tinggi berkontribusi pada pengisian kembali sumber daya air seperti sungai, danau, dan reservoir. Ini mendukung keberlanjutan ekosistem akuatik dan mengamankan pasokan air bagi masyarakat.
  • Peluang Pemulihan Lingkungan, Musim hujan dapat membantu pemulihan ekosistem yang terdampak kekeringan atau kebakaran hutan. Tanah yang sebelumnya kering dapat pulih dan mendukung pertumbuhan tanaman kembali.
Dampak Negatif
  • Banjir dan Longsor, Curah hujan yang berlebihan dapat menyebabkan banjir dan longsor. Banjir dapat merusak tanaman, membanjiri habitat, dan mengancam kehidupan manusia dan hewan. Longsor dapat menghancurkan habitat alami dan memicu kerugian ekologis.
  • Kerusakan Habitat, Hujan deras bisa merusak habitat alami, terutama pada ekosistem sungai dan rawa-rawa. Perubahan pola hujan ekstrem dapat merusak keberlanjutan ekosistem tertentu.
  • Penyakit dan Hama, Kelembaban yang tinggi selama musim hujan menciptakan lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan hama dan penyakit. Ini dapat membahayakan tanaman pertanian dan kesehatan manusia.
  • Kehilangan Keanekaragaman Hayati, Meskipun musim hujan mendukung pertumbuhan tanaman, kelebihan air dan perubahan lingkungan dapat menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati, terutama jika spesies tertentu tidak dapat beradaptasi dengan cepat.

Pertanian

Prakiraan hujan untuk Jepang Selatan dan sekitarnya pada 20–27 Juli 2009.

Presipitasi, khususnya hujan, memiliki dampak dramatis terhadap pertanian. Semua tumbuhan memerlukan air untuk hidup, sehingga hujan (cara mengairi paling efektif) sangat penting bagi pertanian. Pola hujan biasa bersifat vital untuk kesehatan tumbuhan, terlalu banyak atau terlalu sedikit hujan dapat membahayakan, bahkan merusak panen. Kekeringan dapat mematikan panen dan menambah erosi,[109] sementara terlalu basah dapat mendorong pertumbuhan jamur berbahaya.[110] Tumbuhan memerlukan beragam jumlah air hujan untuk hidup. Misalnya, kaktus tertentu memerlukan sedikit air,[111] sementara tanaman tropis memerlukan ratusan inci hujan per tahun untuk hidup.

Di daerah musim hujan dan kemarau, nutrien tanah tersapu dan erosi meningkat selama musim hujan.[48] Hewan memiliki strategi adaptasi dan bertahan hidup di wilayah basah. Musim kemarau sebelumnya mengakibatkan kelangkaan makanan menjelang musim hujan, karena tanaman panen harus tumbuh terlebih dahulu.[112] Negara-negara berkembang mencatat bahwa penduduknya memiliki fluktuasi berat badan musiman karena kelangkaan makanan sebelum panen pertama yang terjadi pada akhir musim hujan.[113] Hujan dapat ditampung menggunakan tangki air hujan; diolah agar dapat dikonsumsi, non-konsumsi dalam ruang atau irigasi.[114] Hujan berlebihan dalam waktu singkat dapat menyebabkan banjir bandang.[115]

Budaya

Tanggapan budaya terhadap hujan berbeda-beda di seluruh dunia. Di daerah beriklim sedang, masyarakat, terutama pria, cenderung kesal ketika cuaca tidak stabil atau berawan.[116] Hujan juga dapat membawa kebahagiaan dan dianggap menenangkan serta memiliki estetika yang dinikmati masyarakat. Di daerah kering seperti India,[117] atau ketika terjadi kekeringan di daerah lain,[118] hujan memperbaiki suasana hati masyarakat. Di Botswana, kata 'hujan' dalam bahasa Setswana, "pula", digunakan sebagai nama mata uang nasional karena pentingnya hujan terhadap ekonomi negara gurun ini.[119] Beberapa budaya mengembangkan cara menghadapi hujan dengan berbagai alat lindung seperti payung dan jas hujan, serta alat pengalihan seperti talang air dan drainase badai yang mengalirkan air hujan ke selokan.[120] Banyak orang mencium adanya bau yang menenangkan selama dan sesaat setelah hujan. Sumber bau ini adalah petrikor, minyak yang dihasilkan tumbuh-tumbuhan, kemudian diserap bebatuan dan tanah dan dilepaskan ke udara selama hujan berlangsung.[121]

Klimatologi global

Air sebanyak 505.000 kilometer kubik (121.000 cu mi) jatuh sebagai hujan setiap tahunnya di seluruh dunia, 398.000 kilometer kubik (95.000 cu mi) jatuh ke lautan.[122] Jika dibandingkan dengan luas permukaan Bumi, curah hujan rata-rata tahunan secara global mencapai 990 milimeter (39 in). Padang pasir ditetapkan sebagai wilayah dengan curah hujan rata-rata tahunan kurang dari 250 milimeter (10 in) per tahun,[123][124] atau sebagai wilayah ketika air lebih banyak yang menguap akibat evapotranspirasi daripada yang jatuh sebagai presipitasi.[125]

Gurun

Gurun-gurun terbesar

Setengah benua Afrika di bagian utara didominasi gurun pasir atau wilayah gersang, termasuk Gurun Sahara. Di Asia, wilayah yang curah hujan minimum tahunannya besar, sebagian besar terdiri dari gurun pasir mulai dari Gurun Gobi di barat-barat daya Mongolia melintasi barat Pakistan (Balochistan) dan Iran hingga Gurun Arab di Saudi Arabia. Sebagian besar Australia semi-gersang atau terdiri dari gurun pasir,[126] sehingga menjadikannya benua berpenghuni terkering di dunia. Di Amerika Selatan, untaian pegunungan Andes menahan kelembapan Samudra Pasifik yang tiba di benua ini, sehingga memunculkan iklim mirip gurun di wilayah barat Argentina.[41] Wilayah kering di Amerika Serikat adalah wilayah tempat gurun Sonora menyapu Desert Southwest, Great Basin, dan Wyoming bagian tengah.[127]

