Keraton Kotagede
Keraton Kotagede | |
---|---|
ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦹꦛꦒꦺꦝꦺ Karaton Kutha Gedhe | |
Informasi umum | |
Jenis | Keraton (telah hancur) |
Gaya arsitektur | Arsitektur Jawa |
Lokasi | Kotagede, Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta |
Negara | Indonesia |
Mulai dibangun | abad ke-16 |
Pemilik | Kesultanan Mataram |
Cagar budaya Indonesia Kawasan Kotagede | |
Kategori | Kawasan |
Lokasi keberadaan | Kotagede, Yogyakarta |
No. SK |
|
Tanggal SK |
|
Pengelola | BPCB Yogyakarta |
Koordinat | 7°49′41.88″S 110°23′59.29″E / 7.8283000°S 110.3998028°E |
Nama sebagaimana tercantum dalam Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya |
Keraton Kotagede (bahasa Jawa: ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦹꦛꦒꦼꦝꦺ, translit. karaton kutha gêdhé) adalah sebuah keraton yang sekarang terletak di wilayah administratif Yogyakarta, di kawasan yang kini disebut Kotagede. Kotagede juga merupakan ibu kota pertama dari Kesultanan Mataram sekitar tahun 1586–1613. Kini, peninggalan yang tersisa dari situs ini adalah reruntuhan beberapa bangunan kerajaan, yaitu: benteng, pasar, masjid dan pemakaman.
Etimologi
[sunting | sunting sumber]Nama "Kotagede" berasal dari bahasa Jawa (ꦏꦸꦛ: kutha) dan (ꦒꦺꦝꦺ: gêdhé), yang berarti "Benteng Besar", karena pembangunan benteng besar baluwarti dan benteng cepuri yang mengelilingi wilayah kota tersebut, oleh Panembahan Senapati dimaknai sebagai pertanda madeg mardika, menjadi sebuah kota yang besar.
Jadi kutha awalnya mengacu pada benteng atau tembok istana, untuk merujuk sebagai benteng pertahanan. Benteng Baluwarti sebagai benteng besar, di sebelah timur benteng menjadi toponim kampung Baluwarti dan benteng Cepuri dulunya mengitari lokasi kedaton ini, yang sekarang menjadi toponim kampung Dalem Kotagede. Kotagede bukan berarti diartikan sebagai big city dalam pengertian modern sekarang ini, yang sudah mengalami perkembangan makna.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Menjelang berakhirnya kekuasaan Kesultanan Pajang, seorang raja Jawa yang bernama Panembahan Senapati menaklukkan wilayah yang cukup luas di sekitar pulau Jawa. Kuta Gede sebelumnya didirikan terlebih dahulu oleh Ki Gede Mataram (ayah Senapati) di hutan yang bernama Mentaok, di sebelah timur Sungai Gajah Wong. Selama seperempat terakhir abad ke-16, Sultan Adiwijaya dari Pajang, menghadiahkan hutan Mentaok kepada Ki Ageng Pamanahan (yang disebut juga sebagai Ki Gede Mataram), atas keberhasilannya memenangkan sayembara melawan pemberontakan di Kesultanan Pajang. Ki Gede Mataram memulai membuka hutan Mentaok menjadi pemukiman yang ramai kemudian pembangunannya dilanjutkan oleh putranya, Panembahan Senapati yang juga merupakan anak angkat Adiwijaya. Sebuah kota didirikan dan diberi nama Kuta Gede yang kemudian setelah runtuhnya Pajang menjadi ibu kota Kesultanan Mataram.[1]
Setelah Ki Gede Mataram wafat pada tahun 1575, Panembahan Senapati diangkat sebagai adipati Mataram.[2] Ia memperluas wilayahnya dengan menaklukkan beberapa bagian utama Jawa. Ketika Mataram memperoleh kemerdekaan wilayah Kuta Gede menjadi ibu kota Mataram dan keraton pertama yang didirikan oleh Panembahan Senapati. Selama waktu tersebut Kuta Gede dibentengi dengan tembok besar. Tembok barat dibangun di sepanjang Sungai Gajah Wong, dialirkan untuk mengairi parit di tiga sisi benteng lainnya.[3]
Susuhunan Anyakrawati menggantikan Senapati pada tahun 1601. Selama 12 tahun pemerintahannya, ia melakukan beberapa proyek konstruksi di dalam keraton dan daerah sekitarnya, bangunan terpenting yang ia bangun di Kuta Gede adalah Prabayeksa. Arkeolog Willem Frederik Stutterheim mencatat pentingnya bangunan pusat ini sejak pra-Islam. Nama ini mengacu pada sebuah bangunan kayu raksasa yang tertutup sepenuhnya dan berfungsi sebagai tempat suci bagian dalam dari tempat tinggal raja, di mana sebagian besar pusaka dan senjata keraton disimpan. Sunan Anyakrawati juga memprakarsai pembangunan sejumlah taman untuk berburu.
