Perang Silesia I
| ||||||||||||||||||||||||
Perang Silesia Pertama (bahasa Jerman: Erster Schlesischer Krieg) adalah konflik antara Prusia melawan Austria yang berlangsung dari tahun 1740 hingga 1742, dengan hasil Prusia merebut sebagian besar wilayah Silesia (kini terletak di Polandia barat daya) dari Austria. Perang ini meletus di wilayah Silesia, Moravia, dan Bohemia, serta merupakan bagian dari Perang Suksesi Austria. Perang ini merupakan salah satu dari tiga Perang Silesia yang pecah pada pertengahan abad ke-18 demi menguasai wilayah tersebut; pada akhirnya Prusia tetap menjadi penguasa Silesia.
Tidak ada peristiwa khusus yang memicu perang ini. Secara resmi, casus belli yang digunakan oleh Prusia adalah klaim lama dinasti penguasa kerajaan tersebut terhadap sebagian wilayah Silesia, tetapi faktor-faktor Realpolitik dan geopolitik juga berpengaruh. Prusia juga memanfaatkan kisruh yang terjadi akibat penolakan terhadap naiknya Maria Theresia ke takhta Austria.
Perang ini dimulai dengan serangan Prusia ke wilayah Silesia pada akhir tahun 1740 dan berhasil dimenangkan oleh Prusia. Perjanjian Berlin tahun 1742 kemudian mengakui kekuasaan Prusia di sebagian besar wilayah Silesia dan wilayah Kladsko di Bohemia. Sementara itu, Perang Suksesi Austria masih berlanjut, dan perebutan wilayah Silesia memicu Perang Silesia Kedua dua tahun sesudahnya. Perang ini dikenang bukan hanya karena Kerajaan Prusia yang lebih kecil secara tidak terduga berhasil mengalahkan Monarki Habsburg, tetapi juga karena telah memulai persaingan Austria-Prusia yang akan membayangi politik wilayah berbahasa Jerman selama lebih dari satu abad.
Latar belakang dan penyebab
Pada permulaan abad ke-18, Wangsa Hohenzollern yang menguasai Brandenburg-Prusia memiliki klaim atas sejumlah kadipaten di wilayah Silesia yang dikuasai oleh Monarki Habsburg, yakni Liegnitz, Wohlau, dan Brieg. Silesia sendiri adalah wilayah yang padat dan kaya yang bersebelahan dengan wilayah utama Prusia di Brandenburg.[1] Wilayah ini tidak hanya berharga karena menjadi sumber pendapatan pajak, penghasilan industri, dan perekrutan pasukan, tetapi juga karena posisi pentingnya dari segi geostrategi. Secara militer, lembah hulu Sungai Oder merupakan penghubung alami antara wilayah Brandenburg, Bohemia, dan Moravia, sehingga pengendali wilayah ini akan dapat mengancam negara-negara di sekitarnya. Silesia juga terletak di perbatasan timur laut Kekaisaran Romawi Suci, alhasil penguasanya dapat membendung pengaruh Polandia dan Rusia di Jerman.[2]
Klaim Brandenburg–Prusia
Klaim Brandenburg–Prusia di Silesia salah satunya didasarkan pada perjanjian pewarisan tahun 1537 antara Adipati Fryderyk II Legnicki dari Wangsa Piast Silesia dengan Pangeran-Elektor Brandenburg Joachim II Hector dari Wangsa Hohenzollern. Menurut perjanjian ini, Liegnitz, Wohlau, dan Brieg di Silesia akan diwariskan kepada Wangsa Hohenzollern di Brandenburg jika Dinasti Piast di Silesia tidak lagi memiliki penerus. Pada masa itu, Raja Bohemia dari Wangsa Habsburg Ferdinand I menolak perjanjian tersebut dan berupaya menekan Wangsa Hohenzollern agar membatalkannya.[3] Pada tahun 1603, Elektor Brandenburg Joachim Friedrich juga mewarisi Kadipaten Krnov di Silesia dari sepupunya, Margrave Georg Friedrich dari Brandenburg-Ansbach, dan ia kemudian menjadikan anak lelaki keduanya, Johann Georg, sebagai adipati wilayah tersebut.[4]
Pada saat meletusnya Pemberontakan Bohemia dan Perang Tiga Puluh Tahun, Johann Georg bergabung dengan pemberontakan golongan kawula Silesia melawan Kaisar Romawi Suci Ferdinand II yang beragama Katolik.[5] Setelah kemenangan pasukan Katolik dalam Pertempuran Gunung Putih pada tahun 1621, Kaisar Ferdinand menyita kadipaten Johann Georg. Meskipun Johann kemudian wafat, Kaisar menolak mengembalikan Kadipaten Krnov kepada keturunan Johann, dan Elektor-elektor Brandenburg malah terus menyatakan diri mereka sebagai penguasa Krnov yang sah.[6] Pada tahun 1675, "Elektor Agung" Friedrich Wilhelm dari Brandenburg mengklaim Liegnitz, Wohlau, dan Brieg setelah garis keturunan Wangsa Piast Silesia berakhir akibat kematian Adipati Georg Wilhelm dari Liegnitz. Namun, Kaisar Romawi Suci dari Wangsa Habsburg mengabaikan klaim tersebut dan wilayah-wilayah Wangsa Piast Silesia pun diambil alih oleh Habsburg.[7]
