Rekonstruksi linguistik
Rekonstruksi bahasa adalah metode untuk mengadakan pemulihan (rekonstruksi) baik fonem-fonem purba (proto) maupun morfem-morfem proto dari suatu kelompok bahasa berkerabat, yang dianggap pernah ada dalam bahasa-bahasa purba dan sama sekali tidak memiliki naskah-naskah tertulis.[1] Teknik rekonstruksi merupakan suatu teknik pra-sejarah bahasa karena rekonstruksi fonemis maupun morfemis hanya menyangkut bahasa-bahasa yang tidak memiliki naskah-naskah tertulis. Sebaliknya, bahasa-bahasa yang memiliki naskah-naskah tua tidak perlu lagi diadakan rekonstruksi karena bentuk tuanya sudah diketahui dari naskah-naskah tertulisnya. Rekonstruksi bahasa dilakukan dengan tujuan menemukan bahasa induk berdasarkan bahasa-bahasa serumpun yang masih hidup sekarang. Rekonstruksi dapat dilakukan berdasarkan unsur fonologi, morfologi, dan sintaksis.[2]
Rekonstruksi bahasa terbagi menjadi dua jenis, yaitu rekonstruksi luar dan rekonstruksi dalam. Rekonstruksi luar merupakan rekonstruksi yang dilakukan terhadap dua bahasa kerabat atau lebih untuk menemukan bentuk-bentuk protonya. Rekonstruksi dalam (internal reconstruction atau rekonstruksi internal) merupakan rekonstruksi yang dilakukan dalam satu bahasa untuk mendapatkan bentuk-bentuk tuanya.[1]
Teknik rekonstruksi fonem
[sunting | sunting sumber]Teknik rekonstruksi fonemis dilakukan dengan mengadakan perbandingan pasangan-pasangan kata dalam pelbagai bahasa kerabat dengan menemukan korespondensi fonemis (phonemic correspondence atau kesepadanan bunyi) dari tiap fonem yang membentuk kata-kata kerabat tersebut. Dengan menemukan korespondensi fonemis, dapat diperkirakan fonem proto mana yang kiranya menurunkan fonem-fonem yang berkorespondensi tersebut. Bagi tiap perangkat korespondensi, digunakan etiket pengenal untuk memudahkan referensi. Etiket pengenal adalah fonem proto yang dianggap menurunkan perangkat korespondensi dalam bahasa-bahasa kerabat. Fonem ini biasanya diberi tanda asterik (tanda bintang *). Untuk menentukan fonem proto yang menurunkan satu perangkat korespondensi dalam bahasa kerabat tersebut, perlu diperhatikan faktor berikut.[1]
- Sebuah fonem yang distribusinya paling banyak dalam sebuah bahasa kerabat merupakan pantulan linear dari fonem proto.
- Fonem yang ditetapkan dalam butir pertama di atas harus didukung pula dengan distribusi geografisnya yang luas atau fonem itu terdapat dalam banyak daerah bahasa.
- Fonem proto yang ditetapkan dengan ketentuan butir pertama dan kedua hanya boleh menurunkan satu perangkat korespondensi fonemis.
Rekonstruksi morfemis
[sunting | sunting sumber]Tingkat rekonstruksi yang lain adalah rekonstruksi morfemis (antarbahasa kerabat), yang mencakup pula rekonstruksi atas alomorf-alomorf (rekonstruksi untuk menetapkan bentuk tua dalam satu bahasa). Apabila telah melakukan rekonstruksi fonemis, maka diperoleh hal berikut.
- Rekonstruksi fonem proto yang memantulkan atau menurunkan fonem-fonem dalam bahasa-bahasa kerabat sekarang.
- Dengan memulihkan semua fonem bahasa-bahasa kerabat sekarang sebagai pantulan linear dalam pasangan kata-katanya ke suatu fonem proto, maka sudah berhasil pula dilakukan rekonstruksi morfemis (kata dasar atau bentuk terikat), yaitu menetapkan suatu morfem proto yang diperkirakan menurunkan morfem-morfem dalam bahasa-bahasa kerabat sekarang. Sama halnya dengan fonem proto, maka morfem proto biasanya ditandai dengan tanda asterik (*) di depannya.
