Akar ideologis revolusi Islam
Tradisi masyarakat Indonesia yang Suni seringkali disinyalir sebagai masyarakat yang pro status quo. Tradisi tersebut cenderung moderat dan kompromistis terhadap pengaruh "kekuasaan", sehingga tidak bisa melahirkan "revolusi", baik pemikiran atau tindakan. Hal inilah yang menyebabkan intelektual Suni jarang hadir dengan pemikiran revolusionernya. Meski demikian, pernyataan ini tidak belaku bagi Hassan Hanafi yang lahir dari tradisi Suni-Mesir. Tokoh dari Mesir ini mempunyai pemikiran yang radikal-revolusioner melalui al Yasar al Islami dengan agenda utama at Turats wa at Tajdid. Kendati demikian, tradisi Suni dalam sejarah tatanan praktisnya tetap belum menggerakkan revolusi massa menentang kemapanan dan hegemoni penguasa.
Berbeda dengan tradisi Suni, bagian dari masyarakat Islam yang cenderung kritis-progresif adalah Syiah. Tradisi Syiah telah melahirkan para pemikir dengan agenda intelektual yang revolusioner, seperti Ali Syari'ati dan Ayatollah Ruhollah Khomeini. Tradisi Syiah yang terwakili dengan negara Iran juga pernah menggerakkan kesadaran massa untuk menggulingkan rezim yang berkuasa. Namun, dari sisi historis dan ideologis, revolusi seringkali dikaitkan dengan tradisi sosialisme dan Marxisme, sehingga dianggap bukan bagian dari tradisi Islam. Selain itu, ketika bagian dari masyarakat Islam menyuarakan agenda revolusi akan distigma sebagai bagian dari penganut paham materialisme dan ateisme. Fenomena "pelabelan" terhadap kelompok "kiri" ini juga dipraktikkan di Indonesia selama rezim Orde Baru, bahkan hingga saat ini, padahal pada hakikatnya "revolusi" sendiri tidak terpisahkan dari Islam. Hal ini disebabkan Muhammad Saw sendiri adalah utusan Allah SWT dari golongan tertindas yang memperoleh amanat untuk mengubah tradisi masyarakat jahiliah dengan penguasa yang despotisme dan otoritarianisme. Perubahan yang dilakukan Rasulullah terhadap masyarakatnya, juga menjadi amanat bagi nabi-nabi sebelumnya terhadap masing-masing umatnya. Dengan demikian, revolusi Islam sebenarnya telah hadir bersamaan dengan kedatangan Islam itu sendiri.
Spirit Islam adalah semangat pembebasan dari segala bentuk penindasan dam kesewenang-wenangan. Islam berada di pihak kaum marginal dan syiar Islam adalah menyuarakan kredo populis. Agenda revolusi Islam adalah membebaskan masyarakat dari masalah akut dunia Islam, seperti kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan budaya, kelaparan, perang, dan lain-lain. Revolusi adalah semangat perlawanan terhadap tafsir tunggal keagamaan yang mendukung otoritas negara. Semangat perlawanan yang dibawa menumbuhkan kritisisme dan kesadaran tentang keberagaman pemahaman tafsir keagamaan. Hal inilah yang menyebabkan revolusi Islam dapat dikatakan tidak akan pernah selesai.
Pengertian
[sunting | sunting sumber]Revolusi dalam sudut pandang Islam klasik berkonotasi buruk, yaitu menggulingkan tatanan yang didirikan oleh orang-orang beriman. Istilah itu sering digunakan untuk merujuk revolusi yang berarti fitnah (godaan, hasutan, dan perselisihan menentang Tuhan); ma'shiyah (ketidakpatuhan, pembangkangan, perlawanan, dan pemberontakan); dan riddah (berpaling atau memunggungi).[1] Revolusi dalam perkembangan berikutnya dimaknai sebagai pemberontakan terhadap Islam yang diberi nama kharij (bentuk jamak dari khawarij), yang berarti "keluar". Hal ini merