Nini Thowong
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Nini Thowong merupakan permainan tradisional dari Yogyakarta. Permainan ini di daerah lain dikenal pula dengan nama Nini Towok, Nini Edhok, Nini Dhiwut, Cowongan, dan lain sebagainya. Sekilas, boneka Nini Thowong mirip jelangkung, tetapi berbeda dalam hal pakaian yang dikenakan dan cara memainkannya.[1]
Sejarah dan asal usul
[sunting | sunting sumber]Seni spiritual Nini Thowong menurut penduduk setempat berawal dari kesenian sejak zaman Mataram dipimpin oleh Panembahan Senapati. Wilayah Pundong, di mana terdapat Sungai Opak, yang menjadi tempat Panembahan Senapati gemar bertapa di sungai itu. Maka sejak zaman Keraton Mataram berkembang, karya ini telah ada. Nini Towong disebut Tothok Kerot karena memang menggunakan ubarampe yang berupa bathok kelapa (thothok). Tothok juga berarti keras, kuat, dan sakti. Sesuai dengan namanya, maka amat logis jika seni spiritual Nini Thowong berupa permainan yang menggambarkan seorang gadis muda bermuka thowong yang sakti. Towong maksudnya putih sekujur mukanya (Jawa, meblok-meblok). Nini Towong adalah tokoh yang dibuat-buat, seolah-olah hidup, memiliki nyawa, dan berdaya gaib. Nama Nini Towong terkesan menakutkan tetapi juga ada unsur lucunya.[2]
Sejak zaman keraton Mataram berkembang, karya ini telah ada. Kisahnya bermula, ketika Panembahan Senapati sudah usai bertapa di tempuran Sungai Opak dan sungai Oya, beristirahat di daerah Pundong. Di situ dia menjadi peminta-minta, dan secara kebetulan melihat segerombolan anak-anak yang dolanan boneka. Di bulan purnama yang cerah itu, Panembahan Senapati minta minuman pada anak-anak yang dolanan itu, tetapi tidak diberi. Lalu dia pergi, tiba-tiba anak yang bermain tadi bersorak-sorak, karena mainan bonekanya bergerak terus, mengayun-ayun, mengikuti perjalanan Panembahan Senapati menuju ke tepi sungai. Namun, raja besar itu sekejap hilang dari pandangan anak-anak. Sejak itu, boneka jadi-jadian itu tenang lagi. Dari waktu ke waktu, setiap akan bermain boneka yang konon disebut jalangkung itu, anak-anak semakin hati-hati dan ada rasa takut. Atas dasar kejadian itu, orang tua sedikit melarang kalau anak-anaknya bermain boneka malam hari. Apalagi anak-anak selalu menceritakan kejadian yang baru saja dialami. Orang tua mereka justru merespon negatif dengan ucapan: “Engko digondhol nini-nini.” Dalih orang tua agar anaknya tidak digoda makhluk halus. Namun, anak-anak tetap bermain boneka tersebut, dan sampai sekarang ucapan nin-nini itu oleh anak-anak dinamakan Nini Thowong.[2]
Awalnya dia menganggap nini itu sebagai hantu. Namun, lama-kelamaan jadilah hantu ayng menyenangkan, karena bisa diajak komunikasi. Sebagai karya seni yang memuat unsur ritual, seni pertunjukan ini mengemban nilai-nilai spiritual yang amat tinggi. Waktu itu, hadirnya seni spiritual Nini Thowong masih sebagai hiburan belaka. Masyarakat desa yang mulai berkenalan dengan dunia roh awalnya sekadar main-main saja. Mereka bermaksud mencari hiburan dengan cara mengundang roh dalam bentuk orang-orangan yang disebut jalangkung atau jailangkung. Permainan jalangkung digunakan untuk mengekspresikan diri, terutama dalam menanyakan nasib. Ternyata atas dasar keyakinan yang kuat permainan jalangkung itu terkabulkan. Jalangkung semula sekadar boneka mainan, diberi tangan, dipasangi pensil dan kertas. Jalangkung itu ternyata dapat menulis, memenuhi permintaan yang bermain. Biasanya masalah nasib dan berbagai ramalan yang ditanyakan pada jalangkung. Lama-kelamaan jalangkung itu dimodifikasi, dikaitkan dengan mitos dan legenda setempat, hingga mewujudkan keyakinan luas. Atas dasar upaya itu jalangkung merajalela di kalangan anak-anak sampai dewasa. Tampaknya menyikapi hal demikian, pemerintah setempat semakin penuh perhatian.
