Lompat ke isi

Gerakan mahasiswa di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Gerakan mahasiswa adalah kegiatan di dalam maupun di luar kampus, untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis.

Dalam sejarah bangsa, gerakan mahasiswa sering menjadi cikal bakal perjuangan nasional. Pada tahun 1987 diadakan aksi gerakan mahasiswa pertama di Institut Seni Indonesia dengan mengatasnamakan FKMY (Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta) untuk menghadang Mendikbud Fuad Hasan saat membuka Pameran Purna Tugas mengajar Widayat. Adapun tuntutan mahasiswa adalah dicabutnya NKK/BKK.[1]

FKMY adalah gabungan dari berbagai mahasiswa mulai dari ISI, UMY, Janabadra, UGM, UII dan IAIN Sunan Kalijaga. Gerakan itu menjadi tonggak ketika kasus tanah parah bener menjadi perekat aktivis di berbagai daerah. Sehingga pada ahun 1993 aksi FAMI (Front Aksi Mahasiswa Indonesia dengan spanduk "Seret Presiden Ke Sidang Istimewa" kemudian ditangkap 21 Mahasiswa kupu kupu malam dengan masa kurungan 9 bulan - 3 tahun.

Gerakan Mahasiswa sejatinya adalah gerakan yang murni atas keberpihakan mahasiswa terhadap rakyat untuk melawan kezaliman oligarki dan merupakan sebuah gerakan idealis terhadap kaum pemerintahan.


Mahasiswa dan Kritik Pada Masa Orde Baru

Pada masa awal Orde Baru, hubungan antara mahasiswa Pasa militer dapat dikatakan harmonis. Mahasiswa kembali ke kampus dan memantau perkembangan yang terjadi sambil merasa bahwa mereka telah menyelesaikan tugas mereka, memberikan kesempatan bagi pemerintah yang baru untuk bekerja. Pada saat itu, gerakan mahasiswa masih memiliki kebebasan yang relatif besar. Militer mulai mengambil alih kekuasaan dan melakukan konsolidasi dengan melakukan pembersihan elemen-elemen “kiri” (komunis) yang tersisa serta memperbaiki kondisi negara yang kacau akibat warisan Orde Lama.

Tantangan utama yang dihadapi Orde Baru adalah menstabilkan keadaan dan memperbaiki ekonomi yang rusak. Rezim Orde Baru mengambil berbagai langkah strategis untuk merestrukturisasi berbagai bidang. Di ranah politik, mereka memulai proses depolitisasi dengan membatasi jumlah partai politik, menerapkan politik massa mengambang, mengesahkan undang-undang politik dan pemilu, menetapkan monoloyalitas bagi pegawai negeri, serta melakukan berbagai tindakan kooptasi lainnya. Sementara di sektor ekonomi, pemerintah membuka keran investasi asing, menerima bantuan luar negeri, dan menerapkan pendekatan ekonomi yang lebih liberal serta pro-Barat (Mas’oed 1986).

Langkah-langkah ini perlahan-lahan mengintegrasikan ekonomi Indonesia ke dalam sistem ekonomi internasional yang bercorak kapitalisme liberal. Kebijakan ekonomi ini diarahkan untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi, yang diharapkan akan membuka peluang baru guna menyerap tenaga kerja produktif yang melimpah. Dalam pelaksanaannya, pemerintah Orde Baru mengedepankan pembangunan yang memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa terganggu oleh hiruk pikuk politik. Namun, kebijakan ini juga mulai menunjukkan dampak negatif, seperti ketimpangan ekonomi, kemiskinan, ketergantungan pada pihak asing, korupsi birokrasi, serta pengabaian terhadap hak-hak politik warga negara (Glassburner 1978: 137-170).[2]

Pada awal 1970-an, mahasiswa mulai menyuarakan kritik terhadap Orde Baru karena dianggap menyimpang dari tujuan awal, seperti kurangnya transparansi pemerintah dalam menangani korupsi. Tuntutan perbaikan yang disuarakan mahasiswa awalnya bersifat terbatas dan ditujukan untuk memberi peringatan pada pemerintah. Dalam upaya meredam protes, pemerintah mendirikan Komisi Empat Anti Korupsi serta menyusun Rancangan Undang-Undang Anti Korupsi.[2]

Namun, upaya pemerintah tidak membuahkan hasil; korupsi dan ketimpangan tetap berlanjut. Mahasiswa kemudian memperkuat kritik, khususnya terhadap proyek-proyek pemerintah yang dianggap menghamburkan uang, seperti Taman Mini Indonesia Indah, serta mengkritik legitimasi Orde Baru. Hal ini mengakibatkan hubungan yang renggang antara mahasiswa dan militer.