Wilayah basah

Wilayah khatulistiwa dekat Zona Konvergensi Intertropis (ITCZ), atau truf monsun, adalah wilayah terbasah di dunia. Setiap tahun, sabuk hujan di wilayah tropis bergerak ke utara pada bulan Agustus, kemudian bergerak kembali ke selatan menuju Belahan Bumi Selatan pada bulan Februari dan Maret.[128] Di Asia, hujan tersebar di seluruh wilayah selatan benua ini dari kawasan timur dan timur laut India hingga Filipina dan Cina selatan sampai Jepang karena monsun mengadveksikan kelembapan dari Samudra Hindia ke wilayah ini.[129] Truf monsun dapat memanjang ke utara hingga garis paralel ke-40 di Asia Timur pada bulan Agustus sebelum bergerak ke selatan. Pergerakannya ke kutub ini didorong oleh monsun musim panas yang ditandai dengan munculnya tekanan udara rendah (tekanan rendah panas) di kawasan terpanas Asia.[130][131] Sirkulasi monsun sejenis, namun lebih lemah, terjadi di Amerika Utara dan Australia.[132][133] Pada musim panas, monsun Barat Laut bersama kelembapan Teluk California dan Teluk Meksiko bergerak mengitari pegunungan subtropis di Samudera Atlantik, mengangkut badai petir sore dan malam di wilayah selatan Amerika Serikat dan Dataran Besar.[134] Daratan Amerika Serikat di sebelah timur meridian ke-98, pegunungan Barat Laut Pasifik, dan Sierra Nevada adalah wilayah terbasah di negara ini, dengan curah hujan rata-rata melebihi 30 inci (760 mm) per tahun.[135] Siklon tropis mendorong terjadinya hujan di seluruh wilayah selatan Amerika Serikat,[136] serta Puerto Riko, Kepulauan Virgin Amerika Serikat,[137] Kepulauan Mariana Utara,[138] Guam, dan Samoa Amerika.

Dampak Westerlies

Hujan rata-rata jangka panjang menurut bulan

Westerly bergerak dari garis depan sejuk Atlantik Utara ke daerah lembap di Eropa Barat, terutama Britania Raya, yang pesisir baratnya menerima curah hujan antara 1.000 mm (39 in) di permukaan laut dan 2.500 mm (98 in) di pegunungan setiap tahunnya. Bergen, Norwegia adalah salah satu kota hujan terkenal di Eropa dengan curah hujan rata-rata tahunan mencapai 2.250 mm (89 in). Selama musim gugur, dingin, dan semi, sistem badai Pasifik mengangkut sebagian besar hujan untuk Hawaii dan Amerika Serikat bagian barat.[134] Di puncak pegunungan, arus jet membawa hujan maksimum musim panas ke Danau-Danau Besar. Kawasan badai petir besar bernama kompleks konvektif skala meso bergerak ke Dataran Besar, Barat Tengah, dan Danau-Danau Besar selama musim panas, sehingga menyumbang 10% hujan tahunan di wilayah ini.[139]

Osilasi Selatan-El Niño mempengaruhi persebaran hujan dengan mengacaukan pola hujan di seluruh Amerika Serikat bagian Barat,[140] Barat Tengah,[141][142] Tenggara,[143] dan wilayah tropis. Ada pula bukti bahwa pemanasan global mendorong peningkatan hujan di Amerika Utara bagian timur, sementara kekeringan semakin sering terjadi di wilayah tropis dan subtropis.

Daerah terlembap

Cherrapunji, terletak di lereng selatan Himlaya Timur di Shillong, India adalah salah satu kawasan terlembap atau terbasah di Bumi, dengan curah hujan rata-rata tahunan mencapai 11.430 mm (450 in). Curah hujan tertinggi yang tercatat dalam satu tahun adalah 22.987 mm (905,0 in) pada 1861. Rata-rata 38 tahun di Mawsynram, Meghalaya, India adalah 11.873 mm (467,4 in).[144] Daerah terlembap di Australia adalah Mount Bellenden Ker di timur laut negara ini yang memiliki curah hujan rata-rata 8.000 milimeter (310 in) per tahun. Pada 2000, curah hujan di daerah ini mencetak rekor tertinggi yaitu 12.200 mm (480,3 in).[145] Mount Waialeale di pulau Kaua'i di Kepulauan Hawaii memiliki curah hujan rata-rata lebih dari 11.680 milimeter (460 in) dalam 32 tahun terakhir, dengan rekor 17.340 milimeter (683 in) tahun 1982. Puncaknya dianggap sebagai salah satu daerah terbasah di Bumi. Daerah ini telah dipromosikan dalam literatur wisata selama beberapa tahun sebagai tempat terbasah di Bumi.[146] Lloró, sebuah kota di Chocó, Kolombia, dianggap sebagai daerah dengan curah hujan terukur terbesar di dunia, rata-rata mencapai 13.300 mm (520 in) per tahun.[147] Departemen Chocó sangat lembap. Tutunendo, sebuah kota di departemen ini merupakan salah satu tempat yang diperkirakan terlembap di Bumi, rata-rata tahunannya mencapai 11.394 mm (448,6 in); pada tahun 1974, kota ini memiliki curah hujan 26.303 mm (86 ft 3,6 in), curah hujan tahunan terbesar yang pernah diukur di Kolombia. Tidak seperti Cherrapunji yang hujan antara April dan September, Tutunendo mengalami hujan tersebar merata sepanjang tahun.[148] Quibdó, ibu kota Chocó, mengalami hujan paling banyak di Bumi di antara kota-kota lebih dari 100.000 jiwa, yaitu 9.000 milimeter (350 in) per tahun.[147] Badai di Chocó dapat menghasilkan curah hujan 500 mm (20 in) dalam satu hari. Jumlah ini lebih banyak daripada curah hujan di berbagai kota di dunia dalam satu tahun.

