Hubungan Safawiyah dengan Utsmaniyah
Sejarah hubungan Utsmaniyah–Safawi (bahasa Persia: روابط عثمانی و صفوی) dimulai dengan berdirinya dinasti Safawiyah di Persia (Iran) pada awal abad ke-16. Konflik Utsmaniyah–Safawiyah awal memuncak dalam Pertempuran Chaldiran pada tahun 1514 dan dilanjutkan oleh satu abad konfrontasi perbatasan. Pada 1639, Safawiyah Persia dan Kesultanan Utsmaniyah menandatangani Perjanjian Zuhab yang mengakui Irak dalam kendali Utsmaniyah dan mempertegas Kaukasus sebagai batas pemisah dua kekaisaran. Sebagian besar perjanjian Zuhab adalah konsolidasi Perdamaian Amasya sekitar satu abad sebelumnya.[1]
Sampai abad ke-18, perebutan pengaruh antara Islam Syiah versi Safawi dan Islam Sunni versi Turki Utsmaniyah terus menjadi dimensi penting dari hubungan agresif antara dua kekuatan besar tersebut.[2] Pada awal abad ke-18, negosiasi perdamaian Persia-Utsmaniyah memperkenalkan konsep baru hubungan antar Muslim di mana negara-negara berdaulat dapat hidup berdampingan sebagai bagian otonom dari komunitas dunia Islam.[3] Meskipun hubungan selanjutnya dibayang-bayangi oleh rasa takut yang saling melemahkan dan saling tidak percaya, baru pada tahun 1847 ketika Qajar Persia dan Kekaisaran Utsmaniyah mencapai perdamaian substansial melalui Perjanjian Erzurum untuk memulai satu abad perdamaian, setelah berabad-abad persaingan.[2]
Awal mula persaingan
[sunting | sunting sumber]Peran Agama
[sunting | sunting sumber]Islam memainkan peran yang sangat penting dalam hubungan Utsmaniyah-Safawi. Baik Safawi dan Utsmaniyah mengandalkan hubungan melalui Islam, meskipun seringkali sebagai klaim untuk membenarkan aturan masing-masing. Namun, hukum Islam mencegah perang antara sesama Muslim, kecuali untuk menegakkan hukum syariat atau untuk menindak pelanggaran hukum syariat.[4] Sehingga untuk berperang melawan negara islam yang lain, harus membenarkan tindakan tersebut secara agama. Sebagai contoh : Selim I, sultan Kekaisaran Utsmaniyah pada awal 1500-an, mencari pembenaran seperti itu. Ulama dan pejabat negara di Kesultanan Utsmaniyah dengan cepat menyebut Shah Ismail dan para pengikutnya, sebagai ancaman bagi Islam karena ajaran Syiah yang dianggap menyimpang. Akibatnya, Selim I memerintahkan eksekusi kepada semua simpatisan Shah Ismail baik di Konstantinopel dan di seluruh wilayah Utsmaniyah.[5]
Ancaman Safawi di Kesultanan Utsmaniyah
[sunting | sunting sumber]Selim I beranggapan Safawi adalah ancaman yang muncul di perbatasan timur Utsmaniyah. Ancaman itu menjadi kenyataan, ketika Shah Ismail menyerbu Anatolia tahun 1507. Pemberontakan Shahkulu oleh pengikut sekte Syiah di Anatolia pada tahun 1511, memperkuat kekhawatiran Selim akan pemberontakan internal. Pemberontak mempertahankan budaya Syiah sebab pengaruh dari Shah Ismail dan Safawi. Sehingga Selim mengirim kekuatan militer untuk menghancurkan pemberontakan demi meredam pengaruh Safawi dan Syiahnya.[5]
Embargo perdagangan
[sunting | sunting sumber]Utsmaniyah menggunakan embargo perdagangan secara konsisten terhadap Safawi sebagai cara untuk menegaskan dominasi atas persaingan mereka di Timur Tengah. Kemenangan telak Utsmaniyah atas Safawi dalam Pertempuran Chaldiran pada tahun 1514 menyebabkan kekuasaan Utsmaniyah di Asia Kecil semakin kuat.[6] Sehubungan dengan invasi ke wilayah Safawi dan penaklukan Baghdad, Selim I mulai membatasi jalur perdagangan bagi para pedagang sutra Safawi dan menangkap siapa saja yang memasuki wilayah Utsmaniyah dari Safawi Iran. Pembatasan perdagangan dan penangkapan simpatisan Safawi sering terjadi di masa kepemimpinan Suleiman I. Embargo juga digunakan pada tahun 1603, ketika kebangkitan kekuasaan Safawi sekali lagi menjadi ancaman yang mengkhawatirkan di perbatasan timur Utsmaniyah, tetapi embargo tersebut tidak sesukses yang dilakukan oleh Selim I.[7]
Catatan
[sunting | sunting sumber]- ^ Herzig 2005, hlm. 47.
- ^ a b Calabrase 1998, hlm. 76.
- ^ Tucker 1996, hlm. 76.
- ^ Finkel 2007, hlm. 104.
- ^ a b Hess 1973, hlm. 67.
- ^ Labib 1979, hlm. 435.
- ^ Riedlmayer 1981, hlm. 7-10.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- Herzig, Edmund dan Marina Kurchiyan (2005). "Armenians: Past and Present in the Making of National Identity". ISBN 0203004930. Diakses tanggal 15 November 2021.
- Ernest, Tucker (1996). The Peace Negotiations of 1736: A conceptual turning point in Ottoman–Iranian relations. 20. The Turkish Studies Association Bulletin. Diakses tanggal 15 November 2021.
- Calabrese, John (1998). "Turkey and Iran: Limits of a Stable Relationship". 25 (1). British Journal of Middle Eastern Studies. Diakses tanggal 15 November 2021.
- Finkel, Caroline (2007). Osman's Dream: The History of the Ottoman Empire. New York: Basic Books. Diakses tanggal 15 November 2021.
- Hess, Andrew C (1973). "The Ottoman Conquest of Egypt (1517) and the Beginning of the Sixteenth-century World War". 4 (1). Cambridge University Press. Diakses tanggal 15 November 2021.
- Labib, Subhi (1979). "The Era of Suleyman the Magnificent: Crisis of Orientation". 10 (4). Cambridge University Press. Diakses tanggal 15 November 2021.
- Riedlmayer, Andras (1981). "Ottoman-safavid Relations and the Anatolian Trade Routes: 1603-1618". 5 (1). Indiana University Press. Diakses tanggal 15 November 2021.
- Bomati, Yves dan Houchang Nahavandi (2017). Shah Abbas, Emperor of Persia,1587-1629. Diterjemahkan oleh Azizeh Azodi. Los Angeles: Ketab Corporation. ISBN 9781595845672. Diakses tanggal 15 November 2021.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- OTTOMAN-PERSIAN RELATIONS i. UNDER SULTAN SELIM I AND SHAH ESMĀʿIL I (Encyclopædia Iranica)
- Güngörürler, Selim (2018). "Fundamentals of Ottoman-Safavid Peacetime Relations, 1639–1722". Turkish Historical Review. 9 (2): 151–197. doi:10.1163/18775462-00902002.