Srimulat (penyanyi)
Raden Ayu Srimulat (7 Mei 1908 – 1 Desember 1968) adalah pemain sandiwara panggung, pemain film dan penyanyi pada era akhir 50-an sampai akhir 60-an. RA Srimulat adalah anak Raden Mas Adipati Aryo Tjitrosoma, seorang bangsawan, wedana di Bekonang, Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Riwayat Hidup
[sunting | sunting sumber]Srimulat punya nama lengkap Raden Ajeng Srimulat. Putri bungsu dari pasangan Raden Mas Aryo Tjitrosoma dan Raden Ayu Sedah ini lahir di Desa Botokan, Klaten pada 7 Mei 1908. Setelah ibu kandungnya wafat, pada usia 6 tahun, Srimulat dibawa ke rumah kakak ayahnya, Raden Mas Sunarjo. Sunarjo waktu itu bekerja sebagai komis asisten residen di Klaten. Gadis kecil itu disekolahkan kakaknya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di kawasan Klaseman, Gatak, Sukoharjo. Baru setelah menginjak usia remaja, Srimulat kembali ke rumah ayahnya yang ditunjuk menjadi wedana di Bekonang, Sukoharjo. Ia melanjutkan sekolahnya di Koningin Emma School di Solo.[1]
Hanya beberapa bulan mengenyam pelajaran, Srimulat disuruh berhenti sekolah oleh ibu tirinya. Putri ningrat tak perlu sekolah tinggi-tinggi, begitu kata ibu tirinya. Srimulat sangat terpukul. Apalagi ia tak mendapat pembelaan dari ayahnya. Srimulat lantas dipingit. Seperti kisah putri-putri keraton yang menjalani pingitan, masa remaja Srimulat hanya dihabiskan dalam kungkungan dinding kewedanaan saja. Ia belajar berbagai macam keterampilan dari para abdi dalem.[1]
Usianya baru 12 tahun tapi sudah pintar menembang, menari, dan juga membatik. Kadang-kadang kalau lagi senggang, ayahnya yang punya nama kecil Raden Mas Rumpoko kadang-kadang mendampingi Srimulat dan saudara-saudaranya belajar menari dan menembang. Hidup Srimulat penuh dengan suara tembang, bunyi gamelan, dan gerak tari. Dibandingkan saudara-saudaranya, Srimulat anak yang paling cepat menangkap ajaran kesenian yang diberikan ayah dan abdi dalemnya.[1]
Orang tuanya lalu menikahkan Srimulat dengan seorang kerabat dekat ayahnya bernama Raden Hardjowinoto. Usianya waktu itu baru 15 tahun. Rumah tangganya tak berlangsung lama. Srimulat diterpa kemalangan secara beruntun. Anaknya yang baru berusia 2,5 tahun meninggal dunia lalu disusul suaminya 3 bulan kemudian. Kesedihannya semakin bertambah saat ayahnya mencari selir-selir baru.[1]
Awal Karier
[sunting | sunting sumber]Muak akan kehidupan feodal priyayi dan praktik perseliran di dalam kompleks rumahnya sendiri Srimulat bertekad minggat. Suatu malam ia memutuskan kabur dari rumah. Berbekal uang 3,5 sen ia pergi ke Surakarta lalu ke Yogyakarta. Ia melamar kerja ke dalang Ki Tjermosugondo yang sedang kondang. Setahun kemudian, Srimulat bergabung dengan Ketoprak Candra Ndedari pimpinan Ki Retsotruno yang kebetulan sedang pentas di Alun-alun Utara.[1]
RA Srimulat mengawali kiprahnya sebagai pemain rombongan ketoprak Mardi Utomo di Magelang dan Rido Carito. Ketenarannya menembus baik lapisan atas maupun bawah masyarakat. Srimulat tak segan menari bersama penari-penari lokal di sejumlah daerah membawakan tari-tarian daerah yang tak begitu dikenal. Ia juga bersedia diundang dalam acara tradisional penebangan pohon-pohon jati tua di sebuah desa di Blora, Jawa Tengah.[1]
Srimulat pindah ke panggung Wayang Orang Ngesthi Rahayu yang dipimpin Nyi Murtiasih dari Jawa Timur. Kebetulan suami Murtiasih punya grup orkes yang sering tampil di pesta perkawinan. Srimulat pun diminta bernyanyi dengan iringan musik irama keroncong dan Hawaiian. Sewaktu digelar pasar malam di Magelang, ia berjuampa dengan Mannoek, bos penyelenggara pasar malam. Ia pun berkelana dari kota ke kota mengisi panggung hiburan pasar malam. Dalam waktu singkat Srimulat, anak priyayi dan gadis pingitan itu, menjelma menjadi perempuan yang mandiri. "Ia menentang arus saat itu, menolak menjadi Raden Ayu dan memilih menjadi sri mahapanggung atau ratu panggung," ujar Arswendo.[1]
Membela Nyai Mas Sulandjari
[sunting | sunting sumber]Pendiriannya yang keras membuatnya membela mati-matian seorang pesinden bernama Nyai Mas Sulandjari yang berhasil memenangkan lomba kontes batik di Pasar Malam Amal Yogyakarta pada 1938. Kemenangan Sulandjari itu diprotes keras para bangsawan Yogyakarta dan Surakarta. Apalagi Sulandjari berhasil mengalahkan putri-putri ningrat. Mendengar Sulandjari dihina, Srimulat melawan para bangsawan itu. Melalui wawancara dengan mingguan Darmo Kondho dan Penjebar Semangat, Srimulat menyatakan dukungannya kepada Sulandjari sembari mengkritik keras para kaum ningrat. "Siapa yang lebih berhak memberikan penilaian dalam kontes semacam itu?," tanyanya sinis seperti yang dikutip Herry Gendut Janarto dalam bukunya, Teguh Srimulat: Berpacu dalam Komedi dan Melodi".[1]
Di sisi lain, Srimulat pernah dikontrak untuk masuk dapur rekaman oleh perusahaan piringan hitam Burung Kenari, Columbia, dan His Master's. Suara merdunya yang melantunkan lagu Kopi Susu, Padi Bunting, Janger Bali, dan sebagainya. Saat itu hanya kaum berpunya saja yang memiliki gramofon untuk memutar piringan hitam. Budayawan Arswendo Atmowiloto menggambarkan Srimulat sebagai seorang penampil yang meletakkan dasar-dasar seorang artis modern. "Sikapnya terbuka pada segala jenis tarian. Ia turun ke pelosok, ke pusat keramaian membawakan secara live lagu yang sedang ngetop."[1]
Di pentas wayang orang ia tampil di kelompok Srikuncoro. Selain itu, ia juga pernah membintangi film Sapu Tangan (1949), Bintang Surabaja (1951), Putri Sala (1953), Sebatang Kara (1954) dan Radja Karet dari Singapura (1956).
Berkenalan dengan Teguh Srimulat
[sunting | sunting sumber]Sukses di panggung, Srimulat kurang berhasil dalam berumahtangga. Tiga kali pernikahannya selalu kandas. Pada tahun 1947 di Purwodadi, Grobogan,Srimulat satu panggung dengan Orkes Keroncong Bunga Mawar dari Solo. Gitaris orkes tersebut bernama Kho Tjien Tiong (dikenal dengan Teguh Slamet Rahardjo). Kedua saling terpikat. Sehabis pentas di Purwodadi mereka resmi berpacaran.[1] Usia mereka terpaut jauh. Teguh jejaka berusia 21 tahun sementara Srimulat berusia 39 tahun.
Pada tanggal 8 Agustus 1950, RA Srimulat menikah dengan Teguh Slamet Rahardjo (Kho Djien Tiong) yang berusia 24 tahun. Pada saat yang sama dibentuk rombongan kesenian keliling bernama Gema Malam Srimulat. Gema Malam Srimulat adalah sebuah kelompok kesenian yang menyuguhkan gabungan antara lawak dan nyanyi terutama lagu-lagu langgam Jawa dan keroncong. Penyanyinya waktu itu antara lain Kusdiarti, Suhartati, Ribut Rawit, Maleha, Rumiyati dan Srimulat sendiri sedangkan Teguh menjadi pemain gitar dan biola. Sebelum memasuki tahun 1957, Gema Malam Srimulat berganti nama menjadi Srimulat Review. Memasuki 1957 namanya berubah lagi menjadi Aneka Ria Srimulat.
Sekitar G 30 S
[sunting | sunting sumber]Salah satu momen bersejarah bagi Srimulat dan Teguh adalah keputusan mereka pindah ke Surabaya dari Surakarta sekitar Peristiwa G 30 S. Suatu malam pada 1965, tak lama sebelum geger 30 September, Srimulat berbisik di telinga Teguh Slamet Rahardjo, suaminya. “Sebentar lagi bakal ada ontran-ontran. Pak Jenderal meminta kita untuk berhati-hati. Sebaiknya kita tidak pulang dulu ke Solo untuk waktu cukup lama,” kata Srimulat, dikutip Sony Set dan Agung Pewe dalam bukunya, Srimulat: Aneh yang Lucu! Saat itu Srimulat sudah dua tahun hijrah dari Solo ke Surabaya. Tak cuma para pelawak dan awak Srimulat yang boyongan ke Surabaya, tapi juga berikut semua anggota keluarganya. Boyongan Srimulat besar-besaran ini juga merupakan ide dari Srimulat. Melihat situasi politik di Solo makin panas, Srimulat merasa kelompok mereka harus pindah.[1] “Situasi negara sedang gonjang-ganjing. Sebaiknya seluruh anak panggung dan artis kita pindah ke Surabaya,” Srimulat menyampaikan usulnya ke Teguh. Teguh tentu saja kaget bukan kepalang mendengar ide istrinya. Memindahkan belasan orang saja sudah sulit, apalagi memindahkan puluhan anggota Srimulat. Tapi Srimulat terus meyakinkan Teguh. “Jika mereka tak pindah ke Surabaya, aku takut mereka akan jadi korban.”
Ketika itu, gesekan antara kelompok-kelompok ‘kiri’ dengan lawan-lawan politiknya makin sering terjadi. Masing-masing kelompok berusaha menarik sebanyak mungkin pendukungnya ke kubunya. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang punya hubungan dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) terus mendesak mereka agar bergabung dengan Lekra. Srimulat dan Teguh yang memang tak tertarik dengan politik tidak mau terseret dalam perkubuan itu.
Untuk melindungi grup Srimulat, mereka mencari perlindungan ke militer. Kebetulan Srimulat memang dekat dengan sejumlah perwira militer. Kedekatan yang kadang bikin Teguh sendiri tak habis pikir. Kedekatan Srimulat dengan para perwira itu pula yang membuat pertunjukan grup Srimulat pada masa-masa tegang itu sering dijaga tentara.Hijrah Srimulat ke Surabaya itu lah yang menyelamatkan kelompok itu.
Srimulat meninggal dunia pada tahun 1968. Sepeninggal dirinya, Aneka Ria Srimulat dilanjutkan oleh Teguh dengan berfokus sebagai grup lawak.