Lompat ke isi

Guang Ze Zun Wang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kong Tek Cun Ong)
Kimsin Guang Ze Zun Wang di Kuil Fengshan Tainan, Taiwan.

Guang Ze Zun Wang (Hanzi= 廣澤尊王; Hokkien=Kong Tek Cun Ong, Kong Tik Tjoen Ong; lit. Raja Mulia yang Memberikan Berkah Melimpah ) juga dikenal dengan panggilan/ gelar Guo Sheng Wang (Hanzi= 郭聖王; Hokkien=Kwee Seng Ong), Bao An Zun Wang (Hokkien= Po An Cun Ong), Sheng Wang Gong (Hanzi=聖王公; Hokkien=Seng Ong Kong), dan Xiao Zi Gong (Hanzi=孝子公; lit. Kakek Kasih Keluarga). Ia merupakan dewa leluhur Orang Min Selatan, khususnya daerah Nan An, dan sangat populer di kalangan penduduk Fujian Selatan maupun perantauan (misalnya di Indonesia dan Singapura).[1][2][3]

Orang tua dan masa kecil

[sunting | sunting sumber]

Guo Ming Liang atau Guo Lizhu lahir tanggal 9 bulan 2 tahun 899 M Imlek; ia tidak pernah membedakan yang kaya dan miskin, berbakti kepada orangtua, dan mencintai saudaranya. Lin Su Niang lahir tanggal 4 bulan 9 tahun 904 M Imlek; ia seorang wanita yang lembut dan baik hati. Keduanya menikah pada tahun 922 M. Guo Ming Liang bekerja sebagai petani, tetapi meskipun selalu bekerja keras, keluarga mereka tidak pernah kaya. Lin Su Niang sendiri selalu berhemat dan tidak pernah mengeluh atas hidup mereka yang berat.[4]

Pada tanggal 22 bulan 2 tahun 923 M, Lin Su Niang melahirkan Guo Zhong Fu atau Guo Hong Fu (Hokkien= Kwee Ang Hok[1]). Ia lahir di Desa Shi San, Kota Quanzhou, Kabupaten Nan An, Provinsi Fujian. Saat itu merupakan Dinasti Song. Semasa kehamilan dan saat kelahirannya, seluruh ruangan berbau harum dan udara terasa baik. Zhong Fu memiliki tubuh yang lebih besar dibandingkan anak-anak seusianya, kepandaiannya juga diatas rata-rata.[4] Zhong Fu dididik ibunya sehingga semenjak usia dini telah memiliki sifat rendah hati, rajin bekerja dan berbudi luhur.[3]

Guo Ming Liang yang sering sakit-sakitan akhirnya meninggal pada tanggal 1 bulan 10 tahun 929 M Imlek. Saat itu Zhong Fu masih berusia 7 tahun. Salah satu versi mengatakan bahwa jasad Ming Liang dikremasi karena keluarga itu sangat miskin sehingga tidak memiliki biaya untuk membuat makam untuknya, kemudian meletakkan abunya ke dalam periuk.[4] Versi lain mengatakan bahwa jenasah Ming Liang dimakamkan. Zhong Fu kemudian bekerja sebagai gembala pada seorang tuan tanah yang sangat kikir. Ia rajin bekerja; pagi-pagi ia sudah bangun kemudian pergi mengembala ternak dengan riang.[1] Tuan tanah tersebut bernama Yang Xinfu, ia tinggal di Chongsanli Jingu, distrik Anxi. Lin Su Niang juga bekerja sebagai pembantu di rumah yang sama. Namun, setelah 3 tahun bekerja, uang mereka masih belum cukup untuk menguburkan abu Guo Ming Liang.[4]

Berkerja sambil bermain

[sunting | sunting sumber]

Zhong Fu tidak pernah mengeluh atau gusar selama bekerja sebagai penggembala. Ia bekerja sambil bermain dengan anak-anak penggembala yang lain. Mereka sangat berhati-hati menuntun domba-domba mereka supaya tidak merusak panen warga. Anehnya, setiap ada domba gembalaan Zhong Fu yang dibeli orang, keesokan harinya jumlah kawanan domba yang digembalakannya itu tidak berkurang sehingga penduduk desa menjadi takjub.[4]

