Aceh Monitoring Mission
Aceh Monitoring Mission ("Misi Monitor Aceh", disingkat AMM) adalah sebuah tim yang dibentuk berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia tanggal 15 Agustus 2005 dan bertugas mulai tanggal 15 September.[1]
AMM bertugas untuk memonitor implementasi dari komitmen yang diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan GAM sehubungan dengan Memorandum of Understanding yang ditandatangani. AMM adalah misi Uni Eropa yang pertama di Asia dan bentuk kerjasama yang pertama dengan negara-negara ASEAN. Dengan membentuk AMM, Uni Eropa menekankan komitmennya untuk proses perdamaian di Aceh yang hancur dalam 30 tahun terakhir akibat konflik berkepanjangan dan tsunami pada Desember 2004.
AMM terdiri dari lima negara ASEAN yaitu Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand ditambah dengan negara-negara tergabung dalam Uni Eropa antara lain Swiss dan Norwegia.
Fungsi
[sunting | sunting sumber]Fungsi AMM antara lain:
- Memonitor demobilisasi GAM dan penghancuran senjata dan amunisinya.
- Memonitor relokasi dari kekuatan militer non-organik dan pasukan polisi non-organik.
- Memonitor reintegrasi anggota aktif GAM.
- Memonitor penegakan situasi hak asasi manusia.
- Memonitor proses penggantian legislatif.
- Menengahi kasus-kasus amnesti yang masih diperdebatkan.
- Menengahi komplain-komplain dan pelanggaran-pelanggaran terhadap MoU.
- Membentuk kerjasama yang baik dengan keduabelah pihak.
Misi ini bermarkas di Banda Aceh dengan kantor daerah terdistribusi di 11 daerah di Aceh. Diketuai oleh Pieter Feith, tugas AMM akan berakhir pada 15 Maret 2006. Namun pada tanggal 14 Januari 2006, pemerintah Indonesia kemudian memutuskan untuk memperpanjang masa tugas AMM selama 3 bulan lagi. AMM akhirnya resmi dibubarkan pada 15 Desember 2006 setelah bertugas selama 15 bulan.
Reintegrasi, Amnesti dan Hak Asasi Manusia
[sunting | sunting sumber]Berdasarkan pasal 5.1 dalam Nota Kesepahaman, tugas AMM adalah untuk:
- Memantau reintegrasi anggota-anggota GAM yang aktif ke dalam masyarakat,
- Memantau situasi hak asasi manusia dan memberikan bantuan dalam bidang ini,
- Memutuskan kasus-kasus amnesti yang disengketakan,
Reintegrasi
[sunting | sunting sumber]Pengaturan-pengaturan mengenai reintegrasi dalam MoU meliputi bantuan untuk tiga kelompok: mantan pejuang GAM, tahanan politik yang mendapatkan amnesti, dan korban konflik. Setelah dibebaskan dari tahanan pada akhir Agustus 2005 (atau dalam beberapa kasus setelahnya), seluruh tahanan politik telah dimasukkan kedalam bantuan program yang dijalankan oleh IOM yang meliputi fasilitas ekonomi, perawatan kesehatan serta kesempatan untuk mendapatkan pelatihan kejuruan.
Sejumlah 3000 mantan pejuang GAM dimasa tugas AMM telah menerima tiga tahap angsuran bantuan ekonomi dari Pemerintah, jumlah seluruhnya adalah 3 juta Rupiah untuk setiap mantan pejuang GAM. Beberapa mantan pejuang GAM dan korban konflik juga mendapatkan bantuan dari program pemberdayaan ekonomi yang dijalankan oleh badan pelaksana reintegrasi MoU milik Pemerintah yaitu Badan Reintegrasi Aceh (BRA).
AMM telah memantau secara saksama kerja BRA di tingkat provinsi dan kabupaten. Kantor-kantor wilayah AMM telah memantau dan melaporkan tentang situasi di lapangan, memastikan bahwa bantuan yang disepakati telah diterima oleh kelompok yang berhak menerima. Jaringan kantor-kantor wilayah AMM dan pertemuan-pertemuan di tingkat kabupaten antara para pemangku kepentingan yang difasilitasi oleh AMM terbukti berguna juga untuk mendiskusikan isu-isu yang berhubungan dengan reintegrasi.
Amnesti
[sunting | sunting sumber]Sesuai dengan Nota Kesepahaman Pemerintah Indonesia, sesuai dengan prosedur konstitusional, akan memberikan amnesti kepada semua orang yang terlibat dalam aktivitas GAM.
Sejak penandatanganan Nota Kesepahaman di Helsinki pada 15 Agustus 2005, sekitar 2000 tahanan telah dibebaskan. Pembebasan terbesar adalah pada tanggal 31 Agustus 2005 menyusul dikeluarkannya Dekret Presiden satu hari sebelumnya. Namun sebelum itu, pada tanggal 17 Agustus 2005, dua hari setelah Nota Kesepahaman ditandatangani, sebanyak 298 anggota GAM telah dibebaskan berkaitan dengan hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Setelah pembebasan pertama pada Agustus 2005, GAM menyampaikan kepada Pemerintah Indonesia dan AMM bahwa masih ada beberapa anggotanya yang ditahan di beberapa penjara di seluruh Indonesia, yang mana menurut GAM sesuai dengan MoU harus diberikan amnesti dan dibebaskan. Untuk menyelesaikan kasus-kasus ini sebuah kelompok kerja tripartid dibentuk. Kelompok ini berhasil memfasilitasi kesepakatan antara pihak-pihak atas beberapa kasus. Namun dalam rangka memfasilitasi perkembangan lebih jauh, AMM merekrut seorang mantan Hakim berwarganegara Swedia yang memiliki pengalaman internasional dalam menangani kasus-kasus amnesti. Seperti kesepakatan yang dicapai pihak-pihak, individu-individu diberikan amnesti dan dibebaskan. Melalui upaya fasilitasi ini, pihak-pihak akhirnya mencapai kesepakatan konsensual mengenai kasus amnesti yang tertunda dan menyatakan bahwa tidak ada kasus amnesti yang membutuhkan keputusan Ketua Misi.