Pada tahun 1685, ketika Austria tengah disibukkan dengan Perang Turki Raya, Kaisar Leopold I menyerahkan Schwiebus di Silesia kepada Friedrich Wilhelm sebagai balas budi atas bantuan militer melawan Kekaisaran Ottoman. Setelah anak Friedrich Wilhelm, Friedrich III dari Brandenburg, naik takhta, Kaisar Romawi Suci dari Wangsa Habsburg mengambil kembali Schwiebus pada tahun 1694. Menurutnya, wilayah ini hanya diberikan kepada sang Elektor Agung selama hidupnya saja.[8] Saat masih muda, Friedrich III pernah diam-diam menyetujui pengambilalihan ini dan sebagai gantinya Leopold akan membayar sebagian utangnya,[9] tetapi setelah menjadi Raja Prusia ia menolak perjanjian tersebut dan mengangkat kembali klaim Hohenzollern terhadap Jägerndorf dan wilayah bekas Wangsa Piast Silesia.[8]
Pewarisan di Austria
Dua generasi setelahnya, Raja Friedrich II dari Prusia yang baru saja naik takhta pada Mei 1740 mulai merencanakan upaya untuk menguasai Silesia.[10] Friedrich menganggap klaim dinastinya memiliki keabsahan yang kuat,[1] dan ia sendiri juga telah mewarisi sebuah negara dengan militer yang kuat serta kondisi keuangan yang sehat.[11] Di sisi lain, kondisi keuangan Austria sedang morat marit, dan pasukannya juga masih belum diperkuat ataupun dirombak walaupun kinerjanya terbukti buruk pada masa Perang Austria-Turki (1737–1739).[12] Selain itu, situasi di Eropa juga memungkinkan untuk menyerang Austria, karena Britania Raya dan Prancis sedang disibukkan oleh satu sama lain dan Rusia sedang berkonflik dengan Swedia.[13] Ditambah lagi, Elektorat Bavaria dan Saxony juga memiliki klaim di wilayah milik Habsburg dan kemungkinan akan membantu Prusia.[1] Oleh sebab itu, walaupun casus belli Perang Silesia Pertama secara hukum adalah klaim Wangsa Hohenzollern terhadap kadipaten-kadipaten di Silesia, pertimbangan Realpolitik dan geostrategi juga berperan penting dalam memicu perang ini.[14]
Friedrich mendapatkan kesempatan ketika Kaisar Romawi Suci dari Wangsa Habsburg, Karl VI, wafat pada Oktober 1740 tanpa meninggalkan penerus laki-laki. Sebelumnya ia telah mengeluarkan Sanctio Pragmatica 1713 yang mengakui putri sulung sang Kaisar, Maria Theresia, sebagai penerusnya. Dengan ini Maria Theresia pun menjadi penguasa Austria, Bohemia, dan Hungaria di Monarki Habsburg.[15] Pada saat Karl masih hidup, Sanctio Pragmatica diakui oleh negara-negara Eropa lainnya. Namun, setelah ia wafat, beberapa negara malah menentangnya.[16]
Bagi Friedrich, sengketa ini merupakan kesempatan terbaik untuk merebut Silesia. Ia bahkan menyebutnya "pertanda transformasi secara utuh sistem politik lama" dalam sepucuk surat yang ia tulis untuk Voltaire pada tahun 1740.[10] Ia mengklaim bahwa Silesia merupakan demesne (milik lembaga kekaisaran) alih-alih wilayah milik wangsa Habsburg sehingga tidak bisa begitu saja "diwasiatkan" melalui Sanctio Pragmatica. Friedrich juga menyatakan bahwa ayahnya, Raja Friedrich Wilhelm I, menyetujui Sanctio Pragmatica sebagai balas budi atas janji Austria untuk mendukung klaim Hohenzollern atas Kadipaten Jülich dan Berg di kawasan Sungai Rhine, tetapi janji ini tidak pernah ditepati.[17][18]
Sementara itu, Pangeran-Elektor Karl Albrecht dari Bayern dan Pangeran-Elektor Friedrich August II dari Saxony masing-masing telah menikahi sepupu Maria Theresia dari cabang senior Wangsa Habsburg. Sesudah wafatnya Kaisar Karl VI, mereka memanfaatkan hubungan ini untuk menyatakan diri sebagai penerus Habsburg akibat ketiadaan pewaris laki-laki.[11] Friedrich August, yang juga menguasai Polandia, sangat ingin menguasai Silesia untuk menghubungkan kedua wilayahnya menjadi suatu kesatuan (yang hampir akan mengepung wilayah Brandenburg). Kekhawatiran akan hal ini mendorong Friedrich untuk bertindak cepat ketika muncul kesempatan.[1]