Berbagai upaya menyegarkan seni jalangkung itu diubah dengan keyakinan masyarakat desa Pundong. Sesepuh desa pun sepakat hendak mewujudkan seni jalangkung menjadi seni spiritual yang disebut Nini Thowong. Seni ini dikaitkan langsung dengan peristiwa tragis yang ada di desa itu.Keanahen kisah mereka tata, sehingga jalangkung tadi diubah wujud menjadi seni spiritual Nini Thowong. Nini Thowong sekarang sudah menjadi seni tradisi yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat. Perkembangan keyakinan (kepercayaan) orang Jawa asli memang tidak lepas dari kekuatan roh. Dunia roh diyakini oleh orang Jawa memiliki kekuatan magis. Kekuatan ini dipercaya dapat membantu dan sebaliknya dapat merusak kehidupan manusia. Roh-roh manusia yang berasal dari orang yang meninggal tidak wajar biasanya yang amat berbahaya. Jika roh tersebut terkait dengan orang penting (cikal bakal) desa, biasanya dianggpa memiliki kekuatan luar biasa. Dalam kaitan itu, Nini Thowong termasuk kategori seni spiritual yang memuja roh. Roh dianggap memiliki kekuatan di atas manusia yang suatu saat bisa membantu hidup manusia. Seni spiritual Nini Thowong disebut juga Thothokkerot (Endraswara, 2004:172).[2]
Thothokkerot adalah sejenis hantu pujaan. Dikatakan sebagai hantu sebab merepresentasikan dunia roh yang bagi orang Jawa sering ada jarak antara dunia manusia dengan roh. Dari aktivitas itu masyarakat semakin genar, menjalankan seni itu. Nini Thowong disebut Thothokkerot karena memang menggunakan ubarampe yang berupa bathok kelapa (thothok). Thothok juga berarti keras, kuat, dan sakti. Sesuai dengan namanya, maka amat logis jika seni spiritual Nini Thowong berupa permainan yang menggambarkan seorang nini muda, gadis muda bermuka thowong, yang sakti. Thowong maksudnya putih sekujur mukanya (Jawa = meblok-meblok). Nini Thowong adalah tokoh yang dibuat-buat, seolah-olah hidup, memiliki nyawa, dan berdaya gaib. Nama Nini Thowong terkesan menakutkan tetapi juga ada unsur lucu. Nini Thowong adalah suatu permainan yang dibuat dari siwur (gayung air terbuat dari tempurung bertangkai panjang). Siwur ini dianggap seolah-olah kepala, kemudian badannya terbuat dari icir (bubu = alat penangkap ikan). Siwur tadi dihias seperti wajah anak perempuan, dan badannya pun dihias dengan baju wanita, selendang, kain, dan setagen (ikat pinggang). Permainan ini di daerah lain dikenal pula dengan nama Nini Thowok, Nini Edhok, Nini Dhiwut, Cowongan, Jailangkung, dan lain sebagainya.