Pada 1974, protes memuncak dalam "Peristiwa Malari," yang memicu penahanan tokoh mahasiswa. Pemerintah kemudian membatasi aktivitas politik di kampus melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 028/U/1974. Meski represi meningkat, protes mahasiswa tetap terjadi, terutama menjelang pemilu 1977, yang diwarnai isu krisis dan ketidakadilan politik.[2]

Pada 1978, gerakan mahasiswa mencapai puncaknya dengan aksi protes besar, yang ditindas pemerintah melalui kebijakan represif, termasuk pembekuan Dewan Mahasiswa dan pembatasan pers kampus. Konsep NKK/BKK diperkenalkan untuk mengembalikan kampus menjadi tempat belajar tanpa keterlibatan politik. Akibatnya, gerakan mahasiswa mengalami tekanan kuat, dan kampus semakin diatur oleh kepentingan negara, membatasi ruang gerak aktivisme mahasiswa dan dosen.[1]



Boedi Oetomo, adalah wadah perjuangan .yang didirikan di Jakarta pada 20 Mei 1908 , oleh para pemuda dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual.

kongres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan: Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.

Dalam 5 tahun permulaan Budi Oetomo sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota.

Disamping itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam mendirikan Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.

Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU. Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.

Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia: generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.

Pertengahan tahun 1923, para mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging kembali ke tanah air. karena Kecewa dengan perkembangan perjuangan di Indonesia, oleh sebab itu, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.

Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.

Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Kongres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.

Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).

Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.

Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.

Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamasikan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.

Sejak kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, di antaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.

Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi dibawah partai-partai politik. Misalnya, GMKI Gerakan Mahasiswa kristen Indonesia, PMKRI Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia dengan Partai Katholik,Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Kesatuan Mahasiswa Islam (KMI) berafiliasi dengan Partai Islam PERTI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dekat dengan Masyumi, dan lain-lain.

Di antara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan jauh lebih berusaha memengaruhi PPMI, kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI dan, terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Kongres V tahun 1961.

Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.

Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.

Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI,Akbar Tanjung dari HMI dll. Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru.

Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.

Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktik kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:

Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.

Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.

Berbagai pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.

Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan.

Di tahun 1972, mahasiswa yang bernama aji uga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.

Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai salah satu tuntutan "Tritura Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.

1977–1978

[sunting | sunting sumber]

Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.

Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakikat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.

Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.

Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.

Gerakan bersifat nasional namun tertutup dalam kampus, Oktober 1977

[sunting | sunting sumber]

Gerakan mahasiswa tahun 1977/1978 ini tidak hanya berporos di Jakarta dan Bandung saja namun meluas secara nasional meliputi kampus-kampus di kota Surabaya, Medan, Bogor, Ujungpandang (sekarang Makassar), dan Palembang. [3] 28 Oktober 1977, delapan ribu anak muda menyemut di depan kampus ITB. Mereka berikrar satu suara, "Turunkan Suharto!". Besoknya, semua yang berteriak, raib ditelan terali besi. Kampus segera berstatus darurat perang. Namun, sekejap kembali tenteram.[4]

Peringatan Hari Pahlawan 10 November 1977, berkumpulnya mahasiswa kembali

[sunting | sunting sumber]

10 November 1977, di Surabaya dipenuhi tiga ribu jiwa muda. Setelah peristiwa di ITB pada Oktober 1977, giliran Kampus ITS Baliwerti beraksi. Dengan semangat pahlawan, berbagai pimpinan mahasiswa se-Jawa hadir memperingati hari Pahlawan 1977. Seribu mahasiswa berkumpul, kemudian berjalan kaki dari Baliwerti menuju Tugu Pahlawan.

Sejak pertemuan 28 Oktober di Bandung, ITS didaulat menjadi pusat konsentrasi gerakan di front timur. Hari pahlawan dianggap cocok membangkitkan nurani yang hilang. Kemudian disepakati pusat pertemuan nasional pimpinan mahasiswa di Surabaya.