Menjelang perang
Ketika Prusia tengah menyuarakan klaimnya terhadap Silesia dan mempersiapkan perang melawan Austria, sejumlah negara Eropa lainnya juga mengambil tindakan serupa. Karl Albrecht mengklaim sebagai penerus Habsburg dan juga wilayah Habsburg di Bohemia, Austria Hulu, dan Tirol. Sementara itu, Friedrich August mengklaim Moravia dan Silesia Hulu.[19] Spanyol dan Naples ingin mengambil alih wilayah Habsburg di Italia utara, sementara Prancis (yang memandang Habsburg sebagai saingan mereka) ingin menguasai wilayah Belanda yang dikuasai Austria.[20] Negara-negara ini bersama dengan Elektorat Cologne dan Palatinate kemudian membentuk persekutuan anti-Habsburg yang disebut Liga Nymphenburg. Liga ini menginginkan pelemahan atau bahkan penghancuran Monarki Habsburg beserta kedudukannya yang dominan di wilayah berbahasa Jerman.[16]
Austria didukung oleh Britania Raya dan pada akhirnya juga oleh Savoia-Sardinia dan Republik Belanda. Kekaisaran Rusia di bawah Maharani Elizabeth dari Rusia juga secara tidak langsung membantu Austria dengan mengobarkan perang melawan Swedia (yang merupakan sekutu Prancis pada saat itu). Di tengah panasnya situasi di Eropa, harapan Maria Theresia adalah untuk mempertahankan semua wilayah dan gelar yang ia wariskan dari ayahnya, dan kemudian untuk mendapatkan dukungan agar suaminya, Adipati Franz Stephan dari Lorraine, dapat terpilih sebagai Kaisar Romawi Suci dan mempertahankan dominasi wangsanya di wilayah berbahasa Jerman.[16]
Setelah wafatnya Kaisar Karl VI pada 20 Oktober, Friedrich langsung mengambil tindakan. Pada 8 November, ia memerintahkan mobilisasi pasukan Prusia, dan pada 11 Desember ia mengeluarkan ultimatum kepada Maria Theresia yang menuntut penyerahan Silesia.[21] Sebagai gantinya, ia akan menjaga wilayah Habsburg lainnya dari serangan, memberikan kompensasi,[22] mengakui Sanctio Pragmatica, dan memberikan suaranya kepada suami Maria Theresia dalam pemilihan Kaisar Romawi Suci. Tanpa menunggu jawaban dari Maria, ia dan pasukannya memasuki wilayah Silesia.[21]
Berlangsungnya perang
Aksi militer di Silesia, 1740–41
Pasukan Prusia berkumpul secara diam-diam di sepanjang Sungai Oder pada awal Desember 1740. Pada 16 Desember, tanpa adanya pernyataan perang, Friedrich dan pasukannya menyeberang perbatasan dan memasuki wilayah Silesia.[23] Pasukan Prusia terdiri dari dua korps yang berjumlah 27.000 prajurit, sementara Silesia hanya dipertahankan oleh garnisun Austria yang berjumlah 8.000 orang.[24] Pasukan Austria tidak dapat memberikan perlawanan berarti dan hanya dapat berlindung di beberapa benteng. Sementara itu, pasukan Prusia dapat dengan mudah menguasai berbagai wilayah dan bahkan mampu merebut ibu kota Silesia di Breslau tanpa menghadapi perlawanan pada 2 Januari 1741.[25][26] Benteng Austria di Ohlau juga direbut tanpa adanya perlawanan pada tanggal 9 Januari,[27] dan yang kemudian pasukan Prusia memanfaatkan benteng tersebut untuk melewati musim dingin.[28] Pada akhir Januari 1741, hampir seluruh wilayah Silesia telah dikendalikan oleh Prusia, sementara benteng Austria yang tersisa di Glogau, Brieg, dan Neisse tengah dikepung.[21]
Setelah meninggalkan benteng Ohlau pada awal tahun 1741, pasukan Prusia melancarkan kampanye musim semi. Pada 9 Maret, Pangeran Leopold II dari Anhalt-Dessau berhasil merebut Glogau dengan melancarkan serangan mendadak. Pada akhir Maret, pasukan Austria yang berjumlah sekitar 20.000 prajurit di bawah pimpinan Wilhelm Reinhard von Neipperg menyeberang Pegunungan Sudeten dari wilayah Moravia dan berhasil menghentikan pengepungan di Neisse pada 5 April.[29] Pasukan utama Prusia pun bergerak untuk melawan pasukan ini.[30][31] Kedua pasukan tersebut bertarung di dekat desa Mollwitz pada 10 April, dan di tempat tersebut pasukan Prusia di bawah pimpinan Marsekal Kurt von Schwerin berhasil menghentikan pergerakan pasukan Austria dalam Pertempuran Mollwitz. Kinerja pasukan Austria dan Prusia dalam pertempuran ini sama-sama kurang baik, dan Friedrich bahkan sempat melarikan diri (atas saran dari Schwerin) agar tidak ditangkap. Walaupun begitu, pada akhirnya pasukan Prusia berhasil bertahan.[32] Brieg menyerah kepada Prusia pada 4 Mei,[33] dan setelah itu pasukan Prusia berkemah selama berbulan-bulan di dekat Neisse. Di situ pasukan tersebut berhadapan dengan pasukan Neipperg, tetapi mereka tidak banyak bertempur.[34]
