Hisyam bin Abdul Malik
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Hisyām bin ‘Abdul Malik | |||||
---|---|---|---|---|---|
Khalifah Kekhalifahan Umayyah ke-10 | |||||
Berkuasa | 26 Januari 724 – 6 Februari 743 (19 tahun, 12 hari) | ||||
Pendahulu | Yazid bin Abdul Malik | ||||
Penerus | Al-Walid bin Yazid | ||||
Kelahiran | 691 | ||||
Kematian | 6 Februari 743 (usia 52) | ||||
Pasangan | Ummu Hakim binti Yahya bin Al-Hakam Ummu Utsman binti Sa'id bin Khalid | ||||
Keturunan | Maslamah Muawiyah Sa'id Sulaiman Yazid Marwan Abdullah Abdurrahman Muhammad Quraisy Aisyah (putri) | ||||
| |||||
Wangsa | Umayyah (Marwani) | ||||
Ayah | 'Abdul Malik bin Marwan | ||||
Ibu | Aisyah binti Hisyam[1] | ||||
Agama | Islam |
Hisyam bin 'Abdul-Malik (691 (umur -53–-52); bahasa Arab: هشام بن عبد الملك) adalah khalifah yang berkuasa sejak tahun 724 sampai 743. Dia berasal dari Bani Umayyah cabang Marwani. Hisyam juga merupakan putra terakhir 'Abdul Malik yang menjadi khalifah. Di antara para khalifah Umayyah yang berkuasa dari Syria, Hisyam menjadi satu dari tiga khalifah yang memiliki masa kekuasaan terlama, dua yang lain adalah Mu'awiyah bin Abu Sufyan dan 'Abdul Malik bin Marwan. Mewarisi tampuk kepemimpinan dari salah satu negara terluas di dunia berikut segala permasalahan yang ada, Hisyam cukup berhasil mempertahankan kestabilan kekhalifahan.
Awal kehidupan
[sunting | sunting sumber]Hisyam lahir pada tahun 691 di masa kekuasaan ayahnya, 'Abdul Malik bin Marwan. Kedua orangtuanya telah bercerai. Saat 'Abdul Malik bertempur melawan pasukan Mush'ab dan berhasil membunuhnya, berita kelahiran Hisyam sampai kepada 'Abdul Malik, dan itu diyakini sebagai pertanda baik. 'Abdul Malik memberinya nama Manshur, tetapi sang ibu, wanita dari Bani Makzhum, memberinya nama Hisyam yang merupakan nama ayahnya. 'Abdul Malik tidak menentangnya dan putra mereka akhirnya dinamai Hisyam.
Sebelum menjabat sebagai khalifah, Hisyam tinggal di istana Damaskus tanpa memegang jabatan penting di pemerintahan. Saat saudaranya seayah, Khalifah Sulaiman, menderita sakit parah, Raja' bin Haiwah mengumumkan keputusan khalifah bahwa 'Umar bin 'Abdul 'Aziz akan menjadi khalifah setelahnya, kemudian diikuti Yazid bin 'Abdul Malik. Hisyam menentang keputusan tersebut, tetapi kemudian mematuhinya setelah Raja' mengancam akan menggunakan kekerasan pada pihak yang menentang keputusan tersebut.[2] Saat berada di atas mimbar, 'Umar meminta agar Hisyam yang pertama kali memberikan sumpah setia (bai'at) padanya. Hisyam kemudian maju membai'at 'Umar, diikuti hadirin yang lain.[3]
'Umar mangkat karena diracun dan tampuk kekhalifahan kembali ke tangan keturunan 'Abdul Malik, kali ini kepada Yazid. Saudara seayah Yazid dan Hisyam, Maslamah, diberhentikan dari jabatannya oleh Yazid sebagai gubernur Iraq lantaran lebih mendukung Hisyam sebagai putra mahkota daripada Al-Walid yang merupakan putra Khalifah Yazid. Namun usia Al-Walid yang masih muda dipandang belum layak menjadikannya sebagai khalifah, sehingga akhirnya Yazid menetapkan Hisyam sebagai putra mahkota dan Al-Walid sebagai wakil putra mahkota. Saat Yazid mangkat pada 724, Hisyam dinobatkan sebagai khalifah.
