Lompat ke isi

Demokrasi maya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Demokrasi virtual)

Demokrasi Virtual adalah suatu bentuk kebebasan yang ada dalam dunia virtual. Dimana kata demokrasi sendiri memiliki arti suatu kebebasan. Demokrasi sering disebut dengan kata demokratis di mana suatu sistem yang dinyatakan demokratis memang memerlukan kompetensi demokrasi pada khalayaknya.[1] Maksudnya perlu adanya kemampuan tertentu yang dipunyai warga Negara dalam berdemokrasi, agar mereka dapat berfungsi dengan baik sebagai anggota dari suatu sistem demokrasi. Sedangkan kata virtual dalam pembahasan ini berkaitan dengan komunikasi, jadi bisa diartikan sebagai suatu bentuk komunikasi maya. Jadi, demokrasi virtual bisa disimpulkan sebagai suatu bentuk kebebasan yang ada dalam dunia virtual. Internet memiliki karakteristik kebebasan dan pengaturan diri sendiri, yang juga merupakan ciri utama demokrasi yang sesungguhnya. Berarti tidaklah mengejutkan kalau teknologi komputer dinyatakan sebagai alat terbaru dan terbaik untuk meningkatkan keterlibatan partisipasi dalam demokrasi . Kita telah melihat aksi politik internet dalam bentuk Flash mob dan kelompok aktivis online . Dan untuk Blog, "Ketika mereka menulis kampanye tahun 2004, hal itu akan memasukkan setidaknya satu kata yang tidak pernah muncul dalam sejarah kepresidenan mana pun: Blog ". Terlepas blog tersebut memilih atau tidak presiden berikutnya, blog mungkin merupakan inovasi pertama internet yang membuat perubahan nyata pada pemilihan politik, menurut salah satu Profesor dari Universitas Stanford, Lawrence Lessig [2]

Demokratisasi Internet

[sunting | sunting sumber]

Demokratisasi bukan sekadar masalah ada tidaknya informasi dan ada tidaknya harapan masyarakat untuk berubah. Namun demokratisasi ini menyangkut aspek yang multidimensional.[1] Informasi memang factor yang berpengaruh, tetapi bukan satu-satunya yang menetukan semua keputusan. Masih terdapat faktor lain yang tidak kalah pentingnya, seperti faktor addanya kekuatan lain yang menghendaki perubahan, faktor keberanian khalayak untuk menghadapi risiko yang timbul, faktor ketahanan nilai-nilai budaya yang ingin dipertahankan oleh khalayak itu sendiri, hingga kesediaan penguasa untuk “bersusah-susah”, mau dikritik, mau di kontrol, bahkan diganti oleh kekuatan demokrasi (rakyat).[1] Dalam hal demokratisasi pada Internet berkaitan dengan kebebasan dalam memanfaatkan teknologi internet dalam kehidupan keseharian mayarakat luas. Namun, demokratisasi Internet ini tetap masih berpihak pada orang-orang yang memiliki uang untuk membeli perangkat keras dan perangkat lunak yang diperlakukan untuk mengakses Internet dan juga untuk membayar koneksi Internetnya.[2]

Pertarungan teknologi

[sunting | sunting sumber]

Seiring dengan perkembangan zaman, mendorong pergeseran pola hidup masyarakat dalam menjalani kesehariannya dari yang berifat analog kearah digital. Pergeseran pola hidup masyarkat tersebut didukung dengan munculnya teknologi yang hadir di tengah-tengah kehidupan nyata kita. Teknologi dibutuhkan bagi masyarakat luas untuk menerapkan pengawasan total terhadap apa yang menjadi dasar totalisme moral yang telah berlaku. Ketakutan akan kehilangan kuasa membuat kekuatan “sayap kanan” meningkatkan kemungkinan dan pemanfaatan penggunaan teknologi sebagai alat pengawasan. Sehingga mereka berkepentingan untuk sebisa mungkin membatasi akses teknologi dengan memanfaatkan batasan budaya dan geografis.[3]