Perundingan pada pertengahan 1741
Setelah unjuk kekuatan di Mollwitz, negara-negara lain terdorong untuk menyerang Austria yang tampak berada dalam situasi yang sulit, sehingga konflik di Silesia pun meluas menjadi Perang Suksesi Austria.[35] Prancis menyatakan dukungannya terhadap Prusia sesuai dengan Perjanjian Breslau yang ditandatangani pada 5 Juni.[36][37] Kemudian, pada bulan Juli, ditandatangani Perjanjian Nymphenburg; dalam perjanjian ini, Prancis dan Spanyol menyatakan dukungan mereka terhadap klaim Bavaria di sebagian wilayah kekuasaan Austria. Pasukan Prancis menyeberang Sungai Rhine pada 15 Agustus.[19] Pasukan tersebut bergabung dengan pasukan Bavaria di kawasan Sungai Danube dan kemudian bergerak menuju Wina, ibu kota Monarki Habsburg,[38] sementara pasukan Spanyol dan Naples menyerang wilayah Austria di Italia utara.[39] Saxony yang pernah menjadi sekutu Austria malah ikut bersekutu dengan Prancis.[40] Sementara itu, Britania Raya yang tergabung dalam uni personal dengan Elektorat Hanover menyatakan netral agar wilayah Hanover tidak diserang oleh Prancis atau Prusia.[41]
Di tengah ancaman besar yang dapat berujung pada lepasnya banyak wilayah, Maria Theresia menghabiskan waktu beberapa bulan sesudahnya untuk mengumpulkan kembali kekuatan dan mempersiapkan serangan balasan. Pada 25 Juni, ia dimahkotai sebagai Ratu Hungaria di Pressburg (kini di Bratislava) dan mulai mencoba merekrut pasukan dari wilayah tersebut.[42] Pada bulan Agustus, ia menawarkan konsesi kepada Friedrich berupa uang dan wilayah di Negara-negara Dataran Rendah asalkan Friedrich mau meninggalkan Silesia, tetapi tawaran ini langsung ditolak mentah-mentah.[43] Sementara itu, musuh berdatangan dari berbagai penjuru. Pasukan Prancis dan Bavaria merebut Linz pada 14 September, bergerak melewati kawasan Austria Hulu, dan bahkan mencapai daerah sekitar kota Wina pada bulan Oktober. Sementara itu, Bohemia diserang oleh pasukan Silesia.[19] Setelah melihat kemelut yang dihadapi Austria, Friedrich secara diam-diam merundingkan perdamaian dengan Neipperg di Breslau, walaupun di muka umum ia masih mendukung Liga Nymphenburg.[44]
Meskipun Prusia bersekutu dengan Prancis, Friedrich tidak menyukai kemungkinan bahwa Prancis atau Bavaria akan menjadi negara yang berkuasa di wilayah berbahasa Jerman apabila Austria mengalami kehancuran.[44] Atas desakan dan mediasi dari Britania Raya,[19] pada 9 Oktober Austria dan Prusia menyetujui gencatan senjata rahasia yang dikenal dengan nama Konvensi Klein Schnellendorf. Berdasarkan kesepakatan ini, kedua belah pihak akan mengakhiri permusuhan di Silesia (walaupun masih pura-pura bermusuhan). Austria diwajibkan untuk menyerahkan Silesia Hilir, dan sebagai gantinya perjanjian perdamaian yang benar-benar mengakhiri perang akan dirundingkan sebelum akhir tahun.[45] Pasukan Neipperg lalu ditarik dari Silesia untuk mempertahankan Austria. Pasukan ini meninggalkan Neisse setelah dilangsungkannya pengepungan pura-pura pada awal bulan November, sehingga seluruh wilayah Silesia jatuh ke tangan Prusia.[46][47][48]
Aksi militer di Bohemia-Moravia, 1741-42