Mereka juga sering bermain menjadi raja dan bawahan pada bukit dekat desa. Pada bukit tersebut terdapat semak belukar dan rotan yang membentuk pijakan dan tempat duduk. Zhong Fu berhasil mendaki hingga ke tempat tersebut dan menjadi "raja", teman-temannya akan berseru "Semoga kaisar panjang umur". Anak-anak lain tidak ada yang berhasil mendaki hingga ke tempat Zhong Fu sehingga mereka akhirnya berkata bahwa Zhong Fu memang ditakdirkan menjadi raja. Zhong Fu juga sering bermain perang-perangan, dirinya sebagai jenderal atau raja dan kawanan dombanya menjadi prajurit. Ia berlarian kesana kemari bersama domba-dombanya dengan gembira.[4]

Suatu hari ada pertunjukan opera di desa. Zhong Fu ingin ikut menonton, tetapi ia juga harus menggembalakan domba-domba. Ia kemudian melingkari suatu area dengan air kencing dan berkata kepada domba-dombanya agar tidak ada yang keluar dari area tersebut. Domba-domba itu tetap tinggal di dalam batas lingkaran kencingnya hingga ia kembali. Penduduk desa yang mengetahui hal tersebut menjadi semakin kagum.[4]

Zhong Fu dan ahli feng shui

[sunting | sunting sumber]

Suatu ketika, Tuan Yang menyewa jasa seorang ahli feng shui tua dari Ganzhou untuk mencari lokasi yang tepat sebagai tanah penguburannya nanti (Bangsa China percaya bahwa lokasi pemakaman yang tepat akan membawa keberuntungan bagi sanak keturunan, demikian pula sebaliknya).[4] Versi lain menyebutkan, Tuan Yang memanggil ahli tersebut untuk memperbaiki lokasi makam leluhurnya.[1] Ahli tersebut tidak dapat dengan segera menemukan lokasi yang tepat sehingga Tuan Yang memutuskan untuk menyewanya selama tiga tahun.[4]

Selama tinggal, Zhong Fu diberi tugas untuk melayani orang tua tersebut. Guru itu juga mengajar anak-anak Tuan Yang. Zhong Fu berusaha turut mendengar dan menghafal pelajarannya, dan ia cepat menangkap apa yang dimaksud. Sang guru menjadi kagum padanya, sehingga jika ada waktu senggang, ia mengajari Zhong Fu membaca, menulis, dan pengetahuan lain.[4]

Awalnya ahli feng shui tersebut diperlakukan dengan baik. Namun, setelah setahun berlalu, suami dan istri Yang mulai keberatan dan mencurigainya sengaja mengulur-ulur waktu supaya dapat hidup enak. Maka mereka mulai mengurangi jatah makan si ahli fengshui dan memperlakukannya dengan buruk. Perlakuan tersebut membuat si ahli feng shui berpikir, "Oh, andaikata orang seperti Tuan Yang diberi tanah yang ber-Feng Shui bagus, rejeki yang besar dan harta yang lebih, mungkin tindak tanduknya akan lebih menekan dan menindas orang yang menderita, serta tidak suka menolong sesamanya dikarenakan kesombongandan kecongkakannya." Akhirnya sang guru merasa kurang senang terhadap Tuan Yang.[4] Zhong Fu sendiri sering menyisihkan jatah makanannya untuk ia berikat kepada sang ahli feng shui.[1]

Pada tahun ketiga, ahli feng shui itu menemukan lokasi yang bagus; tetapi mengingat tindak-tanduk Tuan Yang, ia menjadi ragu untuk menyelesaikan tugasnya. Ia berpikir hingga larut malam sampai disadarkan nasihat Zhong Fu agar tidak tidur terlalu larut. Akhirnya sang guru menjadi sakit karena kekurangan gizi, tabib yang memeriksanya mengatakan bahwa untuk obatnya diperlukan daging domba. Kebetulan ada salah satu domba yang mati akibat jatuh ke dalam septic tank; istri Tuan Yang menyuruh pelayan memasak dagingnya sebagai campuran obat untuk disajikan oleh Zhong Fu. Awalnya si ahli fengshui merasa bersyukur, tetapi setelah Zhong Fu dengan jujur menjelaskan perihal asal daging domba tersebut, ia memuntahkan kembali makanannya. Semenjak saat itu, sang ahli berketetapan tidak akan memberitahukan lokasi bagus tersebut kepada Tuan Yang.[4]