Benua  Rata-rata tertinggi (inci/mm)  Wilayah  Ketinggian (kaki/m)   Tahun Pencatatan 
 Amerika Selatan   523,6 in (13.299 mm)*   Lloró, Kolombia[a][b]   520 ft (158 m)*[c]   29 
 Asia   467,4 in (11.872 mm)*   Mawsynram, India[a][d]   4.597 ft (1.401 m)*   39 
 Oseania   460,0 in (11.684 mm)*   Mount Waiʻaleʻale, Kauai, Hawaii (AS)[a]   5.148 ft (1.569 m)*   30 
 Afrika   405,0 in (10.287 mm)*   Debundscha, Kamerun   30 ft (9,1 m)*   32 
 Amerika Selatan   354,0 in (8.992 mm)*   Quibdo, Kolombia   120 ft (36,6 m)*   16 
 Australia   340,0 in (8.636 mm)*   Mount Bellenden Ker, Queensland   5.102 ft (1.555 m)*   9 
 Amerika Utara   256,0 in (6.502 mm)*   Henderson Lake, British Columbia   12 ft (3,66 m)*   14 
 Eropa   183,0 in (4.648 mm)*   Crkvice, Montenegro   3.337 ft (1.017 m)*   22 
Sumber (tanpa konversi): Global Measured Extremes of Temperature and Precipitation, National Climatic Data Center. August 9, 2004.[149]
Benua Wilayah Curah hujan tertinggi  Referensi 
Curah hujan rata-rata tahunan tertinggi  Asia  Mawsynram, India  467,4 in (11.872 mm)*  [150]
Tertinggi dalam satu tahun  Asia  Cherrapunji, India  1,042 in (26 mm)*  [151]
Tertinggi dalam satu bulan  Asia  Cherrapunji, India  366 in (9.296 mm)* [151]
Tertinggi dalam 24 jam  Samudra Hindia  Fac Fac, Pulau La Reunion  73 in (1.854 mm)* [152]
Tertinggi dalam 12 jam  Samudra Hindia  Belouve, Pulau La Reunion  53 in (1.346 mm)* [151]
Tertinggi dalam satu menit  Amerika Utara  Guadeloupe, Kepulauan Karibia  1,5 in (38 mm)* [152]

Lihat pula

Catatan

  • abc Nilai yang diberikan adalah yang tertinggi di benua ini dan bisa jadi di dunia tergantung cara, prosedur dan periode pengukuran berbagai pencatatan.
  • ^ Curah hujan rata-rata tahunan tertinggi resmi di Amerika Selatan adalah 354 inci di Quibdo, Kolombia. Rata-rata 523.6 inci di Lloro, Kolombia [14 mil tenggara dan ketinggian lebih tinggi dari Quibdo] hanyalah jumlah perkiraan.
  • ^ Perkiraan ketinggian.
  • ^ Dianggap "Tempat Terlembap di Bumi" oleh Guinness Book of World Records.[150]