Pada pertengahan Oktober, Karl Albrecht bersama dengan pasukan Bavaria dan Prancis berkemah di dekat kota Wina dan bersiap-siap untuk mengepungnya, tetapi ia kemudian merasa khawatir bahwa Saxony dan Prusia akan merebut sebagian wilayah Bohemia yang juga ia klaim.[19] Prancis juga tidak setuju dengan serangan terhadap Wina karena mereka hanya ingin Austria dilemahkan alih-alih dihancurkan.[49] Maka dari itu, pada 24 Oktober, pasukan mereka malah bergerak ke Praha di utara. Pasukan Bavaria, Prancis, dan Sachsen berkumpul di sekitaran kota tersebut pada bulan November dan kemudian mengepungnya. Pada akhirnya pasukan ini berhasil merebut kota tersebut pada 26 November, dan Karl Albrecht lalu menyatakan dirinya sebagai Raja Bohemia pada 7 Desember.[19] Sementara itu, pada awal bulan November, Friedrich mencoba merundingkan perbatasan antara wilayah Silesia yang dikuasai Prusia dengan wilayah Moravia yang akan dikuasai Saxony.[50] Ia juga berhasil memperoleh dukungan dari Prancis dan Bavaria untuk mengambil alih seluruh wilayah Silesia beserta dengan County Kladsko di Bohemia.[51]
Seiring dengan keberhasilan pasukan Prancis dan Bavaria, Friedrich merasa khawatir dengan kemungkinan bahwa Prusia akan dikesampingkan dalam perumusan perjanjian perdamaian, sehingga ia menolak Konvensi Klein Schnellendorf, menuduh Austria telah melanggar kerahasiaannya, dan bergerak bersama pasukannya ke arah selatan menuju Bohemia dan Moravia.[52] Pada bulan Desember, pasukan Schwerin bergerak melintasi Pegunungan Sudeten menuju Moravia dan menduduki ibu kotanya di Olmütz pada 27 Desember. Sementara itu, pasukan Pangeran Leopold mengepung Benteng Glatz di pinggir wilayah Bohemia.[51] Pada Januari 1742, pemilihan Kaisar Romawi Suci diselenggarakan di Frankfurt, dan hasilnya Elektor Karl Albrecht terpilih sebagai Kaisar.[53]
Pada awal tahun 1742, pasukan Friedrich bergerak bersama dengan pasukan Saxony dan Prancis melalui wilayah Moravia menuju kota Wina. Pergerakan ini dimulai setelah ketiga pasukan tersebut berkumpul pada 5 Februari di Wischau. Namun, pasukan Prancis tampak ogah-ogahan dan tidak kooperatif. Setelah direbutnya Iglau pada 15 Februari, mereka mundur ke Bohemia.[54] Pasukan Prusia dan Saxony kemudian bergerak menuju Brünn yang merupakan benteng utama Austria di Moravia, tetapi mereka menghadapi rintangan berupa garnisun Austria yang berjumlah besar dan keterbatasan persediaan.[45] Aksi militer di Moravia pun mandek. Pada akhirnya pasukan Saxony mundur ke Bohemia pada 30 Maret, sementara pada 5 April pasukan Prusia mundur ke Bohemia dan Silesia Hulu.[54][55]
Sementara itu, Karl Alexander dari Lorraine (adik ipar Maria Theresia) memimpin pasukan Austria-Hungaria yang terdiri dari 30.000 prajurit melalui wilayah Moravia menuju Bohemia. Tujuannya adalah untuk mengusir Prusia dan membebaskan Praha. Pada awal bulan Mei, pasukan Prusia yang berjumlah 28.000 prajurit di bawah kepemimpinan Friedrich dan Pangeran Leopold bergerak ke dataran Sungai Elbe di sebelah tenggara Praha dengan tujuan menghadang pergerakan pasukan Austria.[56][57] Kedua pasukan ini pun bertempur setelah pasukan Austria menyerang perkemahan pasukan Pangeran Leopold di Chotusitz pada 17 Mei; peristiwa yang dikenal dengan sebutan Pertempuran Chotusitz ini berujung pada kemenangan Prusia dengan korban jiwa yang besar di kedua belah pihak. Akibat kekalahan Pangeran Karl di Chotusitz beserta kekalahan pasukan Austria yang lain dalam Pertempuran Sahay pada 24 Mei, Austria tidak berdaya melihat musuhnya menguasai Praha dan Bohemia.[58]
Perjanjian Breslau dan Berlin
Seusai Pertempuran Chotusitz, Prusia menggencarkan upayanya untuk berdamai dengan Austria, dan perunding dari kedua belah pihak pun bertemu lagi di Breslau pada akhir bulan Mei.[59] Friedrich menuntut hampir seluruh Silesia beserta County Kladsko; Maria Theresia tidak sudi menerimanya, tetapi utusan Britania Raya Lord Hyndford mendorongnya untuk berdamai dengan Prusia dan memusatkan kekuatan untuk melawan Prancis.[45] Britania Raya telah memberikan subsidi kepada Austria dengan maksud untuk melemahkan Prancis, dan Hyndford mengancam akan menarik subsidi tersebut jika Maria Theresia menolak menyerahkan Silesia. Prusia dan Austria akhirnya menandatangani Perjanjian Breslau pada 11 Juni yang mengakhiri Perang Silesia Pertama.[60]
