Subkultur anak muda
Subkultur anak muda adalah subkultur yang berbasis pada anak muda dengan gaya, perilaku, dan minat yang berbeda-beda. Subkultur anak muda menawarkan kepada para pesertanya suatu identitas di luar identitas yang ditetapkan oleh lembaga sosial seperti keluarga, pekerjaan, rumah, dan sekolah . Subkultur anak muda yang menunjukkan permusuhan sistematis terhadap budaya dominan terkadang digambarkan sebagai budaya tandingan (countercultures).[1][2]
Genre musik anak muda dikaitkan dengan banyak subkultur anak muda, seperti hip-hop, punk, emo, raver, juggalo, metalhead, dan goth.[3] Studi tentang subkultur sering kali terdiri dari studi tentang simbolisme yang melekat pada pakaian, musik, dan bentuk-bentuk afeksi lain yang tampak oleh anggota subkultur, dan juga, cara simbol-simbol tersebut diinterpretasikan oleh anggota budaya dominan.[4]
Kelas sosial ekonomi, gender, kecerdasan, konformitas, moralitas, dan etnisitas, dapat menjadi penting dalam kaitannya dengan subkultur anak muda. Subkultur anak muda dapat didefinisikan sebagai sistem, cara berekspresi, atau gaya hidup yang dikembangkan oleh kelompok yang berada pada posisi struktural bawahan (subordinate) sebagai respons terhadap sistem dominan, yang mencerminkan upaya mereka untuk memecahkan kontradiksi struktural yang muncul dari konteks masyarakat yang lebih luas.[5]
Istilah "scene" (skena) dapat merujuk pada suatu subkultur atau fraksi yang eksklusif. Scene dibedakan dari budaya yang lebih luas melalui mode busana; identifikasi dengan genre musik tertentu (kadang-kadang tidak jelas atau eksperimental) atau perspektif politik; dan mentalitas kelompok atau kesukuan yang kuat.[6] Istilah ini dapat digunakan untuk menggambarkan subset geografis suatu subkultur, seperti "skena drum and bass" Detroit atau "skena goth London".
Teori
[sunting | sunting sumber]Studi awal mengenai budaya anak muda sebagian besar dilakukan oleh sosiolog fungsionalis dan berfokus pada anak muda sebagai satu bentuk budaya. Dalam menjelaskan perkembangan kebudayaan, mereka memanfaatkan konsep anomi. Generalisasi yang terlibat dalam teori ini mengabaikan keberadaan subkultur.[7]
Teori-teori Marxis memperhitungkan sejumlah keberagaman karena teori-teori tersebut berfokus pada kelas-kelas dan fraksi-fraksi kelas, bukan pada anak muda-susecara keseluruhan. Stuart Hall dan Tony Jefferson menggambarkan subkultur anak muda sebagai usaha simbolik atau ritualistik untuk melawan kekuatan hegemoni borjuis dengan secara sadar mengadopsi perilaku yang tampak mengancam bagi lembaga yang berkuasa.[8] Sebaliknya, kaum Marxis dari Sekolah Studi Sosial Frankfurt berpendapat bahwa budaya anak muda pada hakikatnya bersifat konsumerisme dan merupakan bagian dari strategi kapitalisme yang mengadu domba dan menghancurkan.[9] Mereka berpendapat bahwa hal itu menciptakan kesenjangan generasi dan mengadu domba kelompok anak muda (misalnya mods dan rockers), terutama karena budaya anak muda merupakan budaya dominan di Dunia Barat.
Teori interaksionis Stan Cohen berpendapat bahwa subkultur anak muda bukanlah pengelompokan sosial koheren yang muncul secara spontan sebagai reaksi terhadap kekuatan sosial, namun pelabelan media massa menghasilkan terciptanya subkultur anak muda dengan memaksakan kerangka ideologis di mana orang dapat menempatkan perilaku mereka.[10] Teori subkultur pasca-strukturalis memanfaatkan banyak ide dari teori-teori lain, termasuk hegemoni dan peran media. Dalam bukunya, Subculture: The Meaning of Style, Dick Hebdige mendefinisikan subkultur sebagai reaksi kelompok tersubordinasi yang menantang hegemoni budaya dominan.[11] Teori ini memperhitungkan faktor-faktor seperti jenis kelamin, etnis, dan usia. Anak muda dapat dilihat sebagai kelompok bawahan dalam kaitannya dengan masyarakat dewasa yang dominan.