Referensi

  1. ^ Steve Kempler (2009). "Parameter information page". NASA Goddard Space Flight Center. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-11-26. Diakses tanggal 2008-12-27. 
  2. ^ Mark Stoelinga (2005-09-12). Atmospheric Thermodynamics (PDF). University of Washington. hlm. 80. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2010-06-02. Diakses tanggal 2010-01-30. 
  3. ^ Glossary of Meteorology (June 2000). "Relative Humidity". American Meteorological Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-07. Diakses tanggal 2010-01-29. 
  4. ^ Glossary of Meteorology (June 2000). "Cloud". American Meteorological Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-04-19. Diakses tanggal 2010-01-29. 
  5. ^ Naval Meteorology and Oceanography Command (2007). "Atmospheric Moisture". United States Navy. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-04-15. Diakses tanggal 2008-12-27. 
  6. ^ Glossary of Meteorology (2009). "Adiabatic Process". American Meteorological Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-18. Diakses tanggal 2008-12-27. 
  7. ^ TE Technology, Inc (2009). "Peltier Cold Plate". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-01-01. Diakses tanggal 2008-12-27. 
  8. ^ Glossary of Meteorology (2009). "Radiational cooling". American Meteorological Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-05-12. Diakses tanggal 2008-12-27. 
  9. ^ Robert Fovell (2004). "Approaches to saturation" (PDF). University of California in Los Angelese. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-02-25. Diakses tanggal 2009-02-07. 
  10. ^ Robert Penrose Pearce (2002). Meteorology at the Millennium. Academic Press. hlm. 66. ISBN 978-0-12-548035-2. Diakses tanggal 2009-01-02. 
  11. ^ National Weather Service Office, Spokane, Washington (2009). "Virga and Dry Thunderstorms". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-05-22. Diakses tanggal 2009-01-02. 
  12. ^ Bart van den Hurk and Eleanor Blyth (2008). "Global maps of Local Land-Atmosphere coupling" (PDF). KNMI. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-02-25. Diakses tanggal 2009-01-02. 
  13. ^ Krishna Ramanujan and Brad Bohlander (2002). "Landcover changes may rival greenhouse gases as cause of climate change". National Aeronautics and Space Administration Goddard Space Flight Center. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-06-03. Diakses tanggal 2009-01-02. 
  14. ^ National Weather Service JetStream (2008). "Air Masses". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-10-17. Diakses tanggal 2009-01-02. 
  15. ^ a b Dr. Michael Pidwirny (2008). "CHAPTER 8: Introduction to the Hydrosphere (e). Cloud Formation Processes". Physical Geography. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-20. Diakses tanggal 2009-01-01. 
  16. ^ Glossary of Meteorology (June 2000). "Front". American Meteorological Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-05-14. Diakses tanggal 2010-01-29. 
  17. ^ David Roth. "Unified Surface Analysis Manual" (PDF). Hydrometeorological Prediction Center. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2012-05-10. Diakses tanggal 2006-10-22. 
  18. ^ FMI (2007). "Fog And Stratus - Meteorological Physical Background". Zentralanstalt für Meteorologie und Geodynamik. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-12-12. Diakses tanggal 2009-02-07. 
  19. ^ Glossary of Meteorology (June 2000). "Warm Rain Process". American Meteorological Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-09. Diakses tanggal 2010-01-15. 
  20. ^ Paul Sirvatka (2003). "Cloud Physics: Collision/Coalescence; The Bergeron Process". College of DuPage. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-05-03. Diakses tanggal 2009-01-01. 
  21. ^ Alistair B. Fraser (2003-01-15). "Bad Meteorology: Raindrops are shaped like teardrops". Pennsylvania State University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-07. Diakses tanggal 2008-04-07. 
  22. ^ United States Geological Survey (2009). "Are raindrops tear shaped?". United States Department of the Interior. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-11-14. Diakses tanggal 2008-12-27. 
  23. ^ Paul Rincon (2004-07-16). "Monster raindrops delight experts". British Broadcasting Company. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-21. Diakses tanggal 2009-11-30. 
  24. ^ J . S. 0guntoyinbo and F. 0. Akintola (1983). "Rainstorm characteristics affecting water availability for agriculture" (PDF). IAHS Publication Number 140. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-02-05. Diakses tanggal 2008-12-27. 
  25. ^ Robert A. Houze Jr (October 1997). "Stratiform Precipitation in Regions of Convection: A Meteorological Paradox?" (PDF). Bulletin of the American Meteorological Society. 78 (10): 2179–2196. doi:10.1175/1520-0477(1997)078<2179:SPIROC>2.0.CO;2. ISSN 1520-0477. Diakses tanggal 2008-12-27.  [pranala nonaktif]
  26. ^ Norman W. Junker (2008). "An ingredients based methodology for forecasting precipitation associated with MCS's". Hydrometeorological Prediction Center. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-04. Diakses tanggal 2009-02-07. 
  27. ^ "Falling raindrops hit 5 to 20 mph speeds". Weather Quest. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-07-01. Diakses tanggal 2008-04-08. 
  28. ^ Andrea Prosperetti and Hasan N. Oguz (1993). "The impact of drops on liquid surfaces and the underwater noise of rain". Annual Review of Fluid Mechanics. 25: 577–602. Bibcode:1993AnRFM..25..577P. doi:10.1146/annurev.fl.25.010193.003045. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-01-09. Diakses tanggal 2006-12-09. 
  29. ^ Ryan C. Rankin (2005). "Bubble Resonance". The Physics of Bubbles, Antibubbles, and all That. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-21. Diakses tanggal 2006-12-09. 
  30. ^ Alaska Air Flight Service Station (2007-04-10). "SA-METAR". Federal Aviation Administration. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-01. Diakses tanggal 2009-08-29. 