Berdasarkan ketentuan perjanjian ini, Austria menyerahkan sebagian besar wilayah Silesia beserta County Kladsko kepada Prusia; kedua wilayah ini kelak disatukan menjadi Provinsi Silesia.[61] Austria tetap dapat mempertahankan wilayah Bohemia dan dua wilayah kecil di ujung selatan Silesia, termasuk Kadipaten Teschen dan sebagian wilayah Kadipaten Krnov, Troppau, dan Nysa; wilayah-wilayah ini kelak disatukan menjadi wilayah Silesia Austria. Prusia bersedia menanggung sebagian utang Austria yang menggunakan aset di Silesia sebagai jaminan. Prusia juga berkomitmen akan tetap netral hingga akhir Perang Penerus Austria. Perjanjian awal di Breslau kemudian dikonfirmasi oleh Perjanjian Berlin yang ditandatangani pada 28 Juli 1742.[60]
Dampak
Perang Silesia Pertama dimenangkan oleh Prusia. Berkat kemenangan ini, Prusia dapat merebut wilayah Silesia, menambah sumber dayanya, dan melejitkan citranya. Namun, Prusia dua kali berdamai dengan Austria saat Perang Suksesi Austria masih berkecamuk. Akibatnya, Friedrich tampak telah meninggalkan sekutunya dan dianggap sebagai sosok yang tidak terandalkan secara diplomatik dan bermuka dua.[36][45] Di sisi lain, berkat perdamaian dengan Prusia, Austria dapat melancarkan serangan balasan dan mulai bangkit di front lain, sementara situasi diplomatik di Eropa berbalik menguntungkan Austria.[62]
Dengan merebut Silesia, Prusia telah menjadikan Austria dan Saxony sebagai musuh.[63][64] Upaya Maria Theresia untuk merebut kembali Silesia akan memicu Perang Silesia Kedua dua tahun setelah berakhirnya perang yang pertama, ditambah dengan Perang Silesia Ketiga satu dasawarsa sesudahnya.[65] Saxony sendiri membela Austria dalam perang kedua dan ketiga.[66][67]
Prusia
Berdasarkan perjanjian yang mengakhiri perang, Prusia memperoleh wilayah baru di Silesia dan Glatz.[61] Keduanya merupakan wilayah yang padat dan sangat terindustrialisasi (pada masanya), sehingga wilayah ini menambah sumber daya manusia dan pendapatan pajak Prusia.[68][69] Kemenangan Prusia juga menonjolkan kedudukan negara tersebut di antara negara-negara berbahasa Jerman lainnya seperti Bavaria dan Saxony, dan Prusia pun bangkit menjadi kekuatan besar.[70][71]
Keberhasilan Prusia dalam Perang Silesia Pertama juga memulai persaingan Austria-Prusia yang akan membayang-bayangi politik di wilayah berbahasa Jerman satu abad setelahnya.[72] Saxony sendiri iri dengan kebangkitan Prusia dan juga merasa terancam dengan posisi geostrategis Prusia di Silesia, sehingga kebijakan luar negeri mereka pun diarahkan untuk melawan Prusia.[64] Sementara itu, keputusan Friedrich untuk mundur dari Liga Nymphenburg membuat murka Prancis,[73] dan hal ini menjadi salah satu faktor yang memicu Revolusi Diplomatik tahun 1756, yaitu ketika Austria bersekutu dengan Prancis sementara Prusia bersekutu dengan Britania Raya.[74]
Austria
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Breslau dan Berlin, Monarki Habsburg kehilangan provinsi terkayanya.[70] Selain itu, dengan menerima tuntutan dari seorang penguasa yang dianggap lebih rendah derajatnya, citra Monarki Habsburg jatuh.[63] Wangsa Habsburg juga mengalami kekalahan dalam pemilihan Kaisar Romawi Suci, sehingga dominasinya di wilayah berbahasa Jerman pun diragukan. Ditambah lagi pasukan Austria kalah melawan pasukan Prusia yang lebih disiplin,[75] dan pada akhir tahun 1741 Liga Nymphenburg masih mengancam Monarki Habsburg.[76]
Namun demikian, perdamaian di Silesia memberikan kesempatan bagi pasukan Austria untuk bangkit melawan Prancis dan Bavaria. Musuh-musuhnya ini diusir hingga ke lembah Sungai Danube pada awal tahun 1742,[77] sementara Saxony mundur dari Bohemia setelah penandatanganan Perjanjian Berlin dan juga berdamai dengan Austria pada akhir tahun yang sama.[61] Pasukan Prancis-Bayern yang menduduki Praha terkepung dan akhirnya menyerah pada bulan Desember.[78] Pada pertengahan tahun 1743, Austria berhasil membebaskan Bohemia, mengusir Prancis hingga ke Alsace, menduduki Bavaria, dan membuang Karl Albrecht ke Frankfurt.[79]
Catatan kaki
- ^ a b c d Fraser (2000), hlm. 70–71
- ^ Browning (2005), hlm. 527
- ^ Carlyle (1858). Chapter X — Kurfürst Joachim II. Book III. hlm. 282–286.
