Eskatologi menurut Surat-surat Deutero Pauline
Eskatologi menurut surat-surat deutero Pauline merupakan gagasan eskatologi yang ada di dalam surat-surat deuteropauline. Ada yang menduga bahwa surat-surat ini merupakan karya orang-orang Kristen yang mengatasnamakan Paulus sebagai pengirimnya. Beberapa surat ini yang terdapat di dalam kanon Perjanjian Baru adalah Surat Kolose, Efesus, 2 Tesalonika, 1 dan 2 Timotius, dan Titus.[1] Eskatologi dalam surat-surat ini diasumsikan berbeda dengan pandangan eskatologi yang dikemukakan oleh Paulus dalam surat-surat lain yang ditulisnya.[1] Dalam surat-surat ini, pandangan mengenai eskatologi ditekankan dalam hal berapa lamanya orang harus menantikan parousia.[1] Sementara itu, dalam surat-surat Deuteropauline eskatologi digambarkan sebagai wujud kepastian iman yang menjadi suatu pengharapan dalam kehidupan dan bagaimana sikap orang terhadap parousia serta sikap iman terhadap parousia yang mempunyai arti bagi kehidupan saat ini.[1]
Eskatologi Surat Efesus
[sunting | sunting sumber]Menurut surat Efesus, keselamatan eskatologis bukanlah terletak di depan, melainkan terdapat di atas.[2] Kristus telah melintasi semua petala langit untuk memenuhkan segala sesuatu (Ef. 4:10).[2] Gambaran mengenai keselamatan yang terdapat di atas juga terlihat dari ungkapan di dalam surat Efesus yang menggambarkan Yesus sebagai kepala.[2] Berdasarkan pemikiran ini, dapat dikatakan bahwa Kristus yang telah membangkitkan jemaat, sudah memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga (2:6).[2] Orang Kristen sebagai warga sorga sudah mendiami wilayah dunia atas.[2] Tetapi amanat tersebut masih terus diperlukan oleh mereka, agar mereka melakukan hidupnya di dunia ini, sesuai dengan sifat baru di dalam Yesus Kristus.[2]
Eskatologi Surat 2 Tesalonika
[sunting | sunting sumber]Dalam surat 2 Tesalonika dikatakan bahwa akan ada beberapa peristiwa yang terjadi sebelum tibanya hari Tuhan itu (2 Tes. 2:1-12).[3] Menurut surat ini, para pengikut Yesus akan melihat sejumlah peristiwa-peristiwa ini sebagai peringatan akan tibanya hari Tuhan.[3] Ini sangat berbeda dengan eskatologi surat 1 Tesalonika yang diyakini sebagai tulisan asli dari Paulus.[3] Di dalam surat ini disebutkan bahwa kedatangan hari Tuhan itu tanpa peringatan.[3] Kedatangannya seperti “pencuri pada malam” (1 Tes. 5:1-3).[3]
Menurut surat 2 Tesalonika, dalam penghakiman terakhir umat Kristen yang tertindas dan teraniaya akan memperoleh ganjaran, sedangkan para penindas dan penganiayanya justru akan dihukum dalam kebinasaan kekal (1:5-10).[4] Allah akan mengadakan pembalasan terhadap mereka yang tidak mau mengenal Dia dan tidak menaati Injil Yesus.[4] Semua itu akan terjadi pada hari Tuhan, ketika Yesus dimuliakan di antara orang-orang kudus.[4]
Sekalipun hari Tuhan merupakan hari pembalasan, namun jemaat diingatkan agar mereka tidak gelisah dan dibingungkan oleh pemberitaan bahwa hari Tuhan itu telah tiba, baik yang disampaikan melalui perkataan maupun surat yang dikatakan dari para rasul.[5] Sebab kedatangan hari Tuhan akan didahului dengan tanda-tanda, yaitu kedatangan kemurtadan dan manusia durhaka (yang disebut: parousia si pendurhaka) sebagai manifestasi kuasa Iblis, yang kelak bersama para pengikutnya akan dibinasakan (2:1-12).[5]
Eskatologi Surat Kolose