Penerus takhta Anyakrawati adalah Anyakrakusuma yang lebih dikenal sebagai Susuhunan Agung atau Sultan Agung. Ia membawa Mataram pada puncak kejayaannya. Namun, Sultan Agung memutuskan untuk meninggalkan Kuta Gede dan memindahkan pusat ibu kota Mataram ke suatu tempat yang disebut Karta, sekitar 5 km selatan dari Kuta Gede.
Tidak seperti banyak daerah lain di Jawa, pasca peristiwa Palihan Nagari beberapa tanah leluhur termasuk Kuta Gede tidak dapat dibagi kepada pihak manapun karena dianggap sebagai semacam pusaka daripada wilayah tersebut. Makam dan masjid dijaga oleh abdi dalem dari kedua pihak, Surakarta dan Yogyakarta dan tanah sekitarnya ditugaskan sebagai apanase untuk menopang kehidupan para abdi dalem tersebut. Sekarang ini, Kuta Gede pada prinsipnya menjadi situs ziarah dengan pemakaman dan situs-situs lain yang terkait dengan titik awal berdirinya Kesultanan Mataram.[4]
Peninggalan
[sunting | sunting sumber]Tata letak Kuta Gede memiliki konsep perpaduan Islam dan zaman pra-Islam: empat konfigurasi masjid-keraton-pasar-alun-alun yang disebut catur gatra tunggal, yang dikelilingi oleh benteng pertahanan: cepuri (benteng dalam) dan baluwarti (benteng luar).[5] Pasar dan alun-alun terutama merupakan ruang terbuka, sedangkan Masjid dan Keraton merupakan kompleks berdinding yang masing-masing berisi banyak bangunan.[6]
Tersisa sedikit peninggalan fisik daripada bangunan Kuta Gede. Bagian-bagian yang bertahan termasuk masjid gede, pemakaman raja (leluhur Mataram) dan beberapa bagian dinding asli.[6] Masjid Gede dan pemakaman raja sekarang terletak di daerah yang disebut Dondongan.