  31. ^ a b B. Geerts (2002). "Convective and stratiform rainfall in the tropics". University of Wyoming. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-12-19. Diakses tanggal 2007-11-27. 
  32. ^ David Roth (2006). "Unified Surface Analysis Manual" (PDF). Hydrometeorological Prediction Center. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2012-05-10. Diakses tanggal 2006-10-22. 
  33. ^ MetEd (2003-03-14). "Precipitation Type Forecasts in the Southeastern and Mid-Atlantic states". University Corporation for Atmospheric Research. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-09-30. Diakses tanggal 2010-01-30. 
  34. ^ "Meso-Analyst Severe Weather Guide". University Corporation for Atmospheric Research. 2003-01-16. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2003-03-20. Diakses tanggal 2009-07-16. 
  35. ^ Robert Houze (1997). "Stratiform Precipitation in Regions of Convection: A Meteorological Paradox?". Bulletin of the American Meteorological Society. 78 (10): 2179. doi:10.1175/1520-0477(1997)078<2179:SPIROC>2.0.CO;2. ISSN 1520-0477. 
  36. ^ Glossary of Meteorology (2009). "Graupel". American Meteorological Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-03-08. Diakses tanggal 2009-01-02. 
  37. ^ Toby N. Carlson (1991). Mid-latitude Weather Systems. Routledge. hlm. 216. ISBN 978-0-04-551115-0. Diakses tanggal 2009-02-07. 
  38. ^ Diana Leone (2002). "Rain supreme". Honolulu Star-Bulletin. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-08-23. Diakses tanggal 2008-03-19. 
  39. ^ Steven Businger and Thomas Birchard, Jr. A Bow Echo and Severe Weather Associated with a Kona Low in Hawaii. Diarsipkan 2007-06-17 di Wayback Machine. Retrieved on 2007-05-22.
  40. ^ Western Regional Climate Center (2002). "Climate of Hawaii". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-03-14. Diakses tanggal 2008-03-19. 
  41. ^ a b Paul E. Lydolph (1985). The Climate of the Earth. Rowman & Littlefield. hlm. 333. ISBN 978-0-86598-119-5. Diakses tanggal 2009-01-02. 
  42. ^ Michael A. Mares (1999). Encyclopedia of Deserts. University of Oklahoma Press. hlm. 252. ISBN 978-0-8061-3146-7. Diakses tanggal 2009-01-02. 
  43. ^ Adam Ganson (2003). "Geology of Death Valley". Indiana University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-12-14. Diakses tanggal 2009-02-07. 
  44. ^ Glossary of Meteorology (2009). "Rainy season". American Meteorological Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-02-15. Diakses tanggal 2008-12-27. 
  45. ^ Costa Rica Guide (2005). "When to Travel to Costa Rica". ToucanGuides. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-15. Diakses tanggal 2008-12-27. 
  46. ^ Michael Pidwirny (2008). "CHAPTER 9: Introduction to the Biosphere". PhysicalGeography.net. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-01-01. Diakses tanggal 2008-12-27. 
  47. ^ Elisabeth M. Benders-Hyde (2003). "World Climates". Blue Planet Biomes. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-17. Diakses tanggal 2008-12-27. 
  48. ^ a b J . S. 0guntoyinbo and F. 0. Akintola (1983). "Rainstorm characteristics affecting water availability for agriculture" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-02-05. Diakses tanggal 2008-12-27. 
  49. ^ Mei Zheng (2000). "The sources and characteristics of atmospheric particulates during the wet and dry seasons in Hong Kong". University of Rhode Island. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-08. Diakses tanggal 2008-12-27. 
  50. ^ S. I. Efe, F. E. Ogban, M. J. Horsfall, E. E. Akporhonor (2005). "Seasonal Variations of Physico-chemical Characteristics in Water Resources Quality in Western Niger Delta Region, Nigeria" (PDF). Journal of Applied Scientific Environmental Management. 9 (1): 191–195. ISSN 1119-8362. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2012-02-17. Diakses tanggal 2008-12-27. 
  51. ^ C. D. Haynes, M. G. Ridpath, M. A. J. Williams (1991). Monsoonal Australia. Taylor & Francis. hlm. 90. ISBN 978-90-6191-638-3. Diakses tanggal 2008-12-27. 
  52. ^ Chris Landsea (2007). "Subject: D3) Why do tropical cyclones' winds rotate counter-clockwise (clockwise) in the Northern (Southern) Hemisphere?". National Hurricane Center. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-01-06. Diakses tanggal 2009-01-02. 
  53. ^ Climate Prediction Center (2005). "2005 Tropical Eastern North Pacific Hurricane Outlook". National Oceanic and Atmospheric Administration. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-06-14. Diakses tanggal 2006-05-02. 
  54. ^ Jack Williams (2005-05-17). "Background: California's tropical storms". USA Today. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-02-26. Diakses tanggal 2009-02-07. 
  55. ^ R. S. Cerveny and R. C. Balling (1998-08-06). "Weekly cycles of air pollutants, precipitation and tropical cyclones in the coastal NW Atlantic region". Nature. 394 (6693): 561–563. doi:10.1038/29043. 
  56. ^ Dale Fuchs (2005-06-28). "Spain goes hi-tech to beat drought". London: The Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-11-04. Diakses tanggal 2007-08-02. 
  57. ^ Goddard Space Flight Center (2002-06-18). "[[NASA]] Satellite Confirms Urban Heat Islands Increase Rainfall Around Cities". National Aeronautics and Space Administration. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-06-12. Diakses tanggal 2009-07-17.  Konflik URL–wikilink (bantuan)
  58. ^ Climate Change Division (2008-12-17). "Precipitation and Storm Changes". United States Environmental Protection Agency. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-07-18. Diakses tanggal 2009-07-17. 
  59. ^ American Meteorological Society (1998-10-02). "Planned and Inadvertent Weather Modification". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-06-12. Diakses tanggal 2010-01-31. 
  60. ^ "Center of Excellence". pui.ristekdikti.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-17. Diakses tanggal 2019-10-17. 
  61. ^ Galaxy v19n03 (1961 02). 
  62. ^ Glossary of Meteorology (2009). Rainband. Diarsipkan 2011-06-06 di Wayback Machine. Retrieved on 2008-12-24.