Celah Teknologi

[sunting | sunting sumber]

Satu prinsip penting dalam demokrasi adalah “ satu orang satu suara . Namun, jika demokrasi semakin banyak dipraktikkan secara online, orang-orang yang kurang memiliki teknlogi dan keterampilan yang diperlukan akan terabaikan suaranya. Inilai celah teknologi (technology gap)-perbedaan yang semakin jauh antara orang-orang yang memiliki teknlogi dan orang-orang yang tidak memilikinya.[2] Sebagai contohnya sekarang orang-orang yang memiliki kuasa dalam bidang teknologi adalah orang-orang yang memang menjadi pakarnya dalam bidang teknologi.Kaum mayoritas dalam teknologi memiliki kuasa dan pengaruh yang lebih besar di bandingkan kaum minortias dalam bidang teknologi. Dengan difusinya yang sangat cepat, hanya tiga perempat dari semua warga Amerika Serikat yang menggunakan Internet. "Demokratrisasi"dalam Internet ini tetap masih berpihak pada orang-orang yang memiliki uang untuk membeli perangkat keras dan lunak yang diperlukan untuk mengakses Internet dan juga untuk membayar koneksi Internetnya.[2]

Celah Informasi

[sunting | sunting sumber]

Prinsip penting lain dalam demokrasi adalah masyarakat yang dapat mengatur diri sendiri akan lebih teratur dengan akses sepenuhnya terhadap informasi. Inilah alasan mengapa budaya kita sangat curiga dengan sensor. Adanya celah teknologi memperbesar peluang halangan yang kedua deokrasi virtual, yaitu celah informasi (information gap). Orang-orang tanpa teknologi yang dibutuhkan akan semakin berkurang aksesnya ke informasi yang tersedia. Dengan kata lain, mereka akan mengalami kerugian dari suatu bentuk sensor yang dipaksakan oleh teknologi. Orang-orang tanpa teknologi yang dibutuhkan akan semakin berkurang aksesnya ke informasi yang tersedia. Dengan kata lain, mereka akan mengalami kerugian dari suatu bentuk sensor yang dipaksakan oleh teknologi.[2] Jika teknologi komputer menciptakan celah informasi yang bahkan semakin lebar dari celah yang sudah ada di antara masyarakat luas di Indonesia, demokrasi pastilah akan semakin buruk. Dengan memanfaatkan celah informasi, maka akan membantu segala bentuk pesan, cerita maupun informasi dapat sampai ke khalayak luas sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Fungsi informasi merupakan fungsi paling penting yang terdapat dalam komunikasi massa. Komponen paling penting untuk mengetahui fungsi informasi ini adalah berita-berita yang disajikan. Iklanpun dalam beberapa hal memiliki fungsi memberikan informasi di samping fungsi-fungsi yang lain.[4]

Kehidupan Dunia Virtual

[sunting | sunting sumber]

Dunia Virtual di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Pada masa sekarang, hampir seluruh lapisan masyarakat di Indonesia hidup di tengan-tengah teknologi informasi dan komunikasi yang selalu mengalami perkembangan dalam bidangnya. Tidak terbatas pada kalangan bawah, kalangan menengah maupun kalangan atas. Banyak sekali manfaat yang dapat diambil dari adanya fenomona ini. Dari masyarakat biasa maupun orang-orang yang aktif bergerak dalam kegiatan politik- pemerintahan. Sebagai contoh politisi pada arus utama akhirnya bergantung pada Internet untuk berinteraksi dengan para konstituen dan para pemilih. Hampir semua politisi pada berbagai posisi - Prsiden, wakil presiden, Senat pemimpin mayoritas, anggota-anggota DPR, memiliki setidaknya alamat E-mail jika bukan halaman web secara penuh. Pemilihan suara melalui Internet juga telah menjadi realitas yang terbatas dengan beberapa pemilihan lokal mencoba pemilihan suara online untuk kandidat lokal dan dalam beberapa kontes utama. Antusiasme terhadap solusi teknologi ini banyak dipandang sebagai peningkatan kekecewaan terhadap politik dan proses politik, yang mencerminkan hal yang mengikuti perkenalan radio dan televisi.[2]