Ahli fengshui tersebut menyukai kepribadian Zhong Fu yang jujur, pandai, berbakti kepada ibunya, dan selalu melayani dirinya dengan baik, meskipun siang harinya ia masih harus menggembalakan domba. Ia bermaksud memberikan tanah berlokasi bagus itu untuk memakamkan abu ayah Zhong Fu dengan alasan: waktu kontrak 3 tahun belum habis, tanah fengshui yang bagus hanya layak diberikan kepada orang yang bijaksana, dan menurut pengamatannya selama ini, Tuan Yang dan istrinya mempunyai sifat buruk. Hal tersebut terlihat dari domba-dombanya yang berjumlah ribuan semuanya gemuk, tetapi kedelapan gembalanya –termasuk Zhong Fu– kurus semua; sawahnya seluas ratusan hektare, tetapi para penggarapnya hidup menderita, tenaga mereka diperas seperti kuda atau sapi; rumah dan kamarnya banyak yang kosong, tetapi barak para pelayannya rusak dan kotor. Menurutnya, orang seperti Tuan Yang tidak ada gunanya diberi rezeki dan kekayaan karena tidak pernah menolong masyarakat yang menderita.[4]

Namun, Zhong Fu menolak maksud sang guru, karena Tuan Yang telah mengeluarkan banyak dana untuk membayar si ahli feng shui, lagipula ia adalah anak yang miskin dan tidak akan mampu membeli tanah itu. Ia kemudian menasihati agar Zhong Fu merundingkannya terlebih dahulu dengan ibunya. Lin Su Niang sendiri merasa bahwa mereka tidak pantas menerima lokasi tersebut karena tidak memiliki hubungan apa-apa dengan si ahli fengshui. Guru tersebut akhirnya memaksa dengan mengatakan bahwa ia tidak akan memberikan lokasi tersebut kepada Tuan Yang, dan Zhong Fu merupakan anak yang berbakti kepada ibu dan almarhum ayahnya. Jika bukan dirinya yang akan membantu Zhong memakamkan (dan menghormati) abu ayahnya, siapa lagi yang akan menolong? Kali ini Lin Su Niang dapat menerima penjelasan sang guru. Ahli feng shui tersebut kemudian memberitahukan bahwa lokasi tanah yang dimaksud berada di tengah kandang domba, berupa tanah melingkar yang bersih, sama sekali tidak ada kotoran domba. Itulah sebabnya domba-domba Tuan Yang tidak pernah berkurang; jika ada yang mati pasti ada yang lahir.[4]

Beberapa hari kemudian, sang guru menemui Zhong Fu dan bertanya, "Kelak, kau ingin menjadi kaisar yang hanya bertahta satu zaman atau menjadi dewa yang selalu dipuja orang selama ribuan tahun?" Zhong Fu menjawab tegas dirinya memilih menjadi dewa. Guru itu kemudian menyuruh Zhong Fu memasukkan abu ayahnya ke dalam baskom berisi air dan datang ke lokasi bagus saat nanti terjadi hujan badai. Ia akan berpura-pura memarahi Zhong Fu dan ia harus menangis sekeras-kerasnya. Malam itu hujan badai turun, Zhong Fu dan sang guru bergegas ke kandang domba dan menghela domba-domba yang berada di lokasi bagus. Ia kemudian berpura-pura memarahi Zhong Fu, dan Zhong Fu menangis, saat itulah abu ayahnya dituang ke atas tanah. Tuan Yang yang mendengar ribut-ribut segera datang ke kandang, ia melihat sang guru sedang memarahi Zhong Fu dengan alasan anak itu membawakan air kotor untuknya mencuci muka. Tuan Yang kemudian memukul Zhong Fu karena dianggap nakal. Tangisan Zhong Fu semakin keras, secara ajaib abu ayahnya terserap ke dalam tanah.[4]

Keesokan harinya, sekawanan tawon tanah muncul dari dalam tanah di kandang dan menyengat seluruh domba-domba di sana. Seluruh domba Tuan Yang menjadi habis karena mati tersengat atau kabur. Zhong Fu secara otomatis kehilangan pekerjaannya, demikian pula ibunya karena kerugian Tuan Yang yang besar membuat ia tidak akan mampu mempekerjakan dirinya lagi. Saat keduanya berkemas-kemas untuk pindah, sang ahli feng shui menyuruh mereka ke selatan (versi lain ke timur), sementara ia sendiri akan ke utara. Ahli tersebut mengatakan bahwa mereka harus terus bergerak sampai menemukan 4 keanehan: ikan Li di atas pohon, lembu naik orang, orang memakai topi kuningan, dan air berubah menjadi merah; disanalah mereka harus tinggal. Mereka pergi diam-diam tanpa diketahui Tuan Yang.[4]