  63. ^ Glossary of Meteorology (2009). Banded structure. Diarsipkan 2011-06-06 di Wayback Machine. Retrieved on 2008-12-24.
  64. ^ Owen Hertzman (1988). Three-Dimensional Kinematics of Rainbands in Midlatitude Cyclones. Diarsipkan 2013-09-01 di Wayback Machine. Retrieved on 2008-12-24
  65. ^ Yuh-Lang Lin (2007). Mesoscale Dynamics. Retrieved on 2008-12-25.
  66. ^ Glossary of Meteorology (2009). Prefrontal squall line. Diarsipkan 2007-08-17 di Wayback Machine. Retrieved on 2008-12-24.
  67. ^ J. D. Doyle (1997). The influence of mesoscale orography on a coastal jet and rainband. Diarsipkan 2012-01-06 di Wayback Machine. Retrieved on 2008-12-25.
  68. ^ A. Rodin (1995). Interaction of a cold front with a sea-breeze front numerical simulations. Diarsipkan 2011-09-09 di Wayback Machine. Retrieved on 2008-12-25.
  69. ^ St. Louis University (2003-08-04). "What is a TROWAL? via the Internet Wayback Machine". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-09-16. Diakses tanggal 2006-11-02. 
  70. ^ David R. Novak, Lance F. Bosart, Daniel Keyser, and Jeff S. Waldstreicher (2002). A Climatological and composite study of cold season banded precipitation in the Northeast United States. Diarsipkan 2011-07-19 di Wayback Machine. Retrieved on 2008-12-26.
  71. ^ Ivory J. Small (1999). An observation study of island effect bands: precipitation producers in Southern California. Diarsipkan 2012-03-06 di Wayback Machine. Retrieved on 2008-12-26.
  72. ^ University of Wisconsin–Madison (1998).Objective Dvorak Technique. Diarsipkan 2006-06-10 di Wayback Machine. Retrieved on 2006-05-29.
  73. ^ Joan D. Willey (1988-01). "Effect of storm type on rainwater composition in southeastern North Carolina". Environmental Science & Technology. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-08. Diakses tanggal 2011-06-20. 
  74. ^ Joan D. Willey (2006-08-19). "Changing Chemical Composition of Precipitation in Wilmington, North Carolina, U.S.A.: Implications for the Continental U.S.A". Environmental Science & Technology. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-08. Diakses tanggal 2011-06-20. 
  75. ^ Peel, M. C. and Finlayson, B. L. and McMahon, T. A. (2007). "Updated world map of the Köppen-Geiger climate classification". Hydrol. Earth Syst. Sci. 11: 1633–1644. ISSN 1027-5606. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-16. Diakses tanggal 2011-06-20.  (direct:Final Revised Paper Diarsipkan 2012-02-03 di Wayback Machine.)
  76. ^ Susan Woodward (1997-10-29). "Tropical Broadleaf Evergreen Forest: The Rainforest". Radford University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-02-25. Diakses tanggal 2008-03-14. 
  77. ^ Susan Woodward (2005-02-02). "Tropical Savannas". Radford University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-02-25. Diakses tanggal 2008-03-16. 
  78. ^ "Humid subtropical climate". Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Online. 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-11. Diakses tanggal 2008-05-14. 
  79. ^ Michael Ritter (2008-12-24). "Humid Subtropical Climate". University of Wisconsin–Stevens Point. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-10-14. Diakses tanggal 2008-03-16. 
  80. ^ Lauren Springer Ogden (2008). Plant-Driven Design. Timber Press. hlm. 78. ISBN 9780881928778. Diakses tanggal 2009-07-19. 
  81. ^ Michael Ritter (2008-12-24). "Mediterranean or Dry Summer Subtropical Climate". University of Wisconsin–Stevens Point. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-08-05. Diakses tanggal 2009-07-17. 
  82. ^ Brynn Schaffner and Kenneth Robinson (2003-06-06). "Steppe Climate". West Tisbury Elementary School. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-04-22. Diakses tanggal 2008-04-15. 
  83. ^ Michael Ritter (2008-12-24). "Subarctic Climate". University of Wisconsin–Stevens Point. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-08-27. Diakses tanggal 2008-04-16. 
  84. ^ "Curah Hujan Kota Denpasar periode 1991-2020 – Zona Musim 218" (PDF). BMKG. hlm. 66. 
  85. ^ "BALI – INDONESIA". Centro de Investigaciones Fitosociológicas. 
  86. ^ "Rata Unsur Cuaca Stasiun Meteorologi Kemayoran Periode Tahun 1981-2010". Stasiun Klimatologi Pondok Betung – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Diakses tanggal 19 April 2021. 
  87. ^ National Weather Service Office, Northern Indiana (2009). "8 Inch Non-Recording Standard Rain Gauge". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-25. Diakses tanggal 2009-01-02. 
  88. ^ Chris Lehmann (2009). "10/00". Central Analytical Laboratory. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-06-15. Diakses tanggal 2009-01-02. 
  89. ^ National Weather Service (2009). "Glossary: W". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-18. Diakses tanggal 2009-01-01. 
  90. ^ Discovery School (2009). "Build Your Own Weather Station". Discovery Education. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-08-28. Diakses tanggal 2009-01-02. 
  91. ^ "Community Collaborative Rain, Hail & Snow Network Main Page". Colorado Climate Center. 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-01-06. Diakses tanggal 2009-01-02. 
  92. ^ The Globe Program (2009). "Global Learning and Observations to Benefit the Environment Program". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-08-19. Diakses tanggal 2009-01-02. 
  93. ^ National Weather Service (2009). "NOAA's National Weather Service Main Page". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-01-08. Diakses tanggal 2009-01-01. 
  94. ^ "CHAPTER 4 - RAINFALL AND EVAPOTRANSPIRATION". www.fao.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-08. Diakses tanggal 2020-04-13. 
  95. ^ Kang-Tsung Chang, Jr-Chuan Huang, Shuh-Ji Kao, and Shou-Hao Chiang (2009). "Radar Rainfall Estimates for Hydrologic and Landslide Modeling". Data Assimilation for Atmospheric, Oceanic and Hydrologic Applications: 127–145. doi:10.1007/978-3-540-71056-1_6. ISBN 978-3-540-71056-1. Diakses tanggal 2010-01-15. [pranala nonaktif permanen]
