Ilmu kesejahteraan sosial
Ilmu kesejahteraan sosial merupakan pengetahuan sistematis yang membahas isu kesejahteraan dan upaya-upaya mencapai kesejahteraan.[1] Kemunculan disiplin ini merupakan hasil dari perluasan pokok bahasan bidang pekerjaan sosial.[2]
Definisi
[sunting | sunting sumber]Ilmu kesejahteraan sosial adalah ilmu terapan yang mengkaji dan mengembangkan kerangka pemikiran, serta metodologi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.[2] Ilmu kesejahteraan sosial merupakan turunan dari ilmu psikologi dan sosiologi
Epistemologi Ilmu Kesejahteraan Sosial pekerjaan Sosial memiliki akar epistemologi yang kuat dari Ilmu Kesejahteraan sosial, dimana praktek pekerjaan sosial adalah bentuk aksiologi dari Epistemologi Ilmu Kesejahteraan sosial sebagai sebuah bangunan keilmuan.Dengan demikian landasan epistemologi pekerjaan sosial adalah Ilmu Sesejahteraan Sosial yang keduanya merupakan satu kesatuan eksistensial dimana antara praktek pekerjaan sosial dan Ilmu Kesejahteraan sosial sejatinya tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu tubuh yang saling menjelaskan.[3]
Fokus dan Ruang Lingkup
[sunting | sunting sumber]Bila ilmu kedokteran menekankan pada diagnosis dan penyembuhan, disiplin ini menekankan pada penilaian (‘’assessment’’) dan intervensi sosial.[4] Intervensi sosial merupakan metode perubahan sosial terencana yang bertujuan memfungsikan kembali fungsi sosial seseorang, kelompok, maupun masyarakat.[4] Ilmu kesejahteraan sosial dalam kaitannya dengan intervensi sosial memiliki 3 ruang lingkup, yaitu mikro, mezzo, dan makro.[4] Level mikro membahas intervensi sosial di tingkat individu, keluarga, dan kelompok kecil; level mezzo membahas intervensi sosial di tingkat komunitas; dan level makro membahas intervensi sosial di tingkat masyarakat yang lebih luas.[4]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Sebelum abad 16
Pada mulanya, usaha-usaha kesejahteraan sosial dilakukan oleh kelompok keagamaan.[5] Usaha-usaha kesejahteraan yang dilakukan pada umumnya merupakan pelayanan sosial yang bersifat amal.[6] Sebagaimana yang dituliskan Canda dan Furman dalam bukunya, Keberagaman Agama dalam Praktik Pekerjaan Sosial (Spiritual Diversity in Social Work Practice: The Heart of Helping), bahwa setiap agama (Budha, Hindu, Islam, Konghucu, Kristen, dan Yahudi) memiliki kepercayaan dan nilai dasar yang berimplikasi pada penerapan atau praktik kerja sosial.[7]
Abad 13-18
Pada periode ini pemerintah Inggris mengeluarkan beberapa peraturan perundangan untuk menangani masalah kemiskinan [5] Undang-undang Kemiskinan yang dikeluarkan oleh Ratu Elizabeth (Elizabethan Poor Law) merupakan salah satu undang-undang yang paling terkenal saat itu. Undang-undang tersebut dianggap sebagai cikal bakal intervensi pemerintah terhadap kesejahteraan warga negaranya karena usaha kesejahteraan sosial sebelumnya lebih banyak dilakukan oleh kelompok keagamaan, seperti pihak gereja.[5]
Usaha-usaha kesejahteraan sosial pada dasarnya berasal dari nilai-nilai humanitarianisme yang percaya bahwa kondisi kemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat adalah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi.[2] Kemudian muncul kelompok-kelompok (sukarelawan) yang mengupayakan pengembangan usaha kesejahteraan sosial untuk memperbaiki kondisi tersebut.[2] Usaha kesejahteraan sosial yang dilakukan oleh relawan yang didasari semangat filantropis selanjutnya berkembang menjadi lebih terarah dan terorganisir.[2] Karena itu, baik di Inggris maupun Amerika, sejarah pekerjaan sosial sangat terkait dengan para relawan dan organisasi para relawan.[2] Organisasi para relawan inilah yang kemudian mendorong terciptanya beragam usaha kesejahteraan sosial.[2]
Tahun 1869
Organisasi relawan bernama COS (Charity Organization Society) didirikan di London, Inggris.[2] Organisasi relawan tersebut dikembangkan untuk menggalang dan mengkoordinasikan bantuan dana dan material dari berbagai gereja serta kurang lebih 100 lembaga amal.[2] Perkembangan organisasi relawan di Inggris berpengaruh pula terhadap perkembangan organisasi relawan di Amerika.[2]
Tahun 1877
COS kemudian di kembangkan di Buffalo, New York. Dalam jangka waktu 10 tahun kemudian, terbentuk 25 organisasi sosial di Amerika Serikat.[2]
Berkembangnya berbagai COS di Amerika membuat para relawan aktif yang terlibat di dalamnya merasa perlu suatu pemahaman yang lebih mendalam tentang materi yang berhubungan dengan perilaku individu, serta permasalahan sosial dan ekonomi.[2] Oleh karena itu, Mary Richmond, seorang praktisi pekerjaan sosial, berencana untuk mengembangkan Sekolah Pelatihan Filantropi Terapan.[2] Lembaga ini menjadi cikal bakal kelas pekerjaan sosial di New York pada tahun 1898.[2]
Perluasan pokok bahasan dalam sejarah perkembangan bidang pekerjaan sosial telah memunculkan suatu kajian kesejahteraan sosial yang lebih luas.[2] Munculnya kajian kesejahteraan sosial ini kemudian mendorong terbentuknya disiplin baru bernama ilmu kesejahteraan sosial.[2]
Pendekatan
[sunting | sunting sumber]Menurut Midgley, terdapat empat pendekatan dalam mengupayakan kesejahteraan sosial:
Filantropi sosial
[sunting | sunting sumber]Filantropi terkait erat dengan upaya-upaya kesejahteraan sosial yang dilakukan para agamawan dan relawan, yakni upaya yang bersifat amal (charity) dimana orang-orang ini menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.[8] Pelaku dari filantropi disebut sebagai filantropis.