Zhong Fu dan ibunya terus berjalan ke selatan sesuai petunjuk ahli feng shui. Mereka menahan lapar dan haus, tidur di tempat terbuka, dan kelelahan. Lin Su Niang merasa petunjuk yang diberikan oleh si ahli terasa aneh, tetapi Zhong Fu tetap meyakininya dan menghibur ibunya bahwa ia akan menggendong ibunya jika ibunya sudah tidak kuat lagi. Suatu hari, Lin Su Niang dan Zhong Fu memetik buah-buahan untuk dimakan, di tepi sungai ada seseorang yang sedang memancing. Tiba-tiba hujan turun dengan deras, si pemancing tergesa-gesa berteduh dan tidak menyadari bahwa ada ikan di kailnya. Ikan itu melayang dan tersangkut di atas pohon saat ia mengangkat pancingnya. Selanjutnya ada anak-anak penggembala lewat, salah satunya menerobos masuk di bawah perut lembu untuk berteduh. Seorang petapa yang lewat buru-buru menutup kepalanya dengan loyang kuningan, dan longsor yang terjadi membuat tanah longsor mengotori air menjadi kemerahan.[4]

Setelah hujan reda, mereka mencari rumah untuk ditinggali. Seorang anak penggembala lembu menjelaskan bahwa ada sebuah rumah yang baru dibangun, tetapi pemiliknya tidak mau meninggali karena sering diganggu hantu. Kakek Oien, si pemilik rumah, bersedia menyewakan daripada rumahnya tidak ada yang mengurus. Di sana, keduanya tidak pernah diganggu hantu karena hantu-hantu tersebut dapat merasakan bahwa Zhong Fu merupakan calon dewa. Zhong Fu bekerja sebagai penggembala dan mengajar sahabat-sahabat barunya membaca, menulis, dan ilmu pelajaran lain. Para penduduk yang miskin sehingga tidak dapat menyekolahkan anak-anak mereka menjadi sangat berterima kasih kepada Zhong Fu.[4]

Mengusir kawanan perampok

[sunting | sunting sumber]

Dalam versi lain, atas persetujuan ibunya Guo Hong Fu menggali kuburan ayahnya, mencuci tulangnya sampai bersih, membungkusnya dengan kain, di masukkan ke dalam periuk tanah liat, dan selalu ia bawa. Ahli Fengshui itu berpesan, "Mulai sekarang, kau harus menggembalakan ternakmu di sekitar tempat ini, sampai ada seorang lelaki bertudung besi menuntun kerbau dengan seorang anak lelaki yang berjalan di bawah perut kerbau lewat di situ. Tempat dimana kau melihat mereka (merupakan) arah letak Feng shui yang terbaik dan kuburlah tulang-tulang ayahmu di situ." Suatu siang yang cerah mendadak berubah menjadi gelap, petir menyambar-nyambar dan hujan turun dengan lebat. Hong Fu tak sempat menggiring pulang ternaknya, sehingga ia terpaksa berteduh di bawah pohon besar. Saat itulah dari arah tikungan muncul seorang lelaki menuntun kerbau dengan terburu-buru. Ia menggunakan wajan besi untuk melindung kepalanya dari hujan dan anaknya yang masih kecil berlindung di bawah perut kerbaunya. Hong Fu segera sadar akan pesan sang ahli Feng-shui. Tanpa memperdulikan hujan yang masih mengucur ia segera menggali di tempat dimana pertama kali ia melihat mereka dan menanamkan periuk berisi tulang ayahnya di situ. Begitu periuk masukkan ke dalamnya, lubang itu segera menutup sendiri. Dengan riang hati Guo Hong Fu menggiring ternaknya pulang.[1]