Sementara di kota-kota lain, peringatan hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki lima kilometer dari Rawamangun (kampus IKIP) menuju Salemba (kampus UI), membentangkan spanduk,"Padamu Pahlawan Kami Mengadu". Juga dengan pengawalan ketat tentara.

Acara hari itu, berwarna sajak puisi serta hentak orasi. Suasana haru-biru, mulai membuat gerah. Beberapa batalyon tempur sudah ditempatkan mengitari kampus-kampus Surabaya. Sepanjang jalan ditutup, mahasiswa tak boleh merapat pada rakyat. Aksi mereka dibungkam dengan cerdik.

Konsolidasi berlangsung terus. Tuntutan agar Soeharto turun masih menggema jelas, menggegerkan semua pihak. Banyak korban akhirnya jatuh. Termasuk media-media nasional yang ikut mengabarkan, dibubarkan paksa.

Pimpinan Dewan Mahasiswa (DM) ITS rutin berkontribusi pada tiap pernyataan sikap secara nasional. Senat mahasiswa fakultas tak henti mendorong dinamisasi ini. Mereka bergerak satu suara. Termasuk mendukung Ikrar Mahasiswa 1977. Isinya hanya tiga poin namun berarti. "Kembali pada Pancasila dan UUD 45, meminta pertanggungjawaban presiden, dan bersumpah setia bersama rakyat menegakan kebenaran dan keadilan".[4]

Peringatan Tritura 10 Januari 1978, dihentikannya gerakan oleh penguasa

[sunting | sunting sumber]

Peringatan 12 tahun Tritura, 10 Januari 1978, peringatan 12 tahun Tritura itu jadi awal sekaligus akhir. Penguasa menganggap mahasiswa sudah di luar toleransi. Dimulailah penyebaran benih-benih teror dan pengekangan.

Sejak awal 1978, 200 aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan hanya dikurung, sebagian mereka diintimidasi lewat interogasi. Banyak yang dipaksa mengaku pemberontak negara.

Tentara pun tidak sungkan lagi masuk kampus. Berikutnya, ITB kedatangan pria loreng bersenjata. Rumah rektornya secara misterius ditembaki orang tak dikenal.

Di UI, panser juga masuk kampus. Wajah mereka garang, lembaga pendidikan sudah menjadi medan perang. Kemudian hari, dua rektor kampus besar itu secara semena-mena dicopot dari jabatannya. Alasannya, terlalu melindungi anak didiknya yang keras kepala.

Di ITS, delapan fungsionaris DM masuk "daftar dicari" Detasemen Polisi Militer. Sepulang aksi dari Jakarta, di depan kos mereka sudah ditunggui sekompi tentara. Rektor ITS waktu itu, Prof Mahmud Zaki, ditekan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera membubarkan aksi dan men-drop out para pelakunya. Sikap rektor seragam, sebisa mungkin ia melindungi anak-anaknya.

Beberapa berhasil tertangkap, sisanya bergerilya dari satu rumah ke rumah lain. Dalam proses tersebut, mahasiswa tetap "bergerak". Selama masih ada wajah yang aman dari daftar, mereka tetap konsolidasi, sembunyi-sembunyi. Pergolakan kampus masih panas, walau Para Rektor berusaha menutupi, intelejen masih bisa membaca jelas.[4]

Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut Setelah ada aksi mahasiswa di Yogyakarta yang bernama FKMY (Forum Komunikasi Mahasiswa yogyakarya). Aksi tersebut adalah menuntut pencabutan NKK/BKk di depan mendikbud Fuad Hasan saat membuka pameran purna tugas mengajar seniman Widayat di ISI Yogyakarta. Adapaun FKMY sendiri adalah perwakilan mahasiswa dari ISI, Janabadra, UMY, UGM, UII dan IAIN Sunan Kalijaga. Seperti aksi mahasiswa sebelumnya, aksi ini menjadi pelopor gerakan mahasiswa paska 77/78 yang dimatikan dengan NKK/BKK oleh Mendikbud Daoed Joesoef dan aksi tersebut dikavulkan NKK/BKK dibubarkan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.

Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.

Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa pada tahun 1990-an.

Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.