  96. ^ Eric Chay Ware (August 2005). "Corrections to Radar-Estimated Precipitation Using Observed Rain Gauge Data: A Thesis" (PDF). Cornell University. hlm. 1. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2010-07-26. Diakses tanggal 2010-01-02. 
  97. ^ Pearl Mngadi, Petrus JM Visser, and Elizabeth Ebert (October 2006). "Southern Africa Satellite Derived Rainfall Estimates Validation" (PDF). International Precipitation Working Group. hlm. 1. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2010-01-30. Diakses tanggal 2010-01-05. 
  98. ^ a b Glossary of Meteorology (June 2000). "Rain". American Meteorological Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-07-25. Diakses tanggal 2010-01-15. 
  99. ^ a b c Met Office (August 2007). "Fact Sheet No. 3: Water in the Atmosphere" (PDF). Crown Copyright. hlm. 6. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-01-14. Diakses tanggal 2011-05-12. 
  100. ^ Glossary of Meteorology (2009). "Return period". American Meteorological Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-10-20. Diakses tanggal 2009-01-02. 
  101. ^ Glossary of Meteorology (2009). "Rainfall intensity return period". American Meteorological Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-06. Diakses tanggal 2009-01-02. 
  102. ^ Boulder Area Sustainability Information Network (2005). "What is a 100 year flood?". Boulder Community Network. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-02-19. Diakses tanggal 2009-01-02. 
  103. ^ Jack S. Bushong (1999). "Quantitative Precipitation Forecast: Its Generation and Verification at the Southeast River Forecast Center" (PDF). University of Georgia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-02-05. Diakses tanggal 2008-12-31. 
  104. ^ Daniel Weygand (2008). "Optimizing Output From QPF Helper" (PDF). National Weather Service Western Region. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2013-09-03. Diakses tanggal 2008-12-31. 
  105. ^ Noreen O. Schwein (2009). "Optimization of quantitative precipitation forecast time horizons used in river forecasts". American Meteorological Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-09. Diakses tanggal 2008-12-31. 
  106. ^ Christian Keil, Andreas Röpnack, George C. Craig, and Ulrich Schumann (2008-12-31). "Sensitivity of quantitative precipitation forecast to height dependent changes in humidity". Geophysical Research Letters. 35 (9): L09812. Bibcode:2008GeoRL..3509812K. doi:10.1029/2008GL033657. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-06. Diakses tanggal 2011-07-07. 
  107. ^ P. Reggiani and A. H. Weerts (February 2008). "Probabilistic Quantitative Precipitation Forecast for Flood Prediction: An Application". Journal of Hydrometeorology. 9 (1): 76–95. doi:10.1175/2007JHM858.1. Diakses tanggal 2008-12-31. 
  108. ^ Charles Lin (2005). "Quantitative Precipitation Forecast (QPF) from Weather Prediction Models and Radar Nowcasts, and Atmospheric Hydrological Modelling for Flood Simulation" (PDF). Achieving Technological Innovation in Flood Forecasting Project. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-06-23. Diakses tanggal 2009-01-01. 
  109. ^ Bureau of Meteorology (2010). "Living With Drought". Commonwealth of Australia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-02-18. Diakses tanggal 2010-01-15. 
  110. ^ Robert Burns (2007-06-06). "Texas Crop and Weather". Texas A&M University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-06-20. Diakses tanggal 2010-01-15. 
  111. ^ James D. Mauseth (2006-07-07). "Mauseth Research: Cacti". University of Texas. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-05-27. Diakses tanggal 2010-01-15. 
  112. ^ A. Roberto Frisancho (1993). Human Adaptation and Accommodation. University of Michigan Press, pp. 388. ISBN 978-0-472-09511-7. Retrieved on 2008-12-27.
  113. ^ Marti J. Van Liere, Eric-Alain D. Ategbo, Jan Hoorweg, Adel P. Den Hartog, and Joseph G. A. J. Hautvast (1994). "The significance of socio-economic characteristics for adult seasonal body-weight fluctuations: a study in north-western Benin". British Journal of Nutrition. Cambridge University Press. 72 (3): 479–488. doi:10.1079/BJN19940049. PMID 7947661. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-07. Diakses tanggal 2011-07-07. 
  114. ^ Texas Department of Environmental Quality (2008-01-16). "Harvesting, Storing, and Treating Rainwater for Domestic Indoor Use" (PDF). Texas A&M University. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2007-07-04. Diakses tanggal 2010-01-15. 
  115. ^ Glossary of Meteorology (June 2000). "Flash Flood". American Meteorological Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-11. Diakses tanggal 2010-01-15. 
  116. ^ A. G. Barnston (1986-12-10). "The effect of weather on mood, productivity, and frequency of emotional crisis in a temperate continental climate". International Journal of Biometeorology. 32 (4): 134–143. doi:10.1007/BF01044907. Diakses tanggal 2010-01-15. [pranala nonaktif permanen]
  117. ^ IANS (2009-03-23). "Sudden spell of rain lifts mood in Delhi". Thaindian news. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-10-16. Diakses tanggal 2010-01-15. 
  118. ^ William Pack (2009-09-11). "Rain lifts moods of farmers". San Antonio Express-News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-10-03. Diakses tanggal 2010-01-15. 
  119. ^ Robyn Cox (2007). "Glossary of Setswana and Other Words". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-04. Diakses tanggal 2010-01-15. 
  120. ^ Allen Burton and Robert Pitt (2002). Stormwater Effects Handbook: A Toolbox for Watershed Managers, Scientists, and Engineers (PDF). CRC Press, LLC. hlm. 4. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2010-06-11. Diakses tanggal 2010-01-15. 
  121. ^ Bear, I.J. (March 1964). "Nature of argillaceous odour". Nature. 201 (4923): 993–995. doi:10.1038/201993a0. 
  122. ^ Dr. Chowdhury's Guide to Planet Earth (2005). "The Water Cycle". WestEd. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-12-26. Diakses tanggal 2006-10-24. 
