Masjid Asasi Padang Panjang
Masjid Asasi | |
---|---|
Lokasi | |
Lokasi | Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, Indonesia |
Arsitektur | |
Tipe | Masjid |
Gaya arsitektur | Minangkabau tradisional |
Spesifikasi | |
Kapasitas | 200 orang[1] |
Tinggi maksimum | 25 meter (82 kaki)[2] |
Masjid Asasi (awalnya bernama Surau Gadang)[3] terletak di Kelurahan Sigando, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Masjid ini diperkirakan berdiri sejak abad ke-17 dan tercatat sebagai masjid tertua di Padangpanjang. Arsitekturnya mengikuti bentuk masjid tradisional Minangkabau.
Sejak didirikan, konstruksi masjid tidak mengalami kerusakan berarti, walaupun dilanda gempa besar pada 1926 dan 2009. Pemugaran yang dilakukan berupa penggantian atap ijuk dan dinding tidak mengubah keaslian bentuk masjid. Pemerintah Indonesia telah menetapkannya sebagai benda cagar budaya di bawah Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau.
Saat ini, Masjid Asasi menjadi salah satu daya tarik wisata di Padangpanjang.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Cikal bakal Masjid Asasi berawal dari surau kaum Datuk Kayo Suku Koto Nan Baranam yang berdiri sejak abad ke-17. Bangunannya terbuat dari kayu dengan atap terbuat dari ijuk. Dalam perjalanannya, surau tersebut menjadi pusat ibadah penduduk Nagari Ampek Koto, yakni Nagari Gunung, Paninjauan, Tambangan, dan Jaho sehingga dijuluki sebagai Surau Gadang.
Catatan Kerapatan Adat Nagari (KAN) Ganuang menyebutkan, pembangunan Surau Gadang pendahulu Masjid Asasi dilakukan sekitar tahun 1770.[4][5] Tukang-tukangnya didatangkan dari Nagari Pandai Sikek yang dikenal ahli dalam bertukang kayu dan seni ukir. Pembangunan diperkirakan selesai pada tahun 1775. Pada 1912, atap surau yang terbuat dari ijuk diganti dengan menggunakan seng. Selanjutnya, dinding-dinding yang sudah lapuk diperbarui pada 1956.[6]
Salah seorang ulama yang pernah mengajar di Surau Gadang adalah Mohammad Zein. Ia mengajarkan penduduk membaca ayat Al-Quran, ilmu umum seperti logika, dan ilmu bela diri silat. Sebelumnya, ia pernah belajar di Surau Haji Miskin. Ia ikut terlibat dalam pemberontakan Belasting pada 1908. Pada masa sebelum kemerdekaan, masjid ini pernah menjadi basis pengembangan Islam melalui kehadiran Madrasah Thawalib Gunuang yang berlokasi di sekitar masjid.
Sampai awal abad ke-20, masjid ini masih menjadi pusat aktivitas keagamaan penduduk Nagari Ampek Koto. Namun, seiring pertambahan penduduk, sejumlah surau-surau ikut dialihfungsikan menjadi masjid, seperti Surau Ngalau, Surau Koto Katiak, Surau Gantiang, dan Surau Lubuak Padang Marapulai.
Nama
[sunting | sunting sumber]Masjid Asasi semula dikenal dengan Surau Gadang. Penamaan Asasi sendiri baru muncul setelah tahun 1950. Asasi berasal dari kata "asas" dalam bahasa Arab yang berarti dasar atau sesuatu yang jadi tumpuan.[5]
Konstruksi
[sunting | sunting sumber]Secara umum, komponen bahan bangunan masjid terbuat dari kayu, mulai dari dinding, lantai, dan tiang penyangga.[6]
Ruang utama ditopang oleh delapan tiang penyangga dan sebuah tonggak macu di tengah. Tonggak macu berukuran lebih besar dari tiang-tiang lainnya dengan diameter 1,5 m dan tinggi 15 meter, berbahan kayu dilapisi beton.
Dinding bangunan dipenuhi dengan ragam hias motif flora, ukiran khas tradisional Minangkabau. Terdapat jendela kaca berdaun dua pada dinding sisi utara dan selatan, masing-masing berjumlah empat. Jendela serupa terdapat pula di bagian mihrab, masing-masing satu di sisi utara dan selatan mihrab.[6]
Atap masjid terbuat dari seng, berundak-undak sebanyak tiga tingkat. Berbentuk limas, permukaan atap dibuat cekung, cocok untuk daerah beriklim tropis karena dapat lebih cepat mengalirkan air hujan. Adapun atap mihrab berbentuk gonjong, terpisah dari atap ruang utama.
Ruangan
[sunting | sunting sumber]Masjid Asasi berdiri di atas tanah berukuran 25 x 22 m. Ruang utama yang merupakan ruang salat memiliki denah dasar berukuran 13,1 m x 13,1 m. Letaknya ditinggikan sekitar satu meter dari permukaan tanah, membentuk kolong. Mihrab dibuat menjorok pada sisi barat, berdenah 2,2 m x 4,6 m. Terdapat serambi pada sisi timur berupa ruangan tertutup berukuran 5 m x 4,4 m tanpa jendela. Tangga masuk masjid berada pada sisi kiri dan kanan serambi berupa coran semen.[6]
Ruangan serambi difungsikan sebagai ruangan pengurus masjid dan disekat dari ruang utama. Di ruang belakang, terdapat sekumpulan benda kuno, berupa brankas peninggalan Belanda dan beberapa lembar tafsir Alquran beraksara Arab-Melayu.[5]
Pada bagian mihrab, terdapat mimbar yang terbuat dari kayu papan.
Bangunan lain
[sunting | sunting sumber]Masjid dikelilingi pagar besi di bagian selatan dan pagar tembok di bagian barat dan utara. Untuk memasuki area masjid, terdapat pintu gerbang di sebelah selatan.
Terpisah dari bangunan induk, terdapat bangunan panggung di sebelah utara seperti tempat penyimpanan padi. Bangunan ini digunakan untuk tempat bedug yang terbuat dari kayu kelapa.[2]
Tempat wudhu berada di luar pagar, di bawah bangunan rumah garin masjid. Sumber air berasal dari mata air di sekitar masjid yang oleh masyarakat disebut "bulaan". Pintu masuknya berada di sebelah barat, melalui tangga menurun.
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- Catatan kaki
- Daftar pustaka
- Febrianti, Ikhwan Wahyudi & Ira (2 Juni 2018). Galiartha, Gilang, ed. "Berteduh di Masjid Asasi, masjid tertua di Padang Panjang". ANTARA News. Diakses tanggal 11 Agustus 2018.
- Sumbar, Antara (4 September 2009). "Masjid Kayu Tertua di Serambi Mekah". ANTARA News. Diakses tanggal 11 Agustus 2018.
- "Wisata Religi Masjid Asasi Padang Panjang". Harian Haluan. 11 Juni 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-06. Diakses tanggal 11 Agustus 2018.
- Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat (3 Mei 2018). "Masjid Asasi". Diakses tanggal 11 Agustus 2018.
- Kementerian Agama. "Profil Masjid Asasi". Diakses tanggal 11 Agustus 2018.