[sunting | sunting sumber]Salah satu penekanan eskatologi dalam surat Kolose adalah keberadaan dari orang-orang yang telah meninggal. Menurut surat Kolose, orang-orang ini akan dibangkitkan bersama dengan Kristus dan dipanggil untuk hidup kudus, 'memikirkan perkara yang di atas, di mana Kristus ada.[2] Surat ini juga menegaskan bahwa orang-orang yang percaya kepada keselamatan di dalam Kristus, akan dibangkitkan dalam kemuliaan bersama-sama dengan Kristus kelak.[2] Surat Efesus yang berdekatan dengan surat Kolose juga berbicara tentang orang Kristen yang telah dimateraikan menjelang hari penyelamatan (4:30).[2]
Eskatologi Surat-surat Pastoral
[sunting | sunting sumber]Surat-surat Pastoral yang menggambarkan cara hidup orang Kristen di dunia ini (bnd. 1 Tim. 2: 2), mengandung juga catatan-catatan tentang hari parousia (bahasa apokalyptis, bnd. 1 Tim. 6:14; 2 Tim. 2:12, 18; Tit. 2:13).[2] Surat Titus berbicara mengenai orang Kristen yang merupakan “orang-orang yang berhak menerima hidup yang kekal sesuai dengan pengharapan” (3:7).[2] Namun, surat-surat tersebut tidak memberi kesan mengenai hal itu. Karena dalam surat-surat pastoral kedatangan itu tidak begitu ditekankan.[3] Eskatologi yang futuris diturunalihkan terus, tetapi kurang jelas bagaimana pengaruhnya terhadap eksistensi orang Kristen saat ini.[2] Berkenaan dengan itu, jika diperhatikan kata Yunani yang aslinya digunakan sebagai istilah untuk penampilan Yesus Kristus pada hari kiamat (epifaneia, bnd. 2 Tes. 2:8), sekarang dalam 2 Timotius 1:10 yang dimaksudkan adalah kedatangan historisnya (inkarnasi).[2]
Dalam 1 Timotius 6:14; 2 Timotius 4:1,8 dan Titus 2:13 mengemukakan bahwa Kristus datang kelak, sedangkan 2 Timotius 1:10 mengingat pada masa hidupnya di Palestina.[2] Eskatologi, menurut pengertian ini terdiri dari 3 fase: Parousia yang pertama pada masa lampau, parousia yang kedua pada masa yang akan datang dan parousia yang ketiga pada masa kini. Dan parousia yang ketiga ini kurang jelas sifat eskatologisnya.[2] Dengan demikian, surat ini mengutamakan keselamatan yang sudah terwujud kini, tetapi hubungannya yang hakiki dengan masa depan kurang dijelaskan.[2]
Namun, dalam surat-surat pastoral, terdapat dua perikop yang membicarakan tanda-tanda persiapan.[2] Dalam 1 Timotius 4:1 mengatakan bahwa Roh dengan tegas menubuatkan bahwa pada “waktu-waktu kemudian” ada orang-orang yang akan murtad.[2] Walaupun tidak dapat hubungan khusus dengan parousia, tetapi tidak dapat dielakkan bahwa kata-kata itu mempunyai pengertian yang bersifat eskatologis.[2]
Nubuat yang serupa terdapat dalam 2 Timotius 3:1 dst, dalam perikop tersebut diberikan daftar mengenai macam-macam orang yang tidak mengasihi Allah.[6] Daftar itu memperlihatkan beberapa kesamaan lain dalam surat-surat kiriman Paulus, namun tidak sama dengan perikop-perikop lainnya dalam hal menghubungkan golongan-golongan tersebut dengan “hari-hari terakhir”.[6] Pada saat yang sama 2 Timotius 3:5 menasihatkan untuk menjauhi mereka, hal ini memperlihatkan bahwa perikop ini mempunyai kaitannya baik dengan masa sekarang ini maupun dengan masa yang akan datang.[6]
Sikap Gereja dalam Penantian Eskatologi
[sunting | sunting sumber]Meyakini Keilahian Yesus Kristus
[sunting | sunting sumber]Dalam tradisi eskatologis yang tertua, peranan pengharapan akan kedatangan Anak Manusia dengan awan-awan untuk menjalankan penghakiman adalah besar. Bentuk pengharapan ini tidak dimengerti lagi dalam jemaat-jemaat Hellenis.[2] Mereka mencetuskan gelar baru bagi Yesus, yang sesuai dengan alam pikiran mereka, yaitu Tuhan (Kyrios).[2] Gelar ini tidak mementingkan segi futuris, seperti gelar Anak Manusia dulu, tetapi menekankan dengan sangat segi presentris, kehadiran Tuhan dalam jemaat-Nya.[2]