- ^ Hirsch (1881), hlm. 175
- ^ Hirsch (1881), hlm. 176
- ^ Carlyle (1858). Chapter XVII — Duchy of Jägerndorf. Book III. hlm. 339–342.
- ^ Carlyle (1858). Chapter XVIII — Freidrich Wilhelm, the Great Kurfürst, Eleventh of the Series. Book III. hlm. 357–358.
- ^ a b Carlyle (1858). Chapter XIX — King Friedrich I Again. Book III. hlm. 364–367.
- ^ Anderson (1995), hlm. 59
- ^ a b Fraser (2000), hlm. 69
- ^ a b Clark (2006), hlm. 190
- ^ Anderson (1995), hlm. 61–62
- ^ Anderson (1995), hlm. 80
- ^ Clark (2006), hlm. 192–193
- ^ Asprey (1986), hlm. 24
- ^ a b c Clifford (1914), hlm. 3100
- ^ Fraser (2000), hlm. 70
- ^ Clark (2006), hlm. 191
- ^ a b c d e f Black (2002), hlm. 102–103
- ^ Clark (2006), hlm. 194
- ^ a b c Clark (2006), hlm. 183
- ^ Anderson (1995), hlm. 69
- ^ Luvaas, dari Friedrich II, Raja Prusia (2009), hlm. 3
- ^ Clark (2006), hlm. 183,192
- ^ Carlyle (1862a). Chapter IV — Breslau Under Soft Pressure. Book XII. hlm. 210–213.
- ^ Fraser (2000), hlm. 84
- ^ Carlyle (1862a). Chapter V — Friedrich Pushes Forward Towards Brieg and Neisse. Book XII. hlm. 218–219.
- ^ Asprey (1986), hlm. 177
- ^ Fraser (2000), hlm. 88
- ^ Carlyle (1862a). Chapter X — Battle of Mollwitz. Book XII. hlm. 300–301.
- ^ Fraser (2000), hlm. 87–88
- ^ Fraser (2000), hlm. 89–93
- ^ Carlyle (1862a). Chapter XI — The Bursting Forth of Bedlams: Belleisle and the Breakers of Pragmatic Sanction. Book XII. hlm. 361–363.
- ^ Carlyle (1862b). Chapter II — Camp of Strehlen. Book XIII. hlm. 411–412.
- ^ Clark (2006), hlm. 193–194
- ^ a b Shennan (2005), hlm. 43
- ^ Asprey (1986), hlm. 181
- ^ Asprey (1986), hlm. 223
- ^ Browning (1993), hlm. 80
- ^ Crankshaw (1970), hlm. 75
- ^ Crankshaw (1970), hlm. 77
- ^ Browning (1993), hlm. 66
- ^ Anderson (1995), hlm. 81
- ^ a b Fraser (2000), hlm. 97
- ^ a b c d Holborn (1982), hlm. 213
- ^ Carlyle (1862b). Chapter V — Klein-Schnellendorf: Friedrich Gets Neisse, in a Fashion. Book XIII. hlm. 483–487.
- ^ Asprey (1986), hlm. 223–224
- ^ Fraser (2000), hlm. 103
- ^ Holborn (1982), hlm. 211
- ^ Anderson (1995), hlm. 90
- ^ a b Carlyle (1862b). Chapter VIII — Friedrich Starts for Moravia, on a New Scheme He Has. Book XIII. hlm. 513–519.
- ^ Fraser (2000), hlm. 105–106
- ^ Fraser (2000), hlm. 106
- ^ a b Carlyle (1862b). Chapter X — Friedrich Does His Moravian Expedition Which Proves a Mere Moravian Foray. Book XIII. hlm. 538–544.