Ahli teoretis sejarah Steven Mintz mengklaim bahwa hingga sekitar tahun 1955, subkultur anak muda tidak ada. Anak-anak bercita-cita untuk menjadi dewasa (atau didorong untuk menjadi dewasa) secepat kemampuan perkembangan fisik mereka.[12] Marcel Danesi berpendapat bahwa sejak saat itu, media, pengiklan, dan pihak-pihak lain telah menjadikan anak muda sebagai budaya dominan di masyarakat Barat, sampai pada titik di mana banyak orang yang masih mempertahankan sikap-sikap yang dianggap orang lain sebagai sikap-sikap yang tidak dewasa hingga mereka dewasa.[13] Hal ini didukung lebih lanjut oleh P. Lewis, yang menyatakan bahwa budaya anak muda tidak muncul sampai tahun 1950-an, seiring dengan perkembangan rock and roll.[14] Namun, sejarawan lain mengatakan bahwa budaya anak muda mungkin sudah berkembang lebih awal, terutama pada masa antar perang.[15] Ada contoh subkultur anak muda baru yang muncul sepanjang periode itu, seperti flapper.
Subkultur-subkultur juga dapat dilihat sebagai perluasan dari kerumunan (crowds), subkultur yang muncul dalam sekolah tertentu. Kerumunan (crowds) tertentu (atlet, kutu buku, anak sekolah, pecandu narkoba, emo) ditemukan di banyak, bahkan sebagian besar, sekolah menengah atas di seluruh Amerika Serikat, meskipun istilah khusus yang digunakan oleh para remaja di dalamnya mungkin bervariasi (nerds alih-alih geeks, dan sebagainya). Sebagian besar dari kelompok ini juga dapat ditemukan di negara-negara Barat lainnya, kecuali jock—suatu istilah yang merujuk pada stereotip seorang atlet, atau seseorang yang tergila-gila pada olahraga dan budaya olahraga, tetapi tidak terlalu tertarik pada kegiatan intelektual atau aktivitas lainnya (Amerika Serikat tidak lazim dalam hal memiliki afiliasi atletik yang secara khusus berhubungan dengan sekolah, meskipun kelompok afiliasi atletik serupa terdapat di sekolah-sekolah negeri di Inggris.)[16][17]
Lihat juga
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Eglantine, Cornelia Cecilia (June 2012). Google books. International Book Market Service Limited. ISBN 9786136059228.[circular reference]
- ^ "LibreTexts".[pranala nonaktif permanen]
- ^ Huq, Rupa (24 January 2007). Beyond Subculture: Pop, Youth and Identity in a Postcolonial World (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 9781134470655.
- ^ Bennett, Andy (2001). "CULTURES OF POPULAR MUSIC" (PDF). www.mheducation.co.uk/. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 24 August 2014. Diakses tanggal 8 September 2017.
- ^ Brake, Michael (1985) Comparative Youth Culture: The sociology of youth culture and youth subcultures in America, Britain and Canada, Routledge, New York
- ^ Straw, Will (1991). "Systems of Articulation, Logics of Change: Communities and Scenes in Popular Music", Cultural Studies, 5, 3, pp. 273, 368-88
- ^ "Sociology Central" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2023-04-18. Diakses tanggal 2022-09-23.
- ^ Hall, Stuart & Jefferson, Tony. Resistance Through Rituals: Youth Subcultures in Post-war Britain, Routledge, London. 1993
- ^ "Marshall University".
- ^ Cohen, Stan. Folk Devils and Moral Panics, Paladin, London. 1964
- ^ Hebdige, Dick. Subculture: The meaning of style, Menthuen & Co, London. 1979
- ^ Mintz, Steven. Huck's Raft: A History of American Childhood, 2006, ISBN 0-674-01998-9
- ^ Danesi, Marcel. Forever Young: The 'Teen-Aging' of Modern Culture, 2003, ISBN 0-8020-8851-1
- ^ Lewis, P. The Fifties, Heinemann, London. 1978
- ^ Fowler, D. The First Teenagers: The lifestyle of Young Wage Earners in Interwar Britain, The Woburn Press, London. 1995
- ^ Arnett, J. J. (2002). Adolescents in Western countries on the threshold of the 21st century. In B. Brown, R. Larson, & T. Saraswathi (Eds.), ‘’The world’s youth: Adolescence in eight regions of the globe.’’ New York: Cambridge University Press.
- ^ Delsing, M. J. M. H., ter Bogt, Tom F. M., Engles, R. C. M. E., & Meeus, W. H. J. (2007). Adolescents’ peer crowd identification in the Netherlands: Structure and associations with problem behaviors. ‘’Journal of Research on Adolescence, 17,’’ 467-480.