Perkembangan
[sunting | sunting sumber]Pada masa dahulu sebenarnya Nini Thowong bukan sekadar permainan biasa, tetapi adalah suatu upacara untuk memanggil hujan, pengobatan, pesugihan, atau mencari barang yang hilang. Melalui ritual tersebut menandai bahwa orang Jawa masih banyak memuja roh. Seni spiritual yang terkategorikan dolanan rakyat itu sekarang telah bergeser fungsinya. Dari waktu ke waktu seni spiritual ini justru menyedot perhatian berbagai pihak untuk mengemas sebagai aset wisata mistik. Kekhasan seni dalam menghadirkan roh, justru dapat menarik berbagai pihak untuk berduyun-duyun hadir menyaksikannya. Lebih jauh lagi, seni spiritual Nini Thowong juga melukiskan hakikat hidup pemiliknya. Hidup yang berproses dari ada ke tiada, ternyata mengandung berbagai nilai kejawaan tersendiri. Kerumitan dunia roh yang berhubungan dengan dunia nyata, menyebabkan seni ini juga memuat ngelmu lung. Di balik ngelmu lung itu, sebenarnya tersimpan ngelmu ling dan ngelmu leng, yang akan membangun peradan manusia itu sendiri. Ketiga ngelmu itu tidak lain adalah simbol wacana peradaban manusia Jawa yang unik. Setiap gerak hidup orang Jawa, ternyata disandikan lewat ketiga ngelmu tersebut. Penguasaan atas tiga ngelmu itu, menyebabkan orang Jawa akan slamet.[3]
Cara bermain
[sunting | sunting sumber]Para pembuat boneka Nini Thowong biasanya akan mengambil dan memilih roh-roh yang dirasa baik untuk dimasukan ke dalam boneka tersebut. Sehingga ketika dimainkan boneka akan bergerak. Nini Towong ini adalah suatu permainan yang dibuat dari siwur (gayung air dari tempurung bertangkai panjang). Siwur ini dianggap seolah-olah kepala, kemudian badannya terbuat dari icir (bubu, alat penangkap ikan). Siwur tadi dihias seperti wajah anak perempuan, dan badannya pun dihias dengan baju wanita, selendang, kain, dan setagen (ikat pinggang). Pada masa dahulu, sebenarnya Nini Towong bukan sekadar permainan biasa, tetapi adalah suatu upacara untuk memanggil hujan, pengobatan, pesugihan, atau mencari barang yang hilang (Dharmamulya, 2004:107). Melalui ritual tersebut, menandai bahwa orang Jawa masih banyak memuja roh. Seni spiritual yang terkategorikan dolanan rakyat itu sekarang telah bergeser fungsinya. Dari waktu ke waktu, seni spiritual Nini Towong justru menyedot perhatian berbagai pihak untuk dikemas sebagai aset wisata mistik. Kekhasan seni dalam menghadirkan roh, justru dapat menarik berbagai pihak untuk berduyun-duyun hadir menyaksikannya. Lebih jauh lagi, seni spiritual Nini Towong juga melukiskan hakikat hidup pemiliknya. Hidup yang berproses dari ada ke tiada, ternyata mengandung berbagai nilai kejawaan tersendiri. Kerumitan dunia roh yang berhubungan dengan dunia nyata, menyebabkan seni ini juga memuat ngelmu lung. Di balik ngelmu lung itu, sebenarnya tersimpan ngelmu ling dan ngelmu leng, yang akan membangun peradaban manusia itu sendiri. Ketiga ngelmu itu tidak lain adalah simbol wacana peradaban manusia Jawa yang unik. Setiap gerak hidup orang Jawa, ternyata disandikan lewat ketiga ngelmu tersebut. Penguasaan atas tiga ngelmu itu, menyebabkan orang Jawa akan slamet.[3]
Akhir-akhir ini, Nini Towong telah diolah menjadi sebuah kolaborasi antara ritual, performance, komoditas wisata, dan pembentukan kampung budaya. Apalagi di wilayah Pundong juga dikenal dengan desa kerajinan gerabah – setelah Kasongan. Berbagai kerajinan pun akhirnya ada yang dipoles menyerupai Nini Towong, yang akan menjadi souvenir berharga bagi wisatawan. Atas prakarsa masyarakat, dibantu oleh MTB (Masyarakat Tradisi Bantul) dan Dinas Pariwisata, Nini Towong sengaja dipoles menjadi sajian wisata budaya (sumber Makalah seminar International Tradisi Lisan VI, di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 1-3 Desember 2008 oleh Suwardi).