Ibrahim Yaakob
Biografi | |
---|---|
Kelahiran | 1911 Temerloh |
Kematian | 1979 (67/68 tahun) |
Data pribadi | |
Kelompok etnik | Orang Minangkabau |
Kegiatan | |
Pekerjaan | politikus |
Ibrahim bin Haji Yaakob, lebih dikenal sebagai Ibrahim Yaacob atau Ibrahim Yacoob atau Ibrahim Yaakob (27 November 1910 – 8 Maret 1979) adalah pejuang kemerdekaan Malaya. Ibrahim dilahirkan dari sebuah keluarga yang merantau ke Pahang di Semenanjung Malaya pada awal abad XIX. Dia merupakan presiden dan pendiri Kesatuan Melayu Muda (KMM) bersama Mustapha Hussain, dan merupakan tokoh politik Melayu yang menentang pemerintah kolonial Britania (Inggris) di Malaya. Ibrahim Yaacob merupakan pendukung gagasan "Indonesia Raya" yang menghendaki penyatuan Malaya dengan wilayah bekas Hindia Belanda (kini Indonesia).
Pertemuan dengan Soekarno dan Hatta dan Gagasan Indonesia Raya
[sunting | sunting sumber]Lapangan Terbang Payalebar, Singapore, 8 Agustus 1945
Pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia, Soekarno dan Hatta sedang transit dalam perjalanan ke Dalat (sekarang Saigon/Ho Chi Minh City), Vietnam untuk menemui panglima AD Jepang Grup Ekspedisi Selatan yg membawahi Asia Tenggara, Gensui (FieldMarshall) Hisaichi Terauchi. Tujuan kedua tokoh Indonesia tersebut menemui Terauchi adalah membicarakan persiapan kemerdekaan Indonesia.
Pada saat transit, kedua tokoh pejuang Indonesia tersebut disambut oleh massa yg mengibarkan bendera merah putih, yg dipimpin oleh Ibrahim Yacoob dan Dr. Burhanuddin al-Hilmi, tokoh-tokoh KRIS (Kesatoean Ra'jat Indonesia Semenandjoeng). KRIS ini memang dibentuk untuk menyongsong rencana proklamasi kemerdekaan negara baru bernama Indonesia di tanah Semenanjung Malaya dan Singapore!
Dalam kesempatan pertemuan tersebut, kedua tokoh puak Melayu Malaya tersebut menyampaikan aspirasi rakyat Malaya bahwa tanah Semenanjung bagian tak terpisahkan dari Indonesia Raya dan harus ikut dibicarakan dalam agenda pertemuan dengan penguasa militer Jepang di Dalat.
Taiping, Perak, 13 Agustus 1945
Sekembali dari Dalat, Soekarno dan Hatta singgah di Taiping, Perak pada 13 Agustus 1945. Di sana ia bertemu kembali Ibrahim Yaacob dkk. Dalam kesempatan itu, Ibrahim Yaacob kembali menyampaikan bahwa kemerdekaan Malaya tercakup dalam Kemerdekaan Indonesia. Konon, mendengar keinginan Ibrahim Yaacob itu, Soekarno pun berkata, “Mari kita ciptakan satu tanah air bagi seluruh tumpah darah Indonesia.” Ibrahim kemudian menjawab, “Kami orang Melayu akan setia menciptakan ibu negeri dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka. Kami orang- orang Melayu bertekad untuk menjadi orang Indonesia.” Proklamasi kemerdekaan Indonesia direncanakan pada 24 Agustus 1945 di Jakarta.
Kepergian ke Indonesia dan Terlibat Perang Kemerdekaan Indonesia (1945-1949)
[sunting | sunting sumber]Namun, Indonesia memproklamirkan kemerdekannya tanggal 17 Agustus 1945, tanpa mengikutkan Semenanjung Malaya. Banyak anggota KMM di Malaya yang kecewa. Di bulan Agustus juga, Ibrahim Yacoob dan sejumlah petinggi KMM terbang ke Jakarta untuk menemui Soekarno dan para pemimpin Republik lainnya, menagih janji Soekarno dan Muhammad Hatta yg mereka temui di Taiping, Perak, 13 Agustus 1945.
Namun karena situasi belum aman, Soekarno dan Hatta memutuskan untuk menunda pembicaraan penyatuan Malaya tersebut. Yacoob pun diminta Soekarno untuk tidak kembali ke Malaya untuk sementara waktu, mengingat situasi di Malaya sedang chaos dan tentara Inggris sudah lebih dulu mendarat di sana untuk memulihkan keamanan di tanah jajahannya itu. Yacoob yang seorang Letnan Kolonel dan komandan Gyugun Malaya, milisi bentukan Jepang tentunya akan jadi target operasi keamanan yang digelar pasukan kolonial yang sedang euforia kemenangan perang itu. Sementara pemimpin KMM lainnya nekat kembali ke tanah airnya.