Rekonstruksi dalam
[sunting | sunting sumber]Rekonstruksi dalam atau rekonstruksi internal adalah suatu metode pemulihan suatu bahasa pada tahap perkembangan tertentu pada masa lampau, dengan tidak mempergunakan bahan-bahan dari bahasa lain, tetapi hanya menggunakan data-data dari bahasa itu sendiri. Beberapa peristiwa dalam sejarah suatu bahasa meninggalkan data-data atau bekas-bekas tertentu sehingga dengan mempergunakan data-data tersebut dapat diturunkan kesimpulan tertentu tentang suatu keadaan pada masa sebelumnya. Rekonstruksi dalam dilakukan melalui:[1]
Adanya alomorf
[sunting | sunting sumber]Dalam bahasa Indonesia, kita menjumpai kata kerja, seperti berjalan, belajar, berdiri, bekerja, bercukur, berhias. Di samping itu, terdapat pula bentuk-bentuk, seperti terjadi, terlarang, terlihat, terlanjur, tertikam. Dalam analisis linguistik deskriptif, bentuk-bentuk tersebut memiliki morfem dasar jalan, ajar, diri, kerja, cukur, hias; jadi, larang, lihat, anjur, tikam. Bentuk tersebut juga memiliki morfem terikat, yaitu ber-, be-, bel-; ter-, te-, tel-. Ada kaidah yang menyatakan bahwa terdapat satu morfem untuk variasi bentuk-bentuk tersebut, sedangkan ketiga bentuk dari setiap satuan (ber-, be-, bel-; ter-, te-, tel-) disebut sebagai alomorf. Dalam linguistik historis, kita mempersoalkan bentuk dasar bahasa-bahasa yang ada dewasa ini kepada bahasa-bahasa purba (bahasa-bahasa proto) atau bahasa-bahasa yang menurunkan bahasa-bahasa kontemporer. Apakah bentuknya pada masa lampau itu ber-, atau be-, atau bel-; apakah bentuk dasarnya adalah ter-, atau e-, atau tel-. Sesuai dengan prinsip rekonstruksi morfemis melalui rekonstruksi fonemis, kita dapat menentukan bentuk morfem-morfem terikat itu pada masa lampau. Berdasarkan prinsip kesederhanaan dan penghematan serta melihat distribusi setiap alomorf, maka dapat disimpulkan bahwa bentuk proto alomorf-alomorf di atas adalah */bər/ dan */tər/.
Netralisasi
[sunting | sunting sumber]Dalam bahasa Indonesia, terdapat konsonan /b/ pada posisi akhir, seperti dalam kata lembab, sebab, sabtu yang diucapkan dengan /p/ menjadi /ləmbap/, /səbap/, /saptu/. Dalam segmen yang lebih panjang, seperti kelembaban, fonem /b/ dapat ducapkan dengan /kələmbaban/ atau /kələmbapan/. Hal serupa juga terjadi dalam bahasa Jerman Modern. Keenam konsonan /p/, /t/, /k/, /b/,/d/, dan /g/ dapat muncul dalam posisi awal dan tengah, tetapi dalam posisi akhir hanya ada /p/, /t/, /k/. Misal: tawben 'tuli' menjadi tawp; to.de 'kematian' menjadi to.t; tages 'hari' menjadi ta.k. Biasanya dikatakan bahwa konsonan /b/, /d/, /g/ secara deskriptif mengalami proses netralisasi pada posisi akhir dan diganti dengan konsonan /p/, /t/, /k/. Kenyataan ini memberi peluang untuk menarik kesimpulan lebih jauh bahwa secara historis dalam bahasa Jerman yang lebih tua, konsonan /b/, /d/ dan /g/ harus muncul juga pada proses akhir.
Reduplikasi
[sunting | sunting sumber]Reduplikasi merupakan peristiwa atau gejala lain dalam bahasa yang dapat digunakan untuk mengadakan rekonstruksi dalam. Dalam bahasa Sanskerta, Yunani, dan Latin, misalnya terdapat reduplikasi pada prefek kata kerja:
Sanskerta: da - dau 'saya telah memberi'
Yunani: de - do - ka 'saya telah memberi'
Latin: de - di 'saya telah memberi'
Dapat dijelaskan bahwa dalam bahasa Yunani dan Latin, vokal /o/ dan /i/ dilemahkan menjadi /e/, sedangkan dalam bahasa Sanskerta vokal /a/ dipertahankan. Dapat disimpulkan bahwa bentuk rekonstruksinya dalam bahasa Yunani dan Latin adalah *do - do - ka dan *di - di.
