Datuk Perpatih Nan Sebatang
Datuak Parpatiah Nan Sabatang adalah nama bergelar setingkat Paduka Raja seorang tokoh legendaris penyusun adat Minangakabau.[1] Datuak adalah bahasa Minang berarti gelar untuk Paduka Raja.
Sistem adat yang disusun Datuak Parpatih Nan Sabatang ini dikenal juga dengan nama kelarasan Bodi Caniago.
Nama kecil
[sunting | sunting sumber]Beragam pendapat mengenai nama kecilnya. Ada yang mengatakan nama kecilnya adalah Balun yang kemudian disebut Sutan Balun, berdasarkan Tambo Minangkabau. Ada pula yang mengatakan nama kecilnya adalah Jatang atau Cumatang. Untuk hal ini diperlukan peneletian lebih lanjut oleh para pakar sejarah.
Keluarga
[sunting | sunting sumber]Datuk Perpatih Nan Sebatang lahir dari pasangan Cati Bilang Pandai dan Puti Indo Jalito. Dia bersaudara dengan Datuk Ketumanggungan yang satu ibu tetapi lain ayah. Gelar Datuk Perpatih Nan Sebatang diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Kota Solok sekarang karena konon tokoh ini sangat berjasa bagi masyarakat Solok di bidang pertanian. Gelar ini juga diturunkan oleh kemenakan yang beraliran Bodi Caniago.
Di Negeri Sembilan, Malaysia, orang Minang disana mengamalkan adat Perpatih yang merupakan hasil pemikiran dan gagasan dari Datuk Perpatih Nan Sebatang.
Di dalam Prasasti Amoghapasa juga disebutkan namanya sebagai Parpatiah. Kadang-kadang ia diidentifikasi sebagai Patih Sewatang. Sesuai dengan gelarnya, ia menduduki jabatan sebagai patih kerajaan bersama Tumenggung yang juga dikenal sebagai Datuk Ketumanggungan.
Pengasas Sistem Adat Demokrasi di Minangkabau
[sunting | sunting sumber]Jasa Datuk Perpatih tidak pernah lupa dalam ingatan orang Minang yang dituturkan secara turun temurun. Aliran Bodi Caniago yang dibentuknya melawan sistem pemerintahan yang otoriter dan aristokrasi yang dibangun oleh saudaranya, Datuk Ketumanggungan.
Walaupun begitu Datuk Parpatih juga berpesan kepada anak keturunannya bahwa "urang nan indak obe ampek itu urang bodoh".
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ Batuah, A. Dt. (1959). Tambo Minangkabau dan Adatnya. Jakarta: Balai Pustaka.