Keraton (istana)
[sunting | sunting sumber]Keraton (ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀: karaton), atau "istana raja", diperkirakan situs ini ada pada tahun 1509.[7] Saat ini, peninggalan yang tersisa dari keraton ini yaitu tiga batu, masing-masing disebut watu gilang ("batu berkilau"), watu gateng ("permainan lempar batu"), dan watu gentong ("batu gentong air"). Saat ini, batu-batu itu dilindungi di dalam sebuah bangunan kecil yang terletak di tengah jalan dan dikelilingi oleh tiga pohon beringin.[7]
Watu gilang (batu gilang) adalah lempengan batu hitam berbentuk persegi yang diyakini sebagai sarana tempat Panembahan Senapati beristirahat. Terdapat tulisan melingkar di atas batu tersubut, adalah: "Menggerakan Dunia", tertulis masing-masing dalam bahasa Latin, Prancis, Belanda, dan Italia: Ita movetur Mundus - Ainsi va le Monde - Zoo gaat de wereld - Cosi va il Mondo. Di bagian luar, kata Latin di dalam lingkaran tertulis: AD ATERN AMMEMORIAM INFELICS - IN FORTUNA CONSOERTES DIGNI VALETE QUIDSTPERIS INSANI VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMNITE VOS CONSTEMTU - IGM (In Glorium Maximam).[8]
Watu gateng (batu gateng) adalah tiga bola batu berwarna kuning pucat dengan ukuran berbeda yang diletakkan di atas lempengan batu. Bola-bola tersebut dipercaya oleh masyarakat sekitar sebagai batu loncatan Raden Rangga, putra Senapati. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa batu tersebut adalah bola meriam.[9]
Watu gentong (batu gentong) dipercaya sebagai batu untuk menampung air yang digunakan untuk wudhu menunaikan shalat. Digunakan oleh penasehat Panembahan Senapati: Ki Juru Martani dan Ki Ageng Giring.[7]
Masjid Gede (Masjid Agung)
[sunting | sunting sumber]Masjid Gede adalah salah satu peninggalan monumental Kesultanan Mataram, sekarang disebut sebagai Masjid Gede Mataram. Masjid ini pertama kali didirikan pada tahun 1575, tahun wafatnya Ki Ageng Pamanahan. Pembangunan kembali dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Agung untuk menjaga situs leluhurnya. Susuhunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta juga melakukan beberapa rekontruksi di kemudian hari. Pembangunan besar-besaran terakhir dilakukan pada tahun 1926 di bawah perintah Susuhunan Paku Buwana X karena masjid ini sempat terbakar.[10]
Masjid ini dibangun dengan arsitektur Jawa limasan. Terdiri dari sepasang bangunan: aula utama dan aula depan yang biasa disebut serambi. Ruang salat merupakan bangunan berdinding polos yang tebal, sedangkan serambi merupakan bangunan semi-serambi yang menyerupai serambi. Di sekeliling serambi terdapat parit untuk mencelupkan kaki atau membersihkan hadas kecil sebelum mencapai serambi, yang secara simbolis menyucikan apa pun yang masuk ke dalam masjid.
Masjid ini terletak tepat di sebelah timur pemakaman raja. Kawasan masjid adalah halaman yang luas dan terdapat pohon sawo kecik yang rindang, dua bangunan utama menutupi kurang dari sepersepuluh dari seluruh kawasan.[6]
Sebuah gerbang pemisah masjid dan kompleks pemakaman, sebelum gapura disebut kompleks Sendang Seliran.[11]
Pasarean (Pemakaman)
[sunting | sunting sumber]Tempat pemakaman para leluhur Mataram sering disebut dengan Pasarean Mataram atau Astana Kita Ageng (dalam bahasa Jawa).[11] Lokasinya terletak di sebelah barat Masjid Gede. Pemakaman ini adalah bagian paling utuh dari peninggalan Kuta Gede. Babad menyebutkan bahwa Ki Gede Mataram, ayah Senapati dimakamkan di sebelah barat masjid dan Senapati sendiri dimakamkan di selatan masjid, searah kaki ayahnya.[12] Orang penting lainnya yang dimakamkan di pemakaman ini adalah Sultan Adiwijaya. Pemakaman ini dijaga dan dirawat oleh juru kunci dari dua abdi dalem Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Portal ke pemakaman memiliki gaya arsitektur pra-Islam, masing-masing portal berisi pegangan kayu tebal yang dihiasi dengan ukiran. Makam bertembok bukan sebagai perlindungan fisik kuburan, melainkan pemisah makam dari orang-orang yang masih hidup.[12]