- ^ Luvaas, dari Friedrich II, Raja Prusia (2009), hlm. 4
- ^ Carlyle (1862b). Chapter XII — Prince Karl Does Come on. Book XIII. hlm. 560–563.
- ^ Browning (1993), hlm. 103
- ^ Carlyle (1862b). Chapter XIII — Battle of Chotusitz. Book XIII. hlm. 574–575,578.
- ^ Fraser (2000), hlm. 120
- ^ a b Carlyle (1862b). Chapter XIV — Peace of Breslau. Book XIII. hlm. 581–586.
- ^ a b c Fraser (2000), hlm. 121
- ^ Fraser (2000), hlm. 135–136
- ^ a b Fraser (2000), hlm. 134–135
- ^ a b Holborn (1982), hlm. 214–215
- ^ "Silesian Wars". Encyclopædia Britannica.
- ^ Browning (1993), hlm. 181
- ^ Fraser (2000), hlm. 310
- ^ Clark (2006), hlm. 192
- ^ Fraser (2000), hlm. 130–131
- ^ a b Clark (2006), hlm. 196
- ^ Schweizer (1989), hlm. 250
- ^ Clark (2006), hlm. 216
- ^ Fraser (2000), hlm. 122,135,151
- ^ Fraser (2000), hlm. 297–301
- ^ Fraser (2000), hlm. 133
- ^ Fraser (2000), hlm. 126–127
- ^ Fraser (2000), hlm. 107–109
- ^ Fraser (2000), hlm. 139
- ^ Clifford (1914), hlm. 3103
Daftar pustaka
- Anderson, Matthew Smith (1995). The War of the Austrian Succession: 1740–1748. New York: Longman. ISBN 978-0-582-05950-4.
- Asprey, Robert B. (1986). Frederick the Great: The Magnificent Enigma. New York: Ticknor and Fields. ISBN 978-0-89919-352-6.
- Black, Jeremy (2002). European International Relations 1648–1815. London: Palgrave Macmillan. ISBN 978-0-333-96450-7.
- Browning, Reed (1993). The War of the Austrian Succession. New York: St. Martin's Press. ISBN 978-0-312-09483-6.
- Browning, Reed (April 2005). "New Views on the Silesian Wars". Journal of Military History. 69 (2): 521–534. doi:10.1353/jmh.2005.0077.
- Carlyle, Thomas (1858). Book III — The Hohenzollerns in Brandenburg — 1412–1718. History of Friedrich II of Prussia, Called Frederick the Great. I. London: Chapman & Hall. OCLC 1045538020.
- Carlyle, Thomas (1862a). Book XII — First Silesian War, Awakening a General European One, Begins — December 1740 – May 1741. History of Friedrich II of Prussia, Called Frederick the Great. III. London: Chapman & Hall. OCLC 1045538020.
- Carlyle, Thomas (1862b). Book XIII — First Silesian War, Leaving the General European One Ablaze All Round, Gets Ended — May 1741 – July 1742. History of Friedrich II of Prussia, Called Frederick the Great. III. London: Chapman & Hall. OCLC 1045538020.
- Clark, Christopher (2006). Iron Kingdom: The Rise and Downfall of Prussia, 1600–1947. Cambridge, Massachusetts: Belknap Press. ISBN 978-0-674-03196-8.
- Clifford, John Herbert (1914). The Standard History of the World, by Great Historians. Volume 5. New York: University Society. OCLC 867881191.
- Crankshaw, Edward (1970). Maria Theresa. New York: Viking Press. ISBN 978-0-670-45631-4.
- Fraser, David (2000). Frederick the Great: King of Prussia. London: Allen Lane. ISBN 978-0-7139-9377-6.
- Friedrich II, Raja Prusia (2009). Luvaas, Jay, ed. Frederick the Great on the Art of War. New York: Da Capo Press. ISBN 978-0-7867-4977-5.
- Hirsch, Theodor (1881). "Johann Georg". Dalam von Liliencron, Rochus. Allgemeine Deutsche Biographie. 14. Leipzig: Duncker & Humblot. OCLC 309922855.
- Holborn, Hajo (1982). A History of Modern Germany: 1648–1840. Princeton, New Jersey: Princeton University Press. ISBN 978-0-691-00796-0.
- Schweizer, Karl W. (1989). England, Prussia, and the Seven Years War: Studies in Alliance Policies and Diplomacy. Lewiston, New York: Edwin Mellen Press. ISBN 978-0-88946-465-0.
- Shennan, J. H. (2005). International Relations in Europe, 1689-1789. London: Taylor & Francis. ISBN 978-0-415-07780-4.
Pranala luar
- Media tentang First Silesian War di Wikimedia Commons
- Hannay, David McDowall (1911). "Austrian Succession, War of the". Dalam Chisholm, Hugh. Encyclopædia Britannica (edisi ke-11). Cambridge University Press.