Kuasa di Balik Tahta
Kendali di balik takhta kepemimpinan adalah istilah bagi seseorang atau kelompok yang secara tak resmi atau tak memiliki pengakuan dari segi kepemimpinan, akan tetapi turut melakukan peran aktif sebagai pejabat tingkat utama, semisal kepala negara atau raja. Dalam ilmu politik, hal ini sering mengarah kepada pasangan, ajudan, atau bawahan dari pemimpin resmi, yang membuat kebijakan atas dasar pengaruh kuat atau kelihaian memanipulasi.
Asal mula istilah ini merupakan ciri pemerintahan di kerajaan Eropa pada Abad Pertengahan, waktu ada sosok penasihat yang berdiri di belakang kursi takhta raja diizinkan membisikkan arahan pada telinga sang raja, tanpa harus berbincang, dalam menentukan kebijakan-kebijakan tertentu, maka kendali tidak bergantung pada pemimpin utama melainkan pada "penasihat" di balik figur pimpinan (figurehead) tersebut. Sehingga pemimpin yang secara resmi (de jure) dan diakui secara luas (de facto) hanya mendapat sebutan, akan tetapi kewenangan dan kendali utama tidak sepenuhnya dikuasai olehnya melainkan ada pihak atau otoritas lebih tinggi yang samar atau bahkan tidak diketahui dalam hal memengaruhi atau bahkan mengambil alih penentuan kebijakan.
Beberapa tokoh yang dikenal dengan istilah ini adalah Alcuin, Martin Bormann,[1] dan Joseph-Marie Córdoba.[2]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Pustaka
[sunting | sunting sumber]- Henry d'Yvignac, L'Éminence grise (le père Joseph), Librairie du Dauphin, Les Grands hommes d'État catholiques, Paris, 1931
- Georges Grente, L'Éminence grise, Gallimard, Paris, 1941
- Pierre Assouline, Une éminence grise: Jean Jardin, 1904-1976, Balland, Paris, 1986, ISBN 2-7158-0607-8