Gangguan stres pascatrauma
Informasi di artikel bertopik psikiatri ini tidak dimaksudkan sebagai acuan analisa atau penentuan pengobatan atas kondisi diri sendiri atau orang lain. Silakan berkonsultasi dengan psikiater atau psikolog klinis yang berwenang melakukan hal ini. Silakan baca juga halaman mengenai sangkalan medis |
Gangguan stres pascatrauma | |
---|---|
Informasi umum | |
Spesialisasi | Psikiatri, psikologi klinis |
Gangguan stres pascatrauma (bahasa Inggris: post-traumatic stress disorder atau disingkat PTSD, dahulu disebut shell shock pada Perang Dunia I) adalah gangguan kecemasan parah yang dapat berkembang setelah terpapar setiap peristiwa yang menghasilkan trauma psikologis. Kejadian ini dapat memicu ancaman kematian diri sendiri maupun orang lain bahkan merusak potensi integritas fisik, seksual, atau psikologis individu. Sebagai efek dari sebuah trauma psikologis, biasanya menunjukkan frekuensi gejala yang tidak sering muncul namun berlangsung cukup lama bila dilihat dan dibandingkan gejala pada penderita stress akut.dan merupakan kumpulan gejala gejala stress yang berat.
Penyebab
[sunting | sunting sumber]Kekerasan
[sunting | sunting sumber]Kekerasan merupakan salah satu pengalaman traumatis karena korbannya tidak menghendaki terjadinya hal tersebut dan mengalami penderitaan yang mendalam. Kerentanan seseorang menderita gangguan stres pascatrauma tergantung pada jenis dan tingkat yang dialaminya. Tingkat kerentanan tertinggi ada pada korban kekerasan yang mengalami pengalaman traumatis pada individu yang baru memasuki usia dewasa.[1]
Pelecehan seksual dan pemerkosaan
[sunting | sunting sumber]Trauma yang mendalam dapat terjadi kepada para korban pelecehan seksual dan pemerkosaan. Timbulnya trauma diakibatkan adanya perasaan negatif yang dirasakan oleh korban. Pengalaman traumatis inilah yang menyebabkan timbulnya stres pada korban dan mengakibatkan terjadinya gangguan stres pascatrauma.[2]
Bencana alam
[sunting | sunting sumber]Gangguan stres pascatrauma juga dapat dialami oleh korban bencana alam.[3] Penderitanya memiliki pengalaman traumatis secara tidak langsung maupun langsung terhadap bencana alam. Salah satu contohnya adalah remaja korban gempa bumi dan tsunami. Suara dari gemuruh, dentuman dan angin yang menderu dapat memberikan rasa ketakutan yang mendalam bagi dirinya.[4]
Gejala
[sunting | sunting sumber]Gejala yang muncul pada anak-anak dan remaja penderita gangguan stres pascatrauma dapat berbeda dengan gejala yang muncul pada orang dewasa. Adanya perbedaan ini menandakan bahwa kebutuhan diagnosis dengan kondisi tertentu. Pada anak pra-sekolah, diagnosis atas gejala gangguan stres pascatrauma harus dalam kondisi kejiwaan yang stabil dengan perkembangan yang sensitif.[5]
Diagnosis
[sunting | sunting sumber]Gangguan stres pascatrauma dibahas di dalam DSM-4. DSM-4 menerapkan tiga kriteria diagnostik untuk penyakit ini, yaitu pendedahan, pengalaman ulang dan penghindaran.[6] Dalam DSM-4 disebutkan sebanyak 17 item yang menjadi gejala dari gangguan jiwa pascatrauma.[7] Pada tahun 2000, depresi dimasukkan sebagai gangguan suasana hati dalam DSM-4-TR.[8]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Paramitha, R. G., dan Kusristanti, C. (2018). "Resiliensi Trauma dan Gejala Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) pada Dewasa Muda yang Pernah Terpapar Kekerasan". Jurnal Psikogenesis. 6 (2): 187–188. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-18. Diakses tanggal 2022-03-10.
- ^ Dirgayunita, Aries (2016). "Gangguan Stres Pasca Trauma pada Korban Pelecehan dan Pemerkosaan". Journal An-Nafs. 1 (2): 188. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-18. Diakses tanggal 2022-03-10.
- ^ Zuhri, Mursid (2009). "Post Traumatic Stress Disorder (Gangguan Stress Pasca Trauma Bencana) di Jawa Tengah". Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah. 7 (2): 141–142. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-13. Diakses tanggal 2022-03-10.
- ^ Tubin, ed. (2016). Trauma dan Pemulihannya: Sebuah Kajian Berdasarkan Kasus Pasca Konflik dan Tsunami (PDF). Banda Aceh: Dakwah Ar-Raniry Press. hlm. 3–4. ISBN 978-602-60756-3-5. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-12-09. Diakses tanggal 2022-03-10.
- ^ Ayuningtyas, Ira Palupi Inayah (2017). "Penerapan strategi penanggulangan penanganan PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) pada anak-anak dan remaja" (PDF). Proceeding International Conference 1st ASEAN School Counselor Conference on Innovation and Creativity in Counseling: 48. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-09-17. Diakses tanggal 2022-03-10.
- ^ Hatta, Kusumawati (2016). Tubin, ed. Trauma dan Pemulihannya: Sebuah Kajian Berdasarkan Kasus Pasca Konflik dan Tsunami (PDF). Banda Aceh: Dakwah Ar-Raniry Press. hlm. 45. ISBN 978-602-60756-3-5. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-12-09. Diakses tanggal 2022-03-10.
- ^ Mahfuzhah. A. S., dkk. (2021). "Screening of Post-Traumatic Stress Disorder AMong Adolescent Vic-tims of The Garut Flash Flood in 2016". NurseLine Journal. 6 (1): 9. ISSN 2541-464X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-17. Diakses tanggal 2022-03-14.
- ^ Sulistyorini, W., dan Sabarisman, M. (2017). "Depresi: Suatu Tinjauan Psikologis". Sosio Informa. 3 (2): 156. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-17. Diakses tanggal 2022-03-14.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Gangguan stres pascatrauma di Curlie (dari DMOZ)
- PTSD professional associations di Curlie (dari DMOZ)
- Management of PTSD in adults and children Diarsipkan 2011-05-04 di Wayback Machine. by the National Institute for Health and Clinical Excellence (UK)
- Practice guidelines Diarsipkan 2011-10-15 di Wayback Machine. from the American Psychiatric Association
- Post Traumatic Stress Disorder Information Resource Diarsipkan 2013-04-25 di Wayback Machine. from The University of Queensland School of Medicine Diarsipkan 2011-05-12 di Wayback Machine.
- Resources for Parents of Children with PTSD Diarsipkan 2007-05-09 di Wayback Machine. from The Children's Hospital of Philadelphia Diarsipkan 2010-06-29 di Wayback Machine.