Lompat ke isi

Nuruddin al-Raniri

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Ar Raniri)
Nuruddin Muhammad bin Ali
Syekh Nuruddin ar-Raniri
Syekh Nuruddin bin Ali ar-Raniry al-Quraisyi
NamaNuruddin Muhammad bin Ali
Nisbahar-Raniry al-Quraisyi

Syekh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi atau populer dengan nama Syekh Nuruddin Al-Raniri adalah ulama penasehat Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani (Iskandar II).

Syekh Nuruddin diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Ranir, India, dan wafat pada 21 September 1658. Pada tahun 1637, ia datang ke Aceh, dan kemudian menjadi penasehat kesultanan di sana hingga tahun 1644.

Pengetahuan yang dikuasai

[sunting | sunting sumber]

Ar Raniri memiliki pengetahuan luas yang meliputi sufisme, kalam, fikih, hadits, sejarah, dan perbandingan agama.[1] Selama masa hidupnya, ia menulis kurang-lebih 29 kitab, yang paling terkenal adalah "Bustanus al-Salatin".[2] Namanya kini diabadikan sebagai nama perguruan tinggi agama (UIN Ar-Raniry) di Banda Aceh.[butuh rujukan]

Dia di katakan telah berguru dengan Sayyid Umar Abu Hafs b Abdullah Basyeiban yang di India lebih dikenal dengan Sayyid Umar Al-Idrus adalah khalifah Tariqah Al-Idrus BaAlawi di India.[butuh rujukan] Ar-Raniri juga telah menerima Tariqah Rifaiyyah dari gurunya yang bernama Ahmad ar-Rifa'i

.[3] Selain itu, ia menerima tarekat Qodiriyyah dari guru dia.[butuh rujukan]

Putera Abu Hafs yaitu Sayyid Abdul Rahman Tajudin yang datang dari Balqeum, Karnataka, India pula telah bernikah setelah berhijrah ke Jawa dengan Syarifah Khadijah, puteri Sultan Cirebon dari keturunan Sunan Gunung Jati.[butuh rujukan]

Peranan di Aceh

[sunting | sunting sumber]

Ar-Raniri berperan penting saat berhasil memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran tasawuf falsafinya Hamzah al-Fansuri yang dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam awam terutama yang baru memeluknya.[butuh rujukan] Tasawuf falsafi berasal dari ajaran Al-Hallaj, Ibn 'Arabi, dan Suhrawardi, yang khas dengan doktrin Wihdatul Wujud (Menyatunya Kewujudan) di mana sewaktu dalam keadaan sukr ('mabuk' dalam kecintaan kepada Allah Ta'ala) dan fana' fillah ('hilang' bersama Allah), seseorang wali itu mungkin mengeluarkan kata-kata yang lahiriahnya atau menyimpang dari syariat Islam.[butuh rujukan]

Maka oleh mereka yang tidak mengerti hakikat ucapan-ucapan tersebut, dapat membahayakan akidah dan menimbulkan fitnah pada masyarakat Islam. Karena individu-individu tersebut syuhud ('menyaksikan') hanya Allah sedang semua ciptaan termasuk dirinya sendiri tidak wujud dan kelihatan.[butuh rujukan] Maka dikatakan wahdatul wujud karena yang wajib wujudnya itu hanyalah Allah Ta'ala sedang para makhluk tidak berkewajiban untuk wujud tanpa kehendak Allah.[butuh rujukan] Sama seperti bayang-bayang pada pewayangan kulit.[butuh rujukan]

Konstruksi wahdatul wujud ini jauh berbeda malah dapat dikatakan berlawanan dengan paham 'manunggaling kawula lan Gusti'.[butuh rujukan] Karena pada konsep 'manunggaling kawula lan Gusti', dapat diibaratkan umpama bercampurnya kopi dengan susu—maka substansi dua-duanya sesudah menyatu adalah berbeda dari sebelumnya.[butuh rujukan] Sedangkan pada paham wahdatul wujud, dapat di umpamakan seperti satu tetesan air murni pada ujung jari yang dicelupkan ke dalam lautan air murni. Sewaktu itu, tidak dapat dibedakan air pada ujung jari dari air lautan. Karena semuanya 'kembali' kepada Allah.[butuh rujukan]