Dunia Virtual Terkait dengan Teori Jaringan Komunikasi

[sunting | sunting sumber]

Dunia virtual hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat dibantu dengan adanya suatu jaringan yang medukung komunikasi dalam dunia virtual tersebut. Jaringan atau network didefinisikan sebagai “social structures created by communication among individuals and groups” (struktur sosial yang diciptakan melalui komunikasi di antara sejumlah individu dan kelompok).[5] Ketika orang berkomunikasi dengan orang lain maka terciptalah hubungan (link) yang merupakan garis-garis komunikasi dalam organisasi. Sebagian dari hubungan itu merupakan “jaringan formal” (formal network) yang dibentuk oleh aturan-aturan organisasi, seperti struktur organisasi sebagaimana dikemukakan Weber sebelumnya.Max Weber adalah pemikir yang memberikan perhatian sengat besar pada bagaimana manusia bertindak secara rasional untuk mencapai tujuannya. Weber berupaya menjelaskan proses sosial di mana menurutnya terdapat suatu hubungan antara motivasi individu dengan hasil-hasil sosial.[5] Namun jaringan formal pada dasarnya mencakup hanya sebagian dari struktur yang terdapat pada organisasi. Selain jaringan formal terdapat pula “jaringan informal” (emergent network) yang merupakan saluran komuikasi nonformal yang terbentuk melalui kontak atau interaksi yang terjadi di antara setiap individu setiap harinya. Jadi pada kenyataannya dunia virtual dinyatakan sebagai saluran proses jaringan komunikasi formal dan bisa juga informal. Dengan lahirnya dunia virtual di tengah-tengah kita memabntu proses komunikasi formal sebagai contoh kampanye-kampanye yang dilakukan oleh para kandidat preseiden pemilu 2004 lalu, contoh lainnya juga saat dunia virtual dimanfaatkan sebagai saluran untuk proses pembelajaran bagi khalayak luas. Kemudian contoh di mana dunia virtual sebagai jaringan komunikasi informal terlihat dalam contoh para Blogger yang mempostingkan ceritanya, berbagi pengalamannya ke khalayak luas melalui media virtual yang hadir di tengah-tengah kehidupan kita, selain itu juga sosial media yang marak ada sekarang merupakan salah satu buah dari lahirnya dunia virtual yang masuk kedalam dunia virtual merupakan saluran proses jaringan komunikasi dalam bentuk informal.

Tanggapan Demokrasi Virtual

[sunting | sunting sumber]

Kehadiran dunia virtual di tengah-tengah kehidupan kita, memunculkan berbagai tanggapan dari beberapa pihak yang mengkiritik maupun menanggapinya dengan pembelaan.

Efek Demokrasi Virtual

[sunting | sunting sumber]

Semua bentuk kegiatan komunikasi dalam bentuk apapun, segala bentuk kegiatan nyata yang dilakukan oleh setiap individu maupun lembaga-lembaga tertentu pasti akan menimbulkan sebuah efek. Dimana dalam hal demokrasi virtual memiliki efek didalamnya, berupa kritik dan saran (tanggapan). Efek komunikasi massa bisa dibagi menjadi beberapa bagian. Secara sederhana Keith R. Stamm dan John. E. Bowes (1990) membagi kedua bagian dasar. Pertama, efek primer meliputi terapan, perhatian, dan pemahaman. Kedua, efek sekunder meliputi perubahan tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan sikap), dan perubahan perilaku (menerima dan memilih).[6]