Hak Asasi Manusia
[sunting | sunting sumber]Dalam Nota Kesepahaman, AMM ditugaskan memonitor hak-hak asasi para anggota GAM yang telah berintegrasi dan memberikan bantuannya dilapangan. Pengawasan terbatas pada pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi setelah 15 Agustus 2005 dengan memfokuskan pada GAM. AMM menangani persoalan-persoalan melalui kasus-kasus individu maupun dalam bentuk investigasi dan diskusi dengan pihak-pihak terkait. Ini juga bertujuan untuk menguatkan masyarakat sipil dan lembaga-lembaga nasional dalam bidang hak asasi manusia. Pertemuan Komisi Pengaturan Keamanan (COSA) baik dalam tingkatan distrik ataupun tingkat pusat (Kantor Pusat) telah terbukti menjadi forum yang berguna untuk mengangkat persoalan yang terkait bersama para pimpinan kedua belah pihak. Kantor-kantor distrik secara rutin menginvestigasi insiden-insiden seperti penggunaan kekuasaan yang berlebihan, pemerasan, dan intimidasi. AMM mengikuti perkembangan lebih lanjut mengenai hak asasi manusia dan pelaksanaannya.
Nota Kesepahaman mengenai Hak Asasi Manusia:
- Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai hak-hak sipil dan politik dan mengenai hak-hak ekonomi, social, dan budaya. Pada 30 September 2005, Pemerintah Indonesia secara resmi mengesahkan dua undang-undang yang meratifikasi kovenan yang tercantum dalam pasal 2 ayat 1 dari nota kesepakatan.
- Sebuah pengadilan Hak asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh.
- Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.
Pelucutan Senjata dan Relokasi Pasukan
[sunting | sunting sumber]AMM memantau pembubaran GAM dan melucuti persenjataannya, yang dilakukan dalam empat tahap. Sesuai dengan Nota Kesepakatan keempat tahap tersebut diselesaikan sebelum akhir bulan Desember 2005. Pada September 2005 senjata-senjata milik GAM untuk tahap pertama mulai dilucuti diseluruh penjuru Aceh dan pasukan TNI serta Polisi non organik direlokasi sebagai bagian dari pengaturan-pengaturan keamanan yang dideskripsikan dalam Nota Kesepakatan pasal 4. Upacara pemotongan senjata terakhir dilaksanakan di Banda Aceh pada 21 Desember 2005. GAM menyerahkan total sebanyak 840 senjata yang diterima oleh AMM untuk dilucuti selama empat tahap.
AMM juga memantau penarikan pasukan militer dan polisi non organik yang dilaksanakan secara paralel dengan perlucutan senjata. Upacara-upacara penarikan pasukan ini dilakukan di pelabuhan Lhokseumawe dan untuk menandakan penyelesaian penarikan pasukan militer non organik dilaksanakan pada 29 Desember serta upacara penarikan polisi non organik terakhir diselenggarakan pada 31 Desember. Jumlah keseluruhan TNI non organik yang direlokasi dalam empat tahap adalah 25.890 dan Polisi non organik berjumlah 5.791.
Pelucutan Senjata
[sunting | sunting sumber]Statistik Perlucutan Senjata GAM
Tahap | Diserahkan oleh GAM | Disqualifikasi | Diterima | Dipermasalahkan oleh Pemerintah Indonesia | Jumlah senjata yang tidak dipermasalahkan |
---|---|---|---|---|---|
I (September 2005) | 279 | 36 | 243 | 17 | 226 |
II (October 2005) | 291 | 58 | 233 | 35 | 198 |
III (November 2005) | 286 | 64 | 222 | 15 | 207 |
IV (December 2005) | 162 | 20 | 142 | 4 | 138 |
Total | 1018 | 178 | 840 | 71 | 769 |
Relokasi Pasukan
[sunting | sunting sumber]Statistik Penarikan Pasukan non-organik TNI/Polisi
Tahap | TNI | Polisi | Total |
---|---|---|---|
I (September 2005) | 6,671 | 1,300 | 7,971 |
II (October 2005) | 6,097 | 1,050 | 7,147 |
III (November 2005) | 5,596 | 1,350 | 6,964 |
IV (December 2005) | 7,628 | 2,150 | 9,778 |
Total | 25,890 | 5,791 | 31,681 |
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- (Inggris) Aceh Council Factsheet[pranala nonaktif permanen]
- (Indonesia) Website resmi Aceh Monitoring Mission Diarsipkan 2013-05-28 di Wayback Machine.
- (Inggris) Peacekeping Finlandia
- ^ "Sejarah AMM: Militer Asing Pemantau Damai Aceh - Acehkini.ID". 2022-12-16. Diakses tanggal 2023-10-04.