Paulus yang mengambil alih suatu nyanyian dalam surat Filipi (2:5-11) yakin bahwa penaklukan kuat kuasa yang demonis itu belum terlaksana, melainkan masih diharapkan sebagai suatu bagian dan kejadian eskatologis mendatang.[2] Akan tetapi, surat-surat deutero Pauline memandang bahwa penaklukan itu sebagai suatu peristiwa yang sudah lewat dan telah terjadi berkenaan dengan kemenangan Paskah dan peninggian Yesus Kristus.[2] Efesus 1:19-22a: “dan betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasa-Nya, yang dikerjakan-Nya di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mendudukkan dia di sebelah kanan-Nya di sorga, jauh lebih tinggi dari segala pemerintah dan penguasa dan kekuasaan dan kerajaan dan tiap-tiap nama yang dapat disebut, bukan hanya di dunia ini saja, melainkan juga di dunia yang akan datang.[2] Segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus”.[2] Kolose 2:15 menggambarkan kemenangan Kristus sesuai dengan corak berita tentang suatu kemenangan kaisar Romawi, yang dalam suatu pawai di ibu kota mengarak secara terebelenggu musuh-musuh yang telah dikalahkannya untuk menunjukkan kejayaannya di muka umum.[2] Kolose 2:10 dan nyanyian-nyanyian dalam 1 Timotius 3:16 dan 1 Petrus 3:22 menggambarkan juga ke-Tuhan-an Yesus atas segala sesuatu yang telah ditundukkan-Nya.[2]
Pemenang Paskah dalam peninggian-Nya sudah menjelajah segala ruang kosmos dan menggunakan karya perdamaian-Nya yang universal pada segala unsur kehidupan yang ada.[7] Jadi, tidak mengherankan kalau dalam nyanyian-nyanyian tersebut tidak terdapat suatu petunjuk tentang hari parousia Tuhan yang akan datang, walaupun nyanyian-nyanyian itu justru mencatat fase-fase karya Yesus dengan lengkap.[7]
Bahkan dalam nyanyian Kolose 1:15 dan seterusnya Kristus diakui sebagai “pengantara ciptaan”, yaitu Tuhan yang turut mencipta dan memelihara alam semesta dengan segala isinya: “Segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.[8] Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia” (ayat 16-17).[8] Pengakuan ini berkembang dari kepercayaan akan kebangkitan dan peninggian Kristus yang dinyatakan sebagai Tuhan pada akhir zaman tentu sudah bertindak sebagai Tuhan pada awal segala zaman (hubungan antara protologi dan eskatologi).[8] Bahwa Yesus adalah Tuhan selamanya![8]
Peranan Sakramen-sakramen
[sunting | sunting sumber]Sakramen-sakramen memainkan peranan yang penting dalam menyatakan berlakuknya kini keselamatan yang penuh.[2] Baptisan menurut Efesus dan Kolose, bukan berarti bahwa kita turut mati bersama dengan Kristus.[2] Begitulah paham Paulus (Rm. 6:3).[2] Kedua surat tersebut sudah menyatakan bahwa kita juga turut bangkit bersama-sama dengan Kristus (Kol. 2:12, 3:1).[2]
Dengan mengutip Efesus 2:5-6 yang menggunakan terminologi pembaptisan: (Allah) “telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita –oleh kasih karunia kamu diselamatkan – dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga”.[2] Jadi, kebangkitan yang dinantikan Paulus sebagai suatu kejadian eskatologis yang akan terjadi kelak, menurut cara berpikir ini, sudah terlaksana.[2]
Selain itu, tentang perjamuan kudus dalam surat Ignatius kepada jemaat di Efesus (Ign. Ad. Ef 20:2) terdapat istilah terkenal yang menyebut perjamuan kudus sebagai suatu “obat untuk ketidakfanaan” (farmakon athanasios).[2] Dalam pelayanan sakramen itu berlangsung kejadian eskatologis.[2] Di mana “kalau kamu sering kali berkumpul untuk perayaan itu, kuat kuasa setan akan dibinasakan” (Ign. Ad. Ef. 13:1).[2]