Dalam bahasa-bahasa Austronesia juga terdapat peristiwa bahasa yang sama. Dalam bahasa ini terdapat juga bentuk-bentuk reduplikasi pada suku kata awal, seperti pada kata tangga - tetangga, laki - lelaki, luhur - leluhur. Dalam bahasa Melayu (dan Indonesia), reduplikasi ini melemahkan vokal pada suku kata awal sehingga menjadi /ə/. Hal ini terjadi sebagai akibat dari tekanan kata yang ditempatkan pada suku kedua dari akhir. Dengan demikian, rekonstruksi untuk kata-kata tersebut adalah *ta - tangga, *la - laki, *lu - luhur. Jadi, vokal manapun yang muncul, selalu dilemahkan menjadi /ə/. Dalam bahasa Sunda, reduplikasi ini melemahkan vokal ada suku kata pertama menjadi /a/, seperti pada tatangga, lalaki, lalumpatan 'melompat', papisah 'berpisah', nanaonan - naon 'apa-apaan - apa'.
Penerapan rekonstruksi
[sunting | sunting sumber]Mengadakan rekonstruksi (fonemis dan morfemis) pada prinsipnya merupakan usaha untuk menelusuri jejak perpisahan antara bahasa dewasa ini kepada bahasa purba. Kata 'babi' dalam beberapa bahasa Nusantara adalah sebagai berikut.[1]
- Melayu: babi
- Batak: babi
- Jawa: babi
- Bali: bawi
- Dayak: bawoi
- Ma'anyan: wawui
- Favorlang: babu
- Ibanag: babuy
- Tagalog: babuy
- Sangir: bawi
- Tombulu: wawi
- Bugis: bawi
- Sumbawa: wawi
- Bima: wawi
- Buru: wavu
- Sula: vavi
- Lamalera: fafe
- Timor: vavi
- Roti: bavi
Langkah pertama yang mesti dilakukan adalah mengadakan pengelompokan bentuk-bentuk yang identik. Dari sembilan belas bahasa yang diambil, terdapat pengelompokkan berikut.
- babi terdapat dalam 3 bahasa;
- bawi terdapat dalam 3 bahasa;
- wawi terdapat dalam 3 bahasa;
- babuy terdapat dalam 2 bahasa;
- vavi terdapat dalam 2 bahasa;
- bavi, bawoi, wawui, babu, wavu, dan fafe masing-masing satu bahasa.
Dari data tersebut, didapatkan sejumlah korespondensi fonemis antara /b - w - f - v/ antara /a - a - a - a/ dan antara /i - oi - ui - uy - u - e/. Sekurang-kurangnya ada sebelas bentuk kerabat untuk kata 'babi'. Selanjutnya, diadakan pengelompokan bagi kata-kata yang mirip. Dengan demikian rekonstruksinya adalah sebagai berikut.
Tahap 1
[sunting | sunting sumber]Kata babi dan bavi merupakan pantulan dari *babi;
Kata fafe dan vave dipantulkan dari kata *vavi;
Kata babu dan babuy merupakan pantulan dari *babu;
Kata wawuy dan baway dipantulkan dari kata *wawuy;
Kata wawi dan bawi dipantulkan dari kata *wawi;
Kata wawu diturunkan secara linear dari *wavu.
Tahap 2
[sunting | sunting sumber]Kata *vavi dan *babi diturunkan dari kata tua *vavi;
Kata *babu, *wawuy, dan *wavu diturunkan dari *wawu;
Kata *wawi diturunkan secara linear dari kata *wawi.
Tahap 3
[sunting | sunting sumber]Kata *vavi diturunka dari kata tua *vavi;
Kata *wawu dan *wawi diturunkan dari kata tua *wawi.
Tahap 4
[sunting | sunting sumber]Tahap keempat dan terakhir adalah merekonstruksi bentuk *vavi dan *wawi sebagai diturunkan dari bentuk proto *vavi.
Hasil dari seluruh rekonstruksi yang dilakukan di atas menyatakan bahwa bentuk proto yang menurunkan kesembilan belas bentuk kerabat dewasa ini adalah bentuk *vavi.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e 1936-, Keraf, Gorys, (1991). Linguistik bandingan historis. Gramedia. OCLC 965118582.
- ^ Krisanjaya. "Linguistik Bandingan".