Pada tahun 1993 ditangkapnya 21 mahasiswa dari berbagai daerah karena melakukan aksi di DPR/MPR dengan spanduk ungu "Seret Soeharto ke Sidang Istimewa" dan 21 Mahasiswa yang mengatasnamaka FAMI (Front Aksi Mahasiswa Indonesia) mendapatkan pidana penjara dari 9 bulan samapai 3 tahun. Disitulah awal gerakan mahasiswa terkonsolidasi dengan baik dan dalam persidanganpun dilalui dengan berbagai aksi mahasiswa secata berturut-turut, sampai aksi penuntutan mahasiswa di gelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah ditangkap beberapa mahasiswa di pagi hari karena melakukan aksi alegorisnya. Mereka di tangkap oleh polres Jakarta Pusat, waktu itu Kasat sersenya Tito Karnavian karena dianggap mengganggu ketertiban. Walaupun akhirnua dilepas setelah mengalami BAP.

Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, meski pada kenyataanya gerakan yang di bangun itu ada juga keterlibatan kelompok buruh, sehingga kekuatan pemberontakan menjadi kuat sehingga pada akhirnya mereka menuntut Presiden Soeharto melepaskan jabatannya.

Zaman BJ Habibie

[sunting | sunting sumber]

Senin, 7 September 1998, di antara 2.000-an mahasiswa beberapa mengacung-acungkan poster. “Habibie turun!” bunyi salah satu poster. “Turunkan harga sembako,” bunyi poster yang lain. Di periode kepemimpinannya pada 1998-1999, BJ Habibie mengambil keputusan kontroversional, yakni Timor Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Zaman Gus Dur

[sunting | sunting sumber]

30 Januari 2001, Pada saat sidang krusial DPR/MPR berlangsung, suasana di luar Gedung DPR/MPR juga belasan ribu orang dari elemen mahasiswa dan masyarakat umum berdemonstrasi di halaman Gedung DPR/MPR. Yang bikin tegang adalah karena itu bukan demonstrasi tunggal—mereka terbelah dalam dua kubu: pro dan anti-Presiden Abdurrahman Wahid.

Zaman Megawati Soekarnoputri

[sunting | sunting sumber]

Bandung : Ribuan mahasiswa sepanjang Senin, 6 Januari 2003 menggelar unjuk rasa di berbagai kota untuk menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak, tarif dasar listrik dan telepon. Mereka menuntut Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz mundur dari jabatannya karena tidak mampu menyelesaikan persoalan bangsa.

Zaman Susilo Bambang Yudhoyono

[sunting | sunting sumber]

Banyak sekali demonstrasi yang terjadi di zaman ini dikarenakan kenaikan harga BBM yang lebih dari 100 persen dan janji-janji kampanye yang saat itu tidak menjadi kenyataan. Demo di zaman ini sudah jelas mewakili suara rakyat, bukan mewakili kaum serakah seperti pada masa sekarang. Salah satu aksi yang masih membekas di dalam ingatan adalah ketika para pengunjuk rasa turut membawa seekor kerbau. Tak hanya itu, tubuh hewan tersebut juga ditulisi kata Si BuYa dengan menggunakan cat putih. Singkatan SBY diubah, menjadi "Semakin Bubrah Yo", "Sengsara Banget Yo", "Sumber Bencana Yogya", dsb.

Zaman Joko Widodo

[sunting | sunting sumber]

Demo pada masa sekarang masih sesuai dengan tuntutan nurani rakyat dan mahasiswa, dikarenakan beberapa gerakan mahasiswa kontra dengan Jokowi karena PDIP.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Maiwan, Mohammad (2014). "GERAKAN MAHASISWA DI INDONESIA DALAM BINGKAI KEKUASAAN ORDE BARU (1966-1998)". Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi. 
  2. ^ a b c Muzakar, Abdullah (2018). Gerakan Mahasiswa Dalam Perspektif Karl Marx (PDF). Lombok: Perpustakaan Nasional RI. 
  3. ^ TEMPO Interaktif 12 Februari 2001:Gerakan Mahasiswa yang Antiklimaks Diarsipkan 2011-05-24 di Wayback Machine. Diakses pada 20 April 2011
  4. ^ a b c Situs ITS:Baliwerti, Oktober 1977 Diarsipkan 2023-06-07 di Wayback Machine. Diakses pada 20 April 2011

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]