Maka pluralisme (paham yang menghargai adanya perbedaan dalam suatu masyarakat ) menjadi lanjutan terhadap gagasan bahwa yang penting dan utama adalah Pencipta, dan semua ciptaan adalah sama yakni hadir di alam mayapada hanya karena kehendak Allah Ta'ala.[butuh rujukan]

Maka paham ini, tanpa dibarengi dengan pemahaman dan kepercayaan syariat, dapat membelokkan akidah. Pada zaman dahulu, para waliullah di negara-negara Islam Timur Tengah sering, apabila di dalam keadaan begini, dianjurkan untuk tidak tampil di khalayak ramai.[butuh rujukan]

Tasawuf falsafi diperkenalkan di Nusantara oleh Fansuri dan Syekh Siti Jenar.[butuh rujukan] Syekh Siti Jenar kemudian diberi hukuman mati oleh Sunan Giri selaku salah satu anggota Wali Songo di lingkup Kesultanan Demak.[4] Ini adalah hukuman yang disepakati bagi pelanggaran syariat, manakala hakikatnya hanya Allah yang dapat maha mengetahui.[butuh rujukan]

Al-Hallaj setelah dipancung lehernya, badannya masih dapat bergerak, dan lidahnya masih dapat berzikir. Darahnya pula mengalir mengeja asma Allah—ini semua karamah untuk mempertahankan namanya.[butuh rujukan]

Di Jawa, tasawuf falsafi bersinkretisme dengan aliran kebatinan dalam ajaran Hindu dan Budha sehingga menghasilkan ajaran kejawen.[butuh rujukan]

Ronggowarsito (Bapak Kebatinan Indonesia) dianggap sebagai penerus Siti Jenar. Karya-karyanya, seperti Suluk Jiwa, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat Hidayat Jati, sering diaku-aku Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah.[butuh rujukan] Namun banyak terdapat kesalahan tafsir dan transformasi pemikiran dalam karya-karyanya itu.[butuh rujukan] Ronggowarsito hanya mengandalkan terjemahan buku-buku tasawuf dari bahasa Jawa dan tidak melakukan perbandingan dengan naskah asli bahasa Arab.[butuh rujukan] Tanpa referensi kepada kitab-kitab Arab yang ditulis oleh ulama ahli syariat dan hakikat yang mu'tabar seperti Syeikh Abdul Qadir Jailani dan Ibn 'Arabi, maka ini adalah sangat berbahaya.[butuh rujukan]

Ar-Raniri dikatakan pulang kembali ke India setelah dia dikalahkan oleh dua orang murid Hamzah Fansuri pada suatu perdebatan umum. Ada riwayat mengatakan dia meninggal di India.[butuh rujukan]

Karya-karyanya

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Majid, Abdul (2015-10-11). "Karakteristik Pemikiran Islam Nuruddin Ar-Raniry". Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin. 17 (2): 179–190. doi:10.22373/substantia.v17i2.3990. ISSN 2356-1955. 
  2. ^ Musyaffa, Musyaffa (2018). "Pemikiran dan gerakan dakwah syeikh nuruddin ar-raniry". Jurnal Ilmiah Syi'ar (dalam bahasa Inggris). 18 (1): 72–90. doi:10.29300/syr.v18i1.1571. ISSN 2685-2934. 
  3. ^ Munawir (2019). Suheri dan Fitria H., R., ed. 20 Tokoh Tasawuf Indonesia dan Dunia (PDF). Temanggung: CV Raditeens. hlm. 71. ISBN 978-623-7456-30-8. 
  4. ^ Syakur, Abd. (2021). Nasih, Ahmad Munjin, ed. Tarekat dan Gerakan Sosial Keagamaan: Dinamika Tarekat Shiddiqiyyah di Indonesia (PDF). Arti Bumi Intaran. hlm. 31–32. ISBN 978-623-6864-20-3. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]