Waktu terus berlalu, pada suatu hari desa dimana Hong Fu tinggal diserbu kawanan perampok yang ganas. Sasaran utama kawanan berandal itu adalah tempat hartawan kikir di mana Hong Fu bekerja. Mereka merampok harta benda dan membakar rumahnya. Karena khawatir kobaran api mulai menjalar ke tempat tinggalnya, Guo Hong Fu meloncat keluar dari jendela. Anehnya, begitu melihat dia kawanan rampok segera lari kalang kabut, api besar yang dilewati Hong Fu pun lalu mengecil dan padam seperti di guyur oleh air. Hong Fu tidak menyadari hal itu, warga kampung yang menyaksikan kejadian ajaib itu terbengong keheranan. Sejak kejadian itu, semua orang menaruh hormat kepadanya, lebih-lebih sang hartawan kikir. Hong Fu tidak memperkenankan menggembala lagi, tapi diberi tunjangan hidup agar dapat hidup lebih layak bersama ibunya.[1]

Mencapai kedewaan

[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 15 bulan 8 Imlek, bulan mencapai fase purnama. Zhong Fu naik ke atas pohon sambil melihat langit yang cerah. Ia melihat sebuah bintang yang bersinar terang kemudian berpikir, orang di dunia ini harus berhati bersih, terang dan jujur seperti terangnya bintang tersebut. Seminggu kemudian, Zhong Fu pergi ke gunung mengambil kayu bersama kawan-kawannya. Mereka menemukan sebuah pohon yang sangat tinggi tetapi ranting-rantingnya kering. Zhong Fu hendak mengambil ranting-rantingnya, teman-temannya bertaruh akan memberikan semua kayu mereka hari itu jika Zhong Fu berhasil memanjat ke sana. Zhong Fu memanjang dengan lincah, sampai di tengah ia menemukan tempat untuk duduk dan merasa masanya untuk menjadi dewa telah tiba. Ia duduk bersila dan memejamkan mata, penampilannya seperti dewa yang sedang bermeditasi.[4]

Zhong Fu meminta kawan-kawannya untuk memberikan kayu-kayunya kepada sang ibu, dan meminta mereka untuk memanggil ibunya sambil membawakan sebuah buku dan satu biji labu kuning. Teman-temannya salah mendengar, mereka mengira Zhong Fu meminta babi dan lembu. Sebenarnya Lin Su Niang merasa heran atas permintaan tersebut, tetapi karena Zhong Fu adalah anak yang jujur, ia bersusah payah membawa babi, sementara lembunya bersifat penurut. Setelah lama, Lin Su Niang sampai di tempat Zhong Fu, tetapi tubuhnya suudah kaku seperti patung, wajahnya memerah dan matanya menerawang. Ia menangis dan teringat pada mimpinya pada tanggal 15 kemarin kini menjadi kenyataan. Dalam mimpi itu, ia disuruh menggoyang-goyang kaki Zhong Fu. Langsung saja Lin Su Niang memanjat pohon dan menarik sebelah kakinya sambil berkata, "Zhong Fu, bukalah matamu lebar-lebar, sehingga kamu dapat melihat jauh. Kalau kamu sudah menjadi Dewa, maka tolonglah segera orang-orang yang sengsara dan menderita." Ia menggoyang-goyang kaki putranya hingga tiga kali. Karena anak yang berbakti, Zhong Fu membuka matanya lebar-lebar seperti penggambaran rupangnya kini. Tempat itu kini dinamai Fei Feng Shan, Zhong Fu menjadi dewa saat berumur 16 tahun. Semenjak saat itu, penduduk mendirikan kuil untuk menghormatinya.[4]

Menurut versi yang lain, suatu hari setelah dewasa Hong Fu mendapat bisikan suci bahwa ia akan menerima anugerah Tuhan untuk menjadi orang suci. Ia menceritakan hal itu kepada ibunya, lalu mandi, keramas dan bersemedi dalam kamar sepanjang hari. Menjelang senja, sang ibu yang melihat putranya sejak pagi tidak keluar dari kamar, lalu mendorong pintu kamar tempat putranya bersemedi. Ia terkejut ketika menyaksikan tubuh Hong Fu bersama kursinya terapung di udara dalam keadaan semadi. Tanpa pikir panjang, ia segera menarik kaki putranya ke bawah, tapi terasa telah dingin dan kaku. Sejak itu penduduk kampung selalu menghormati Guo Hong dan memuja sebagai orang suci dengan mendirikan klenteng.[1]