Alun-alun
[sunting | sunting sumber]Alun-alun merupakan lapangan terbuka, namun, sekarang tidak ada peninggalan yang tersisa dari alun-alun Kuta Gede. Sebuah kampung yang sekarang disebut "Alun-alun" terletak di selatan pasar, tepat di depan masjid gede, menandakan di mana bekas alun-alun Kuta Gede berada. Salah satu kampung yang disebut sebagai Cakrayudhan atau kadang ditulis Cokroyudan, terletak di bekas alun-alun Kuta Gede. Kompleks bekas alun-alun tersebut kini telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya dengan nama "Kampung Pusaka Alun-alun Cokroyudan".[6]
Pasar
[sunting | sunting sumber]Pasar Gede terletak di tengah kota, di persimpangan empat jalan utama. Dianggap sebagai bagian penting dari kota, Pasar Gede juga dikenal sebagai Sargede atau Sarde. Sejak zaman Pajang, Panembahan Senapati diberi gelar oleh Sultan Adiwijaya ayah angkatnya, sebagai Raden Ngabehi Salering Peken (Raden Ngabehi Loring Pasar), "Pangeran dari Utara Pasar", keberadaan pasar ini diperkirakan setua usianya.[13]
Legi, hari pasaran dalam kalender Jawa, adalah hari pasar untuk Pasar Gede, sehingga pasar ini juga dikenal sebagai Pasar Legi atau Sarlegi. Pasar Legi selalu diadakan di hari pasaran Legi.[13]
Benteng
[sunting | sunting sumber]Panembahan Senapati membangun tembok dalam (benteng cepuri) pada tahun 1507-1516 lengkap dengan parit di sekeliling keraton. Dinding bagian dalam ini menutupi area seluas kurang lebih 400x400 meter. Reruntuhan tersebut masih bisa disaksikan di sudut barat daya dan tenggara. Temboknya setebal 4 kaki dan terbuat dari balok batu. Parit dapat dilihat di sebelah timur, selatan, dan barat.[9] Benteng cepuri terletak di Kel. Purbayan, Kec. Kotagede, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tembok luar (benteng baluwarti) terletak di sebelah selatan situs watu gilang. Reruntuhan batu bata sepanjang 50 meter dengan sisa-sisa parit. Benteng Baluwarti merupakan benteng terluar yang mengelilingi Keraton. Dahulu di sekeliling tembok Benteng Baluwarti terdapat jagang atau parit dalam yang berfungsi sebagai saluran air sekaligus juga sebagai sarana keamanan. Ada dua buah parit di sekeliling benteng, yaitu Jagang Jero di sisi dalam dan Jagang Jaba di sisi luar.
Bokong Semar adalah sebutan untuk sisa-sisa sudut tenggara benteng. Ini adalah benteng melingkar, nama Bokong Semar terinspirasi dari bentuk benteng yang bulat melingkar seperti bokong Semar.
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Sansota, Revianto Budi 2007, hlm. 4.
- ^ Papan informasi Pos Malang Kotagede
- ^ Sansota, Revianto Budi 2007, hlm. 4-5.
- ^ Sansota, Revianto Budi 2007, hlm. 11.
- ^ "Kotagede Site Conservation Assessment". GlobalHeritage Fund 2011.
- ^ a b c d Sansota, Revianto Budi 2007, hlm. 12.
- ^ a b c Bilah informasi dari Hastono Suprapto
- ^ van der Aa, A.J. (1857). Nederlands Oost-Indië: of, Beschrijving der Nederlandsche bezittingen in Oost-Indië. 4. Oxford University: Schleijer. hlm. 178.
- ^ a b "Kotagede - Witness of the Rise of Islamic Mataram Kingdom (16th Century)". Yogyes. Yogyes. Diakses tanggal 16 Juli 2021.
- ^ Sansota, Revianto Budi 2007, hlm. 32-9.
- ^ a b Papan informasi di Masjid Gede, dekat pintu masuk Astana Kita Ageng.
- ^ a b Sansota, Revianto Budi 2007, hlm. 6.
- ^ a b Sansota, Revianto Budi 2007, hlm. 20.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- Mook, H.J van, (1958) Kuta Gede before the Reorganization in 'The Indonesian Town/Studies in Urban Sociology', The Hague: W. van Hoeve
- Sansota, Revianto Budi (2007). Kotagede: Life Between Walls. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 9789792225471.
- Kotagede as Islamic Mataram Capital Diarsipkan 2017-06-30 di Wayback Machine.