Jabatan Gereja
[sunting | sunting sumber]Sehubungan dengan pelaksanaan sakramen-sakramen tersebut, jabatan gereja yang sah semakin dipentingkan.[2] Para pejabat gereja yang ditahbisakan dengan sah diperbolehkan memimpin acara sakramen (1 Tim. 4:14; 2 Tim. 1:6).[2] Pada abad ke-2, gereja akan mengikat kegiatan Roh Kudus pada jabatan yang sah dan resmi; imam dan awam akan berbeda tingkat dan rohaninya, dan gereja seluruhnya akan menjadi suatu lembaga yang menyelenggarakan keselamatan menurut peraturan-peraturan yang ditentukan.[2] Gereja semakin dapat menempatkan dirinya dalam dunia dan dalam sejarah yang berlangsung terus.[2]
Namun, bila waktunya semakin diperpanjang, bukan hanya masa depan yang semakin terbuka, jarak terhadap masa silam pun kian hari kian jauh.[2] Jadi, perlu bagi gereja untuk menentukan hubungannya yang langsung dengan asal-usulnya pada masa rasuli.[2] Terutama hubungan dengan pemberitaan yang asli harus terjamin.[2] Yang memberikan jaminan, justru para pejabat yang melalui pentahbisan mereka dimasukkan dalam urutan tradisi yang diturunkan secara murni dari zaman rasuli kepada gereja yang hidup di kemudian hari.[2]
Rentetan tradisi ini dapat kita temukan dalam surat Kolose: Paulus – Epafras – jemaat Kolose (Kol. 4:12-13).[9] Gereja generasi kedua sudah memandang para rasul sebagai orang yang kudus (Ef. 3:5).[9] Mereka bersama dengan para nabi jemaat mula-mula, merupakan dasar gereja (Ef. 2:20) yang menjamin gereja berdiri tetap teguh.[9] Pejabat-pejabat gereja harus waspada, supaya gereja tetap berdasarkan landasan rasuli dan tidak menyimpang dari kesaksian rasuli, yang perlu terus dihayati dalam gereja setiap masanya (bnd. Juga 2 Ptr. 1:19-20).[9] Kita melihat semua persoalan semacam ini baru timbul dalam suatu gereja, yang sudah menyadari keadaan yang menetap dalam sejarah.Karena gereja bukanlah persekutuan pasif yang dibentuk oleh Allah dengan sewenang-wenang, melainkan persekutuan aktif sebagai rekasi terhadap tindakan penyelamatan Allah dalam diri Yesus.[9] Dengan demikian, parousia masih jauh.[9]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d (Indonesia)J. D. Douglas. 1982. Ensklopedia Alkitab Masa Kini. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF. Hlm. 286.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as (Indonesia)Wrich Beyer. 2000. Garis-garis Besar Eskatologi Dalam Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 55-62.
- ^ a b c d e f (Indonesia)Samuel Benyamin Hakh. 2010. Perjanjian Baru: Sejarah, Pengantar dan Pokok-pokok Teologisnya. Bandung: Bina Media Informasi, 2010. Hlm. 237, 244.
- ^ a b c (Indonesia)Bambang Subandrijo. 2010 Menyingkap Pesan-pesan Perjanjian Baru 1. Bandung: Bina Media Informasi, 2010. Hlm. 176.
- ^ a b (Indonesia)Tom Jacobs. 1992. Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 277.
- ^ a b c (Indonesia)Donald Guthrie. 2009. Teologi Perjanjian Baru 3: Eklesiologi, Eskatologi, Etika.Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 152.
- ^ a b (Inggris). Richard DeMaris. 1994. The Colossian Controversy: Wisdom in Dispute at Colossae. Sheffield: JSOT Press. Hlm. 135-137.
- ^ a b c d (Inggris)Eduard Schweizer. 1991. A Theological Introduction to the New Testament. Nashville: Abingdon Press. Hlm. 94.
- ^ a b c d e f (Inggris)William Hendriksen. 1967. New Testament Commentary: Exposition of Ephesians. Grand Rapids, Michigan: Baker Book House. Hlm. 77-78.