Lompat ke isi

Intensifikasi Serat Karung Rakyat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari ISKARA)

Intensifikasi Serat Karung Rakyat (ISKARA) adalah sebuah usaha pemanfaatan lahan yang tidak termanfaatkan untuk penanaman tanaman serat, terutama rosella dan yute jawa. ISKARA sudah dimulai sejak tahun 1970an ketika muncul SK Presiden agar lahan yang ditanami tebu dan komoditas lain, termasuk padi dan serat agar terhindar dari persewaan tanah. Petani ketika itu memanfaatkan SK Presiden tersebut dengan menggilir sawah tadah hujan mereka dengan menanaminya dengan tanaman serat. Yute jawa tipe genjah sudah ada pada tahun tersebut dan dapat dipanen pada usia empat bulan. Dengan meluasnya area penanaman serat, diharapkan Indonesia dapat swasembada serat hingga siap ekspor.[1]:Bab 4:48

Sedangkan ISKARA secara resmi dimulai pada tahun 1980an dengan diterbitkannya SK Menteri Pertanian no 296/kpts/um/5/1980 dan SK Gubernur Jawa Tengah no 525.2/133/1980. Kedua SK tersebut membagi ISKARA menjadi tiga jenis berdasarkan status kepemilikan lahan (milik petani atau PTPN XVII) dan besar kredit yang diberikan oleh Bank Bumi Daya kepada petani peserta ISKARA.[1]:Bab 4:49 Pada saat itu PTPN XVII ditunjuk oleh pemerintah sebagai pengelola dengan wilayah meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Dan pada tahun 1986 merupakan puncak penanaman yaitu seluas 26.000 Ha dengan produktivitas rata-rata 0,9 – 1,2 ton/ha serat kering.[2] Harga yang diterima petani peserta program ISKARA ketika itu antara 160 hingga 225 rupiah per kg tergantung jenis dan kualitasnya. Sedangkan untuk petani yang memanfaatkan lahan milik PTPN XVII, ditetapkan sistem bagi hasil dengan besar minimal 179000 Rupiah untuk rosella dan 93250-139875 Rupiah untuk yute jawa.[1]:Bab 4:51-52

ISKARA menyebabkan Indonesia mengalami kelebihan produksi pada tahun 1986 sehingga ketika itu Universitas Diponegoro Semarang mengajak diskusi bersama direktur PTPN XVII untuk mendiversifikasi serat yute jawa yang berlebih tersebut. Diversifikasi penting agar serat yang dipanen petani tetap terserap sehingga mereka tidak kehilangan pekerjaan. Ekspor ketika itu bukanlah opsi yang dipilih karena harga di pasar ekspor lebih murah dibandingkan dengan biaya produksi dalam negeri.[3]

Referensi

[sunting | sunting sumber]