Kritik Demokrasi Online

[sunting | sunting sumber]

Bebrapa kritikus ide demokrasi online terganggu dengan jumlah informasi yang tersedia bagi masyarakat zama sekarang dan kecepatan yang dimilikinya. Tambahan untuk hal ini adalah kesulitan dalam memperhitungkan kebenaran sebagian besar informasi online, dan mereka berpendapat bahwa dunia maya mungkin bukanlah tempat terbaik untuk mempraktikkan demokrasi. Sebagai contoh, para pembela demokrasi dunia maya melihat Internet sebagai cara untuk memungkinkan masyarakat luas mendapat akses langsung ke para polotisi. Pejabat yang terpilih seharusnya mendengar hal lain yang ingin dikatakan masyarakat. Namun, apakah demokrasi benar-benar menguntungkan ketika pemimpin merespons secara langsung, bahkan mungkin secara implusif, kepada sentiment publik? Sampai tidak ada lagi jurang teknologi, berbagai suara-kaum miskin, tidak berpendidikan, dan generasi tua-akan memiliki akses yang lebih sedikit kepada pemimpin mereka daripada mereka yang memiliki koneksi.[2] Para kritikus dunia maya mengkalim bahwa demokrasi kita bersifat represntatif dan konsultatif.Hal ini sengaja dirancang untuk memungkinkan perwakilan masyarakat untuk dapat berbicara satu sama lain, memperdebatkan ide dan isu, menemukan solusi yang menguntungkan bukan saja untuk mereka sendiri, tetapi untuk konstituen yang lain juga. Mereka mengklaim bahwa alienasi politik yang dirasakan oleh banyak warga Negara saat ini merupakan hasil dari para politisi yang terlalu banyak mendengar suara yang paling keras (yaitu kepentingan-kepentingan khusus) dan terlalu responsive terhadap polling. Para kritikus terganggu dengan jumlah informasi yang tersedia bagi masyarakat zaman sekarang dan kecepatan yang dimilikinya. Para kritikus juga berpendapat bahwa demokrasi dunia maya adalah antidemokrasi yang dikarenakan sifat alaminya yang virtual. Sebelum kehadiran TV kabel dan televisi satelit, presiden dapat meminta dan tanpa kecuali waktu tayang dari tiga jaringan televise utama untuk berbicara kepada masyarakat. Namun, saat ini teknologi-teknologi telah memecah-mecah kita kepada khalayak yang jauh lebih kecil. Seandainya seorang presiden ingin berbicara kepada seluruh masyarakat yang mungkin akan mengikuti atau mendengarkan. khalayak ini diperburuk oleh Internet.

Pembela Demokrasi Virtual (dunia maya)

[sunting | sunting sumber]

Para pembela demokrasi dunia maya melihat Internet sebagai cara untuk memungkinkan masyarakat mendapat akses langsung ke politisi. Pejabat yang terpilih seharusnya mendengar hal yang ingin dikatakan masyarakat.[2] Dalam Internet kita dapat langsung memberikan tanggapan kita pada informasi-informasi yang di sampaikan dalam suatu situs yang membahas suatu fenomena, tanpa ada tembok yang membatasi mereka dalam berpendapat, karena disediakan kolom ruang sendiri bagi mereka yang ingin berkomentar-memberikan tanggapan.

  1. ^ a b c Ida Rachmah dan Henry Subiakto. 2012. Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi, Kencana Prenada Media Group.
  2. ^ a b c d e f g h Baran Stanley J. 2008. Pengantar Komunikasi Massa: Melek Media dan Budaya, Erlangga Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "buku1" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  3. ^ Fiske John. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi, Rajawali Pers
  4. ^ Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa, Raja Grafindo Persada
  5. ^ a b Morissan. 2013. Teori Komunikasi Massa: Individu Hingga Massa, Kencana Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "buku4" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  6. ^ Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa, Raja Grafindo Persada