Guo Sheng Wang ditampilkan sebagai seorang pemuda yang memakai baju kebesaran (dengan lambang naga). Ia duduk di atas kursi dengan mata terbuka, kaki kanannya bersila sementara yang kiri terjulur ke bawah. Hari lahirnya diperingati pada tanggal 22 bulan 8 Imlek, dan wafatnya pada tanggal 22 bulan 2 Imlek.[1] Ia melambangkan seorang anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Karena bakti dan kesuciannya itu, ia diangkat menjadi dewa (Shen di usia yang masih sangat muda, yaitu 16 tahun.[4]

Tabiat dan mukzizat

[sunting | sunting sumber]

Zhang Fu merupakan anak yang berbakti kepada orang tua. Ia tidak pernah mengeluh maupun mengomel kepada orang tuanya. Jika ibunya belum makan, Zhong Fu tidak pernah mau makan terlebih dahulu. Pada saat terjadi bencana alam, banyak penduduk yang melihat kemunculan Zhong Fu (terkadang mengendarai kuda putih) untuk memberikan bantuannya bagi mereka yang tertimpa malapetaka. Itulah sebabnya ia kemudian dipanggil Guang Ze Zun Wang atau Raja Mulia yang Memberikan Berkah Melimpah.[4]

Doa pujian kepada Guang Ze Zun Wang

[sunting | sunting sumber]

廣澤尊王寶誥 (Guang Ze Zun Wang Bao Gao)[2]

Doa pujian Guang Ze Zun Wang

志心皈命禮。(Zhi Xin Gui Ming Li)
事親以孝。待人以誠。(Shi Qing Yi Xiao, Dai Ren Yi Cheng)
證果高真。享祀千年。(Zheng Guo Gao Zhen, Xiang Si Qian Nian)
靈異屢著。保國庇民。(Ling Yi Lü Zhu, Bao Guo Bi Min)
御災孚佑。福善禍淫。(Yu Zai Fu You, Fu Shan Huo Yin)
消水旱災。屏盜賊患。(Xiao Shui Han Zai, Ping Dao Zei Huan)
相世榮達。佐時太平。(Xiang Shi Rong Da, Zuo Shi Tai Ping)
大悲大願。大聖大慈。(Da Bei Da Yuan, Da Sheng Da Ci)
忠應孚惠。威武英烈。(Zhong Ying Fu Hui, Wei Wu Ying Lie)
永保安寧。(Yong Bao An Ning)
威震廣澤尊王。(Wei Zhen Guang Ze Zun Wang)

Guo Fen Yang Gong

[sunting | sunting sumber]

Sebuah versi mengatakan bahwa sebetulnya yang dianggap sebagai Guo Sheng Wang adalah seorang raja muda yang hidup pada zaman Dinasti Tang, yakni Guo Zi Yi (Hokkien=Kwee Cu Gi). Ia bergelar Fen Yang Wang (Hokkien=Hun Yang Ong; lit. Raja Muda dari Fenyang) atau Guo Fen Yang Gong. Guo Zi Yi berjasa besar dalam menumpas pemberontakan An Lu Shan yang pada waktu itu nyaris meruntuhkan Dinasti Tang. Ia banyak dipuja oleh keluarga Guo (Hokkien= Kwee) sebagai pelindung mereka; hari lahirnya diperingati pada hari yang sama dengan Guo Sheng Wang.[1]

Daftar klenteng yang memuja Guang Ze Zun Wang

[sunting | sunting sumber]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i j Kelenteng Sam Po Kong. Dewa-Dewi Kelenteng. Semarang: Yayasan Kelenteng Sam Po Kong.
  2. ^ a b Javewu. 28 Agustus 2007. Akses= 22 Maret 2013. Pictures of Guang Ze Zun Wang (忠孝首屈廣澤尊王) Diarsipkan 2013-03-18 di Wayback Machine.
  3. ^ a b Tjing Wen. 31 Agustus 2009. Akses= 28 Maret 2013. Riwayat Guo Zhong Fu (Ver. 2) Diarsipkan 2013-01-06 di Wayback Machine.. Diambil dari buku “Riwayat Guang Ze Zun Wang”: Sang Dewa Pelindung Masyarakat Nan An.
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v Tjing Wen. 25 Agustus 2009. Akses= 28 Maret 2013. Riwayat Guo Zhong Fu (ver. 1)[pranala nonaktif permanen]. Diambil dari buku “Riwayat Guang Ze Zun Wang”: Sang Dewa Pelindung Masyarakat Nan An.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]