Pada 19 Oktober 1945, Ibrahim dan keluarga tiba di Yogyakarta, berganti nama jadi Iskandar Kamel Agastja, dan segera bergabung dengan MBT TKR (Markas Besar Tentara - Tentara Keamanan Rakyat), diperintahkan membentuk Badan Intelijen SOI Seksi E (Luar Negeri) dengan pangkat Letnan Kolonel. Tugas utamanya:
- membangun jaringan intelijen ke Malaya, membantu pergerakan nasionalis di Malaya;
- mengusahakan pengiriman senjata dari Malaya, Rangoon, dan Manila;
- melakukan combat inteligent di semua daerah pendudukan Belanda di Indonesia;
- membentuk dan memimpin GKR (Gerakan Revolusi Rakjat) di Solo menentang PKI (Partai Komunis Indonesia).
Pada Agresi Militer II 19 Desember 1948, Ibrahim bergerilya di daerah Karanganyar dan Merapi, hingga kembali ke Yogyakarta pada Agustus 1949.
Kiprah Politik pada Masa Orde Lama (1949 - 1967)
[sunting | sunting sumber]Setelah pengakuan kedaulatan RI, Ibrahim alias Iskandar Kamel memutuskan mengundurkan diri dari ketentaraan dan bergabung ke Kementerian Luar Negeri hingga Maret 1951. Saat bertugas di Kementerian Luar Negeri, Ibrahim membentuk KEMAM (Kesatuan Malaya Merdeka) yg berjuang untuk kemerdekaan Malaya dari Indonesia. Di kancah politik, Ibrahim menjadi anggota pimpinan PNI (Partai Nasional Indonesia) cabang Jakarta Raya sampai tahun 1958. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Ibrahim sempat menjadi anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) mewakili Riau.
Pertemuan dengan Tunku Abdul Rahman
[sunting | sunting sumber]November 1955, tokoh Malaya Tunku Abdul Rahman berkunjung ke Jakarta atas undangan Soekarno. Ketika itu, Tunku Abdul Rahman dipertemukan dengan Ibrahim Yacoob. Namun ternyata kedua tokoh Malaya ini tetap tidak mau berkompromi, Tunku Abdul Rahman ingin Malaya merdeka di bawah naungan Persemakmuran Inggris/Commonwealth of Nations, sedangkan Ibrahim ingin Malaya bergabung dalam naungan Indonesia Raya. Ibrahim semakin larut dalam perjuangan di negeri leluhurnya.
Sikap Anti Komunis pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959 - 1967)
[sunting | sunting sumber]Dalam kampanye TRIKORA (Tri Komando Rakyat) Ibrahim menjadi Bendaraha Kongres Rakjat Indonesia pada tahun 1958-1960. Tahun 1959, Ibrahim bergabung dgn Partindo (Partai Indonesia), tetapi partai itu kemudian dibekukan karena menolak asas NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) yang dipaksakan oleh Presiden Soekarno pada 1963. Pada kampanye DWIKORA (Dwi Komando Rakyat), Ibrahim kembali memimpin KEMAM, ikut mengatur pengiriman pasukan ke Malaya dan Borneo Utara hingga tahun 1964 diangkat sebagai Staf KOTI diperbantukan kepada Kepala Staf KOTI (Komando Operasi Tinggi) Letnan Jenderal Ahmad Yani.
G30S dan Perubahan Haluannya kepada Soeharto
[sunting | sunting sumber]Pada peristiwa G30S, selaku Staf KOTI dan Pimpinan KEMAM, Ibrahim menyatakan mendukung tindakan militer yg diambil oleh Pangkostrad (Panglima Komando Cadangan Strategis TNI-AD) Mayor Jenderal Soeharto karena sikapnya yg memang sangat anti komunis. Selepas peristiwa berdarah itu, Ibrahim ditugaskan sebagai anggota KOTI-KOGAM (Komando Ganyang Malaysia) di bawah Letnan Jendral Soeharto pada 1966 sampai dengan 1967. Pada jabatan itu, Ibrahim ditugaskan mengambil alih tampuk kepemimpinan Partindo dan membersihkannya dari unsur-unsur komunis. Setelah menonaktifkan Partindo, Ibrahim bergabung dan menjadi Ketua III Partai Murba pada tahun 1967.
Dalam pemilihan umum (Pemilu) 1971, Ibrahim mencalonkan diri sebagai anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dari daerah pemilihan Jawa Barat melalui Partai Murba. Gagal menduduki kursi parlemen, pada tahun 1976 Ibrahim menjadi anggota Majelis Pertimbangan Partai (MPP) di Partai Demokrasi Indonesia (PDI), partai hasil fusi partai-partai berhaluan nasionalis dan non-Islam usai Pemilu 1971.
Belakangan Ibrahim mengundurkan diri dari politik dan terjun ke dunia bisnis sebagai komisaris Bank Pertiwi. Hingga akhir hayatnya Ibrahim Yaacob bermukim di Jakarta, Indonesia dengan nama Iskandar Kamel Agastya dan wafat pada 8 Maret 1978. Jenazah Ibrahim Yaacob dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Dia mendapatkan pangkat Letnan Kolonel purnawirawan TNI-AD, NRP 26217.
Di nisannya tertulis:
Drs. Iskandar Kamel (IBHY)
Letnan Kolonel Inf. NRP 26217
Purn. TNI-AD
(IBHY = akronim dari Ibrahim Yacoob atau Yaakob)
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- (Inggris)The Japanese Occupation of Malaya, 1941-45: Ibrahim Yaacob and the Struggle for Indonesia Raya. Cheah Boon Kheng, Vol. 28, Okt. 1979, hal. 84-120