  123. ^ Publications Service Center (2001-12-18). "What is a desert?". United States Geologic Survey. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-05. Diakses tanggal 2010-01-15. 
  124. ^ According to What is a desert? Diarsipkan 2010-01-05 di Wayback Machine., the 250 mm threshold definition is attributed to Peveril Meigs.
  125. ^ "desert". Encyclopædia Britannica online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-02-02. Diakses tanggal 2008-02-09. 
  126. ^ "About Biodiversity". Department of the Environment and Heritage. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-02-05. Diakses tanggal 2007-09-18. 
  127. ^ NationalAtlas.gov (2009-09-17). "Precipitation of the Individual States and of the Conterminous States". United States Department of the Interior. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-03-15. Diakses tanggal 2010-01-15. 
  128. ^ Todd Mitchell (October 2001). "Africa Rainfall Climatology". University of Washington. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-09-04. Diakses tanggal 2010-01-02. 
  129. ^ W. Timothy Liu, Xiaosu Xie, and Wenqing Tang (2006). "Monsoon, Orography, and Human Influence on Asian Rainfall" (PDF). Proceedings of the First International Symposium in Cloud-prone & Rainy Areas Remote Sensing (CARRS), Chinese University of Hong Kong. National Aeronautic and Space Administration Jet Propulsion Laboratory. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-01-06. Diakses tanggal 2010-01-04. 
  130. ^ National Centre for Medium Range Forecasting (2004-10-23). "Chapter-II Monsoon-2004: Onset, Advancement and Circulation Features" (PDF). India Ministry of Earth Sciences. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2011-07-21. Diakses tanggal 2008-05-03. 
  131. ^ Australian Broadcasting Corporation (1999-08-11). "Monsoon". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2001-02-23. Diakses tanggal 2008-05-03. 
  132. ^ David J. Gochis, Luis Brito-Castillo, and W. James Shuttleworth (2006-01-10). "Hydroclimatology of the North American Monsoon region in northwest Mexico". Journal of Hydrology. 316 (1–4): 53–70. doi:10.1016/j.jhydrol.2005.04.021. Diakses tanggal 2010-01-05. 
  133. ^ Bureau of Meteorology. Climate of Giles. Diarsipkan 2008-08-11 di Wayback Machine. Retrieved on 2008-05-03.
  134. ^ a b J. Horel. Normal Monthly Precipitation, Inches. Diarsipkan 2006-11-13 di Wayback Machine. Retrieved on 2008-03-19.
  135. ^ NationalAtlas.gov Precipitation of the Individual States and of the Conterminous States. Diarsipkan 2010-03-15 di Wayback Machine. Retrieved on 2008-03-09.
  136. ^ Kristen L. Corbosiero, Michael J. Dickinson, and Lance F. Bosart (2009). "The Contribution of Eastern North Pacific Tropical Cyclones to the Rainfall Climatology of the Southwest United States". Monthly Weather Review. American Meteorological Society. 137 (8): 2415–2435. doi:10.1175/2009MWR2768.1. ISSN 0027-0644. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-06. Diakses tanggal 2011-07-29. 
  137. ^ Central Intelligence Agency. The World Factbook – Virgin Islands. Diarsipkan 2016-02-13 di Wayback Machine. Retrieved on 2008-03-19.
  138. ^ BBC. Weather Centre - World Weather - Country Guides - Northern Mariana Islands. Retrieved on 2008-03-19.
  139. ^ Walker S. Ashley, Thomas L. Mote, P. Grady Dixon, Sharon L. Trotter, Emily J. Powell, Joshua D. Durkee, and Andrew J. Grundstein. Distribution of Mesoscale Convective Complex Rainfall in the United States. Retrieved on 2008-03-02.
  140. ^ John Monteverdi and Jan Null. Western Region Technical Attachment NO. 97-37 November 21, 1997: El Niño and California Precipitation. Diarsipkan 2009-12-27 di Wayback Machine. Retrieved on 2008-02-28.
  141. ^ Southeast Climate Consortium (2007-12-20). "SECC Winter Climate Outlook". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-03-04. Diakses tanggal 2008-02-29. 
  142. ^ Reuters (2007-02-16). "La Nina could mean dry summer in Midwest and Plains". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-04-21. Diakses tanggal 2008-02-29. 
  143. ^ Climate Prediction Center. El Niño (ENSO) Related Rainfall Patterns Over the Tropical Pacific. Diarsipkan 2010-05-28 di Wayback Machine. Retrieved on 2008-02-28.
  144. ^ A. J. Philip (2004-10-12). "Mawsynram in India" (PDF). Tribune News Service. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2010-01-30. Diakses tanggal 2010-01-05. 
  145. ^ Bureau of Meteorology (2010). "Significant Weather - December 2000 (Rainfall)". Commonwealth of Australia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-05-20. Diakses tanggal 2010-01-15. 
  146. ^ "USGS 220427159300201 1047.0 Mt. Waialeale rain gauge nr Lihue, Kauai, HI". USGS Real-time rainfall data at Waiʻaleʻale Raingauge. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2004-11-17. Diakses tanggal 2008-12-11. 
  147. ^ a b National Climatic Data Center (2005-08-09). "Global Measured Extremes of Temperature and Precipitation". National Oceanic and Atmospheric Administration. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-25. Diakses tanggal 2007-01-18. 
  148. ^ Alfred Rodríguez Picódate (2008-02-07). "Tutunendaó, Choco: la ciudad colombiana es muy lluviosa". El Periódico.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-05-15. Diakses tanggal 2008-12-11. 
  149. ^ "Global Measured Extremes of Temperature and Precipitation#Highest Average Annual Precipitation Extremes". National Climatic Data Center. August 9, 2004. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-25. Diakses tanggal 2011-06-19. 
  150. ^ a b UFL - Dispute between Mawsynram and Cherrapunji for the rainiest place in the world
  151. ^ a b c "World Rainfall Extremes". members.iinet.net.au. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-03. Diakses tanggal 2011-06-19. 
  152. ^ a b "BBC - Weather Centre - Features - Understanding Weather - Deluges". web.archive.org. 26 Feb 2006. Archived from the original on 2006-02-26. Diakses tanggal 2011-06-19. 

Pranala luar