Filantropi sosial bertujuan mempromosikan kesejahteraan sosial dengan mendorong penyediaan barang pribadi dan pelayanan kepada orang yang membutuhkan.[8] Ada beberapa karakteristik pendekatan filantropi sosial, di antaranya:[8]
- Amal, dimana pendekatan ini tidak memiliki kesinambungan. Artinya, tidak ada lagi interaksi dengan penerima bantuan ketika bantuan selesai diberikan.
- Penerima pasif, menggunakan pandangan bahwa masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka, sehingga dalam penyelenggaraannya tidak melibatkan partisipasi penerima.
- Acak, tidak memiliki metode atau tahapan khusus dalam pelaksanaannya.
- Kemauan, ketergantungan upaya pada kemauan baik dari para donor dan kemauan pemerintah untuk menggunakan uang pembayar pajak demi mendukung kegiatan-kegiatan amal.
Seiring dengan perkembangan filantropi, filantropi tidak lagi hanya berkaitan dengan penyediaan bantuan kepada yang membutuhkan.[8] Selama abad ke-19, ketika kegiatan amal berkembang dengan cepat di Eropa dan Amerika utara, beberapa pemimpin filantropis berusaha membawa isu reformasi sosial dan peningkatan kondisi sosial.[8] Para pemimpin, yang sering berhubungan baik dengan anggota kelas menengah atas, berusaha untuk menggunakan pengaruh mereka untuk menjaring dukungan dari para pemimpin politik dan bisnis.[8] Mereka menggunakan koneksi yang mereka miliki untuk membujuk pemerintah agar memperkenalkan layanan sosial yang baru, membuat undang-undang yang mencegah eksploitasi dan diskriminasi, atau untuk tindakan perlindungan terhadap kelompok rentan.[8]
Pekerja sosial
[sunting | sunting sumber]Berbeda dengan pendekatan filantropi, pekerjaan sosial merupakan pendekatan yang terorganisir untuk mempromosikan kesejahteraan sosial dengan menggunakan tenaga profesional yang memenuhi syarat untuk menangani masalah sosial.[8] Namun, perkembangan pekerjaan sosial tidak lepas dari perkembangan filantropi.[8] Sejak abad ke-19, pekerjaan sosial telah mengalami pengembangan profesional dan akademik yang cukup pesat dan telah menyebar di seluruh dunia [8].`
Administrasi sosial
[sunting | sunting sumber]Pendekatan administrasi sosial berusaha mempromosikan kesejahteraan sosial dengan menciptakan program sosial pemerintah yang meningkatkan kesejahteraan warga negaranya melalui penyediaan berbagai pelayanan sosial.[8] Pendekatan ini diselenggarakan langsung oleh pemerintah. Salah satu contoh yang paling terkenal adalah Undang-Undang tentang Kemiskinan yang dikeluarkan oleh Ratu Elizabeth I.[8]
Pembangunan sosial
[sunting | sunting sumber]Pembangunan sosial merupakan suatu proses perubahan sosial terencana yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat secara utuh, di mana pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi.[8]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Purwowibowo; Wulandari, Kusuma (2023). Firda, Rahma, ed. Membangun Masyarakat: Dinamika Kekinian Ilmu Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta. hlm. 1. ISBN 978-602-5583-98-8.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Adi,Isbandi Rukminto. 2005. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar Pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan.Jakarta. FISIP UI Press. Hal. 11-20
- ^ a b Asep Jahidin, 2016, Epistemologi Ilmu Kesejahteraan Sosial. Perjalanan Dialektika Memahami Anatomi pekerjaan sosial Profesional. Samudra Biru, Yogyakarta.
- ^ a b c d Adi,Isbandi Rukminto. 2005. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar Pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan.Jakarta. FISIP UI Press. Hal. 141-145
- ^ a b c (Inggris) Zastrow, Charles. 1996. Introduction to Social Work and Social Welfare. Sixth Edition. Pasific Grove: Brooks/Cole Publishing Company. Page 15.
- ^ Adi,Isbandi Rukminto. 2005. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar Pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan.Jakarta. FISIP UI Press. Hal. 1-10
- ^ (Inggris) Canda,Edward R.,Leola Dyrud Furman.1999.Spiritual Diversity in Social Work Practice:The Heart of Helping.New York:The Free Press. Hal. 143-147
- ^ a b c d e f g h i j k l m (Inggris) Migley, James.1995. Social Development:The Developmental Perspective in Social Welfare. London:Sage Publications Ltd. Hal. 15-25