Khalifah
[sunting | sunting sumber]Di antara empat putra 'Abdul Malik yang menjadi khalifah, Hisyam merupakan yang terakhir naik takhta dan paling lama berkuasa. Seperti saudaranya Al-Walid I, Hisyam merupakan pelindung seni yang besar, dan ia kembali mendorong berkembangnya seni di negaranya. Ia juga mendorong pengembangan pendidikan dengan membangun banyak sekolah, dan barangkali sumbangsih terpentingnya ialah mengawasi penerjemahan sejumlah karya besar sastra dan ilmiah ke dalam bahasa Arab.
Hisyam berusaha mengembalikan penafsiran syariah sebagaimana di masa 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dan menjalankannya pula terhadap anggota keluarganya sendiri. Kemampuannya menyatukan garis keturunan Umayyah diperkirakan merupakan faktor penting dalam keberhasilannya.
Hisyam bin Abdul-Malik meninggal karena difteri pada tahun 743. Ia digantikan keponakannya Al-Walid II.
Militer
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 723 di masa akhir kekuasaan Khalifah Yazid, Sa'id bin 'Amr al-Harasy digantikan kedudukannya oleh Muslim bin Sa'id bin Aslam Al-Kilabi sebagai gubernur Khurasan. Pada tahun selanjutnya, Muslim Al-Kilabi berencana untuk menaklukkan Lembah Fergana di kawasan Asia Tengah. Kelompok Yamani (Arab selatan) di Balkh awalnya menolak turut serta dalam pasukan lantaran berharap Muslim Al-Kilabi (seorang Qais atau Arab utara) diberhentikan oleh khalifah baru. Mereka baru bergabung dalam peperangan setelah Nashr bin Sayyar mengalahkan mereka di Baruqan.[4][5][6] Meski demikian, 4.000 pasukan suku Azd dari kelompok Yamani keluar dari pasukan.[7][8][5]
Muslim Al-Kilabi memimpin pasukannya di sepanjang lembah Yaxartes ke Ferghana, mengepungnya, dan menghancurkan pedesaan di sekelilingya. Pada titik ini, pasukan Umayyah mengetahui bahwa Suluk, Khan Agung Türgesy, bergerak menuju mereka dengan kekuatan pasukan yang jauh lebih besar. Pasukan Umayyah kemudian menghentikan pengepungan dan mundur ke selatan. Hari kedua setelah pasukan Umayyah menyeberang sungai Wadi As-Subuh, pasukan Türgesy berhasil menyusul dan menyerang perkemahan 'Abdullah bin Abu 'Abdullah yang terpisah dari rombongan utama. Meski banyak korban berjatuhan dari pihak pasukan Arab dan sekutu Sogdian mereka, salah satu di antaranya adalah saudara dari pemimpin Sogdian, mereka berhasil memukul mundur serangan tersebut.[5][9]
Pasukan Arab kembali mundur selama delapan hari dan kerap menjadi bulan-bulanan pasukan berkuda Türgesy. Pada hari kesembilan, pihak Umayyah tiba di Yaxartes dan jalan pulang mereka dihadang oleh pasukan dari Syasy, Fergana, dan sisa dari pemberontakan Sogdian yang ditekan Sa'id bin 'Amr al-Harasy pada masa Khalifah Yazid bin 'Abdul Malik. Pihak Arab berkemah pada malam hari dan kemudian membakar barang bawaan mereka, dikatakan berharga senilai satu juta dirham, sebagai persiapan untuk berperang. Pada hari berikutnya, meskipun menderita kehausan dan dikurung di antara Türgesy di belakang dan pasukan Transoxian di depan, pasukan Arab yang putus asa berhasil menerobos garis musuh dan melintasi Yaxartes. Seperti yang ditulis Ath-Thabari, ketika mereka mencapai Khujand dan terbilang telah aman, "menderita kelaparan dan kelelahan, pasukan menyebar dalam kekacauan". Di sana, kepemimpinan tentara secara resmi dipindahkan ke Abdur-Rahman bin Na'im al-Ghamidi, yang memimpin sisa-sisa tentara kembali ke Samarkand.[10][11][12] Peristiwa ini kerap disebut sejarawan Arab sebagai Hari Dahaga (bahasa Arab: ﻳﻮﻢ ﺍلعطش, Yaumul 'athasy). Kekalahan pasukan Umayyah pada peristiwa ini menjadi pemicu runtuhnya pemerintahan Muslim di kawasan Transoxiana selama beberapa tahun setelahnya.[11][13][14]
Di daratan sekitar kota Ardabil di kawasan Kaukasus, pihak Umayyah berhadapan dengan serangan pasukan bangsa Khazar pada tahun 730 yang dikenal dengan Pertempuran Marj Ardabil. Penyerbuan ini dilakukan sebagai pembalasan atas serangan kekhalifahan terhadap Khazar selama Perang Khazar-Arab yang berlangsung puluhan tahun di awal abad ke-8. Jenderal Umayyah, Al-Jarrah bin 'Abdullah memimpin pasukan dan berperang dengan pihak Khazar selama tiga hari. Pihak mawali yang keluar dari barisan pasukan Umayyah menjadikan pihak Umayyah mengalami kekalahan. Al-Jarrah sendiri tewas dalam perang ini.[15][16] Sejarawan Arab Kristen, Uskup Agapius putra Konstantin (Mahbūb bin Qūsthanthin) menyatakan bahwa 20.000 orang tewas di pihak Umayyah dan dua kalinya ditawan, mungkin termasuk penduduk Ardabil dan kawasan di sekitarnya.
Setelah menduduki Ardabil, pihak Khazar mengerahkan pasukan ke Mosul. Hisyam kemudian mengangkat Sa'id bin 'Amr al-Harasy sebagai pemimpin pasukan untuk melawan Khazar, tetapi dia hanya memiliki sedikit pasukan. Sebagai gantinya, Hisyam memberikan tombak yang dikatakan pernah digunakan dalam Perang Badar untuk digunakan sebagai panji, juga 100.000 dirham untuk merekrut pasukan (termasuk dari mereka yang pernah bertarung di Ardabil).[17] Pihak Umayyah pada akhirnya dapat memukul mundur Khazar ke utara Pegunungan Kaukasus, termasuk membebaskan tawanan perang mereka. Meski mencapai keberhasilan, Sa'id Al-Harasy kemudian diberhentikan pada 731 dan bahkan ditahan sementara di Qabalah lantaran kecemburuan saudara tiri Hisyam, Maslamah. Hisyam kemudian mengangkat Maslamah sebagai gubernur Armenia dan Azerbaijan dan melanjutkan pertempuran melawan Khazar.[18]. Ketidakmampuan Maslamah dalam menghadapi Khazar menjadikan kedudukan gubernur diserahkan kepada sepupu Hisyam, Marwan bin Muhammad bin Marwan. Pada musim semi 733, kedudukan tersebut diserahkan kepada Sa'id bin 'Amr. Meski demikian, Sa'id lebih menggunakan strategi bertahan dalam menghadapi Khazar, sangat mungkin akibat kelelahan pasukannya dalam melawan Khazar. Sa'id meninggalkan kedudukannya pada 735 karena kehilangan penglihatannya.[19][20] Pada tahun 737, pasukan Umayyah di bawah kepemimpinan Marwan bin Muhammad berhasil meraih kemenangan nominal.[21][22]
Di anak benua India, Hisyam kembali melanjutkan kebijakan pendahulunya untuk memperluas wilayah kekhalifahan. Pada masa sebelumnya, Muhammad bin Qasim berhasil menundukkan Sindh dan membunuh raja terakhirnya dari Wangsa Brahman, Raja Dahir, pada 712. Pada 723, Junaid bin Abdurrahman ditetapkan sebagai gubernur Sindh dan melanjutkan perluasan wilayah kekhalifahan. Tujuan pertamanya adalah Al-Kiraj (kemungkinan kawasan lembah Kangra) yang pada akhirnya berhasil mengakhiri riwayat kerajaan tersebut.
Di sebelah utara, upaya penaklukan juga diarahkan ke Punjab, tetapi pasukan Umayyah dapat dikalahkan oleh Lalitaditya Muktapida, Raja Kashmir.[23] Pasukan lain dikerahkan ke selatan dan berhasil menaklukkan Qassa (Kutch), al-Mandal (kemungkinan Okha), Dahnaj (tidak diketahui), Surast (Saurashtra), dan Barus atau Barwas (Bharuch).[24][25][26] Junaid juga menaklukkan seluruh Gujarat, sebagian besar Rajasthan, dan sebagian dari Madhya Pradesh. Penaklukan besar-besaran ini sangat mungkin dilakukan guna membentuk provinsi baru di tubuh kekhalifahan.[27]
Pada 726, kedudukan Junaid sebagai gubernur Sindh digantikan oleh Tamim bin Zaid Al-Utbi. Pada beberapa tahun setelahnya, segala capaian Junaid lepas. Catatan Arab tidak memberikan keterangan selain bahwa beberapa pasukan Umayyah yang berasal dari tempat yang jauh seperti Syria dan Yaman meninggalkan tempat mereka di India dan menolak kembali. Hal ini terjadi dimungkinkan karena perlawanan dari pihak India atau masalah internal dalam pasukan Arab.[28] Tamim bin Zaid sendiri dikatakan melarikan diri dari Sindh dan meninggal dalam perjalanan.
Al-Hakam bin 'Awanah Al-Kalbi diangkat sebagai gubernur Sindh pada 731. Setelah mengembalikan ketertiban ke Sindh dan Kutch dan mengamankan Al-Mahfuzah dan Al-Manshur (ibukota Sindh) dengan membangun benteng, Al-Hakam kemudian melanjutkan untuk merebut kembali kerajaan India yang sebelumnya ditaklukkan oleh Junaid. Meski demikian, pasukan Umayyah mendapat perlawanan kuat dari negara-negara di India.
Tercatat dalam sebuah prasasti bertanggal 736 M, Raja Gurjara Nandipuri, Jayabhata IV, mengerahkan bala bantuan untuk Raja Vallabhi dan meraih kemenangan telak atas pasukan Tājika (Arab). Pasukan Umayyah kemudian menyerbu kerajaan Jayabhata sendiri dan melanjutkan ke Navsari di Gujarat selatan.[29][30][31] Penyerangan ini sangat mungkin untuk membuka jalan ke India Selatan. Namun, di sebelah selatan Sungai Mahi terbentang Kemaharajaan Chalukya yang kuat dan mereka berhasil mengalahkan pasukan Umayyah.
Al-Hakam yang kewalahan meminta dukungan dari pusat, tetapi hanya sejumlah 600 orang yang dikirim sebagai bala bantuan, dan kekuatan bantuan yang kecil tersebut masih harus dikerahkan juga untuk memadamkan pemberontakan setempat dalam perjalanan mereka di Iraq. Kemenangan Chalukya diyakini telah menjadi pukulan kuat untuk pasukan Umayyah yang berbiaya besar.[32]
Pasukan Arab yang melemah kemudian diusir oleh bawahan dari para raja yang sebelumnya. Pangeran Guhilot Bappa Rawal (memerintah 734–753) mengusir orang-orang Arab yang telah mengakhiri dinasti Maurya di Chittor.[32][33] Baij Nath Puri menyatakan bahwa kampanye Arab di sisi timur sungai Indus terbukti tidak efektif. Upaya perluasan wilayah ke kawasan tersebut justru secara tidak disengaja menyatukan kerajaan-kerajaan India di Rajasthan dan Gujarat. Chalukya memperluas kekaisaran mereka ke utara setelah berhasil memerangi pasukan Arab. Nagabhata I mendapatkan kedudukan kuat dan meletakkan dasar bagi pembentukan dinasti baru, yang menjadi penghalang utama bagi pihak kekhalifahan yang ingin memperluas wilayah.[34] Blankinship juga mencatat bahwa kampanye Al-Hakam menyebabkan kerajaan-kerajaan di India menjadi lebih besar dan kuat.[35] Al-Hakam meninggal pada 740 ketika bertempur melawan Med dari Saurashtra utara (Maitraka, mungkin di bawah kendali Chalukya saat ini).[36] Kematian Al-Hakam mengakhiri keberadaan Umayyah di sisi timur Sindh. Beberapa kampanye dilancarkan penerusnya, tetapi sangat mungkin tidak meraih hal yang diharapkan, lantaran pihak Umayyah tidak pernah meluaskan wilayah kembali ke luar Sindh.[37]
Pada masa Hisyam, serangan yang dilancarkan terhadap Kekaisaran Romawi Timur semakin gencar dan dipimpin oleh para panglima yang paling mumpuni, di antaranya adalah Maslamah bin 'Abdul Malik yang merupakan saudara tiri Hisyam dan putra-putra Hisyam sendiri, Mu'awiyah, Sulaiman, Maslamah, dan Sa'id. Maslamah bin 'Abdul Malik memimpin perang melawan Romawi pada 725-726 (107 H) dan berhasil mengambil alih kepemimpinan Caesarea Mazaca. Mu'awiyah hampir selalu melancarkan serangan tahunan pada Romawi. Di musim panas 727, penyerangan besar-besaran dipimpin oleh Mu'awiyah bin Hisyam, dengan 'Abdullah Al-Battal memimpin barisan depan pasukan.[38][39] Penulis sejarah Romawi Teofanis Sang Pengaku Iman mengklaim bahwa garda depan saja berjumlah 15.000 orang dan seluruh pasukan berjumlah 100.000.[40] Teofanis juga mencatat Amr tertentu bertindak sebagai wakil Mu'awiyah.[39][41] Pasukan Umayyah bergerak ke barat ke barat laut Asia Kecil, dan barisan depan di bawah Al-Battal menyerang dan menjarah kota Gangra di Paphlagonia dan sebuah tempat yang disebut Tabya dalam sumber Arab, mungkin benteng Ateous di Frigia. Gangra diratakan ke tanah, tetapi selama serangan terhadap Tabya, orang-orang Arab, terutama kontingen Antiokhia, dikatakan menderita kerugian besar.[38][39]
Dari sana, pihak Umayyah berbelok ke barat menuju Nicea, kota utama Bitinia dan ibu kota Provinsi-militer (thema) Opsikion yang kuat.[39] Pasukan Arab tiba di depan kota pada akhir Juli, dengan garda depan Al-Battal mendahului pasukan utama. Pihak Romawi, mungkin di bawah perintah pemimpin Opsikion, Artabasdos, tidak menemui mereka di lapangan, tetapi malah mundur di balik tembok kota. Pasukan Umayyah menyerang kota selama empat puluh hari, menggunakan mesin pengepungan yang menghancurkan sebagian tembok, tetapi akhirnya gagal mendudukinya. Pada akhir Agustus, mereka meninggalkan pengepungan dan pergi, membawa serta banyak tawanan dan rampasan perang.[38][39][42] Kronik abad ke-12 Patriark Mikhael Syrus mengklaim bahwa penduduk kota meninggalkannya dan melarikan diri dengan kapal melalui Danau Ascania saat orang-orang Arab menghancurkan Nicea, tetapi ini jelas merupakan kesalahan.[39]
Pada 110 H, Mu'awiyah berhasil mengambil alih benteng Samalu di Kilikia. Tahun berikutnya, Mu'awiyah dan Sa'id melancarkan serangan laut. Pada 112 H, Mu'awiyah menduduki Kharsianon di Kapadokia. Setelah kemenangan atas Khazar pada perang 737, pihak Umayyah memusatkan perhatian pada Romawi. Pada 738 dan 739, Maslamah bin Hisyam melancarkan serangan dan berhasil menduduki Ancyra (Ankara). Pada 740, Hisyam menghimpun pasukan yang terbesar pada masa kekuasaannya, mengerahkannya ke Romawi di bawah kepemimpinan Sulaiman bin Hisyam.
Menurut kronik Teofanis, pasukan Umayyah berjumlah 90.000 orang. 10.000 pasukan bersenjata ringan dipimpin Al-Ghamr bin Yazid dikirim untuk menyerbu pantai barat, diikuti oleh 20.000 yang dipimpin 'Abdullah Al-Battal dan Al-Malik bin Syu'aib yang berbaris menuju Akroinon, sementara pasukan utama berkekuatan sekitar 60.000 orang yang dipimpin Sulaiman bin Hisyam menyerang Kapadokia.[43][44]
Kaisar Leo menghadapi kekuatan kedua di Akroinon. Rincian pertempuran tidak diketahui, tetapi Leo memastikan kemenangan besar: kedua komandan Arab gugur berikut sebagian besar pasukan mereka, sekitar 13.200 orang. Sisa pasukan Arab berhasil mundur ke Synnada dan bergabung dengan Sulaiman.[43][45] Dua pasukan Arab lainnya menghancurkan pedesaan tanpa lawan, tetapi gagal merebut kota atau benteng.[46] Tentara Arab juga menderita kelaparan hebat dan kekurangan pasokan sebelum kembali ke Syria, sementara sejarawan Kristen Arab abad ke-10, Agapius mencatat bahwa Romawi menawan 20.000 orang dari pasukan Umayyah.[47]
Kekalahan Umayyah di Akroinon secara tradisional dipandang sebagai pertempuran yang "menentukan"[48] dan "titik balik"[49] dari perang Arab-Romawi, menyebabkan berkurangnya tekanan kekhalifahan pada Romawi Timur. Akan tetapi, sejarawan kontemporer menentang pandangan ini, mengaitkan berkurangnya ancaman Arab setelah Akroinon peristiwa besar lain di kekhalifahan (seperti pertempuran Marj Ardabil), yang menghabiskan sumber daya militernya yang terlalu besar, serta dengan kekacauan internal akibat Fitnah Ketiga dan Revolusi Abbasiyah.[50][51] Akibatnya, serangan Umayyah terhadap Romawi pada 740-an agak tidak efektif dan segera berhenti sepenuhnya.
Perselisihan internal di Romawi antara Kaisar Konstantinus V dan Artabasdos membuka jalan bagi pasukan Umayyah yang dipimpin Sulaiman bin Hisyam pada 741-742 yang menjadikan banyak pihak Romawi ditawan Umayyah.[52]
Di Andalusia, Hisyam menobatkan 'Abdurrahman Al-Ghafiqi sebagai Gubernur Andalus. 'Utsman bin Naisa, pemimpin Catalunya yang berasal dari suku Berber, berusaha memerdekakan diri dengan bekerja sama dengan Eudes/Eudo, Adipati Aquitaine. Demi mengesahkan kerjasama, 'Utsman menikahi putri Eudes. 'Abdurrahman kemudian menekan pemberontakan tersebut dan 'Utsman meninggal pada 731. Sebagian pendapat menyatakan bahwa 'Utsman dibunuh pihak 'Abdurrahman, sedangkan yang lain berpendapat bahwa dia bunuh diri. Pasukan 'Abdurrahman kemudian melintasi Pegunungan Pirenia, menundukkan kota Bordeaux setelah mengalahkan Eudo di pertempuran di luar kota. Eudes kalah kembali untuk kedua kalinya di Pertempuran Sungai Garonne pada 732.[53] Berbeda dengan Pertempuran Toulose pada 721 saat Eudes meraih kemenangan, pada perang kali ini, dia dipaksa berhadapan secara terbuka dengan pasukan berkuda Umayyah.
Bersama bangsawan yang tersisa, Eudes pergi ke utara untuk meminta bantuan pada Karl Martell, pemimpin de facto Kerajaan Franka dari tahun 718. Pasukan 'Abdurrahman sendiri kemudian melanjutkan penyerangan ke utara, menundukkan kota-kota yang dilalui dan mengambil banyak rampasan perang. Pihak Umayyah pada masa ini menilai bahwa bangsa Frank hanya salah satu dari sekian suku barbar yang turut merusak Eropa setelah jatuhnya Roma, sehingga tidak mengambil tindakan pengintaian untuk mengetahui besaran kekuatan lawan. Selain itu, 'Abdurrahman sendiri awalnya tidak yakin bahwa bangsa Frank akan memberi bantuan Eudes karena keduanya sedang bermusuhan kala itu.
Pertemuan antara pasukan Umayyah pimpinan 'Abdurrahman dan Frank pimpinan Karl Martell terjadi di daerah antara Poitiers dan Tours pada Oktober 732. Pihak Frank yang terdiri dari pasukan berjalan kaki menggunakan taktik bertahan dengan berlindung di balik pepohonan dan bukit dengan formasi falangs,[54] untuk menyamarkan jumlah pasukannya dan memecah barisan penyerangan pasukan berkuda Umayyah, dan kedua belah pihak bertempur selama tujuh hari. Di sisi lain, musim dingin menguntungkan pihak Karl yang pasukannya memang telah mengenakan pakaian musim dingin, sedangkan pakaian musim dingin pihak Umayyah yang lebih cocok digunakan di Afrika Utara tidak cukup tebal. Setelahnya, sebagian pasukan Frank maju memutar dan menyerang kemah pihak Umayyah yang terdapat keluarga pasukan dan harta rampasan perang di sana. Banyak pasukan Umayyah berbalik mundur mengetahui kemah mereka dijarah dan yang masih bertahan di garis depan dikepung dan dihancurkan oleh pasukan Karl, termasuk di antaranya adalah 'Abdurrahman sendiri. Kekalahan pihak Umayyah dalam pertempuran ini menjadikan dasar bagi dominasi Frank atas Eropa barat dengan terbentuknya Kekaisaran Karoling pada masa setelahnya.[55] Pertempuran ini juga membendung laju perluasan wilayah kekhalifahan ke utara. Meski begitu, semenanjung Iberia masih dalam kekuasaan Muslim hingga beberapa abad setelahnya.
Di Afrika Utara, pemberontakan besar suku Berber berhasil ditumpas dengan tewasnya ratusan ribu pemberontak. Kemenangan ini selamanya mengakhiri pemberontakan di sana. Hisyam juga menghadapi pemberontakan oleh Zaid bin Ali, cucu Husain bin Ali, tetapi pasukan Zaid berhasil dikalahkannya.
Walaupun Hisyam sukses, kaum pendukung Bani Abbasiyah terus memperoleh tambahan kekuatan dan membangun basis mereka di Khurasan dan Irak. Namun, mereka belum cukup kuat untuk membuat gerakan terbuka terhadap Bani Umayyah pada masa pemerintahan Hisyam.
Wafat
[sunting | sunting sumber]Hisyam bin Abdul-Malik meninggal karena difteri pada tahun 743. Ia digantikan keponakannya Al-Walid II.
Keluarga
[sunting | sunting sumber]Orangtua
[sunting | sunting sumber]Ayah — 'Abdul Malik. Khalifah yang berkuasa pada 685 - 705.
- Kakek — Marwan. Khalifah yang berkuasa pada 684 - 685.
- Nenek — 'Aisyah binti Mu'awiyah bin Al-Mughirah
Ibu — Aisyah binti Hisyam bin Isma'il. Berasal dari Bani Makzhum.
Pasangan
[sunting | sunting sumber]- Ummu Hakim. Putri Yahya bin Al-Hakam bin Abi Al-'Ash, saudara tiri Khalifah Marwan.
Anak
[sunting | sunting sumber]Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ Dr. Eli Munif Shahla, "Al-Ayam al-Akhira fi Hayat al-Kulafa", Dar al-Kitab al-Arabi, 1st ed., 1998, p. 238
- ^ Hawting 2000, hlm. 72.
- ^ Powers 1990, hlm. 72–73.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 176.
- ^ a b c Gibb 1923, hlm. 65.
- ^ Shaban 1979, hlm. 103–104.
- ^ Blankinship 1989, hlm. 13–14.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 126.
- ^ Blankinship 1989, hlm. 15.
- ^ Blankinship 1989, hlm. 15–16.
- ^ a b Blankinship 1994, hlm. 127.
- ^ Gibb 1923, hlm. 65–66.
- ^ Hawting 2000, hlm. 85.
- ^ Shaban 1979, hlm. 106.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 149–150.
- ^ Brook 2006, hlm. 127–128.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 150.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 150–151.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 171.
- ^ Crone 1980, hlm. 144.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 150–154, 170–174.
- ^ Brook 2006, hlm. 128–129.
- ^ Hasan 1959, hlm. 30.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 132–133.
- ^ Wink 2002, hlm. 208.
- ^ Bhandarkar 1929, hlm. 29–30.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 133-134.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 147–148.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 187.
- ^ Puri 1986, hlm. 44.
- ^ Chattopadhyaya 1998, hlm. 32.
- ^ a b Blankinship 1994, hlm. 188.
- ^ Sailendra Nath Sen 1999, hlm. 336–337.
- ^ Puri 1986, hlm. 46.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 189–190.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 189.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 203–204.
- ^ a b c Blankinship 1994, hlm. 120.
- ^ a b c d e f Lilie 1976, hlm. 147.
- ^ Mango 1997, hlm. 560.
- ^ Mango 1997, hlm. 561–562.
- ^ Mango 1997, hlm. 560–561.
- ^ a b Turtledove 1982, hlm. 103.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 169, 330.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 169–170.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 169.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 170.
- ^ Foss 1991, hlm. 48.
- ^ Herrin 1977, hlm. 20.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 145–146, 167–168, 330.
- ^ Kaegi 1982, hlm. 167.
- ^ Al-Tabari, v. 26, hlm. 68
- ^ Medieval Sourcebook: "Arabs, Franks, and the Battle of Tours, 732: Three Accounts", Fordham University
- ^ Hanson 2001, hlm. 141.
- ^ Davis 1999, hlm. 106.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- (Inggris) Bacharach, Jere L., Khalid Y. Blankinship, The End of Expansion: The Caliphate of Hisham A.D. 724-738/A.H. 105-120, Albany, SUNY Press, 1989.
- Bhandarkar, D. R. (1929). "Indian Studies No. I: Slow Progress of Islam Power in Ancient India". Annals of the Bhandarkar Oriental Research Institute. 10 (1/2): 25–44. JSTOR 41682407.
- Blankinship, Khalid Yahya (1994). The End of the Jihad State: The Reign of Hisham Ibn 'Abd al-Malik and the Collapse of the Umayyads. New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-1827-7.
- Brook, Kevin Alan (2006). The Jews of Khazaria, Second Edition. Plymouth: Rowman & Littlefield Publishers, Inc. ISBN 978-0-7425-4982-1.
- Chattopadhyaya, B. D. (1998), Representing the Other? Sanskrit Sources and the Muslims, New Delhi: Manohar, ISBN 978-8173042522
- Crone, Patricia (1980). Slaves on Horses: The Evolution of the Islamic Polity. Cambridge and New York: Cambridge University Press. ISBN 0-521-52940-9.
- Foss, Clive F.W. (1991). "Akroinon". Dalam Kazhdan, Alexander. The Oxford Dictionary of Byzantium. Oxford and New York: Oxford University Press. hlm. 48. ISBN 0-19-504652-8.
- Davis, Paul K. (1999). 100 Decisive Battles From Ancient Times to the Present. Santa Barbara, California: ABC-CLIO. ISBN 978-1-57607-075-8.
- Gibb, H. A. R. (1923). The Arab Conquests in Central Asia. London: The Royal Asiatic Society. OCLC 685253133.
- Hanson, Victor Davis (2001). Carnage and Culture: Landmark Battles in the Rise of Western Power. Anchor Books. ISBN 0-571-21640-4.
- Hasan, Mohibbul (1959). Kashmir Under the Sultans. Delhi: Aakar Books.
- Hawting, G. R. (2000). The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661–750 (2nd Edition). London and New York: Routledge. ISBN 0-415-24072-7.
- Herrin, Judith (1977). "The Context of Iconoclast Reform". Dalam Bryer, Anthony; Herrin, Judith. Iconoclasm. Papers given at the Ninth Spring Symposium of Byzantine Studies, University of Birmingham, March 1975. hlm. 15–20. ISBN 0-7044-0226-2.
- Kaegi, Walter Emil (1982). Army, Society, and Religion in Byzantium. London: Variorum Reprints. ISBN 978-0-86078-110-3.
- Lilie, Ralph-Johannes (1976). Die byzantinische Reaktion auf die Ausbreitung der Araber. Studien zur Strukturwandlung des byzantinischen Staates im 7. und 8. Jhd (dalam bahasa German). Munich: Institut für Byzantinistik und Neugriechische Philologie der Universität München. OCLC 797598069.
- Mango, Cyril; Scott, Roger (1997). The Chronicle of Theophanes Confessor. Byzantine and Near Eastern History, AD 284–813. Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. ISBN 0-19-822568-7.
- Powers, David Stephan (1990). The History of al-Tabari, Vol. XXIV., The Empire in Transition; The Caliphates of Sulayman, ‘Umar, and Yazid. New York: State University of New York Press.
- Puri, Baij Nath (1986). The History of the Gurjara-Pratiharas. Delhi: Munshiram Manoharlal.
- Sen, Sailendra Nath (1999). Ancient Indian History and Civilisation. New Delhi: New Age International Publishers. ISBN 978-81-224-1198-0.
- Shaban, M. A. (1979). The ʿAbbāsid Revolution. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-29534-3.
- Turtledove, Harry (1982). The Chronicle of Theophanes: An English Translation of anni mundi 6095–6305 (A.D. 602–813). Philadelphia, Pennsylvania: University of Pennsylvania Press. ISBN 978-0-8122-1128-3.
- Wink, André (2002) [first published 1996], Al-Hind: The Making of the Indo-Islamic World (edisi ke-Third), Brill, ISBN 978-0391041738
Hisyam bin Abdul Malik Marwani Cabang kadet Bani Umayyah Lahir: 691 Meninggal: 6 Februari 743
| ||
Jabatan Islam Sunni | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Yazid bin 'Abdul Malik |
Khalifah 26 Januari 724 – 6 Februari 743 |
Diteruskan oleh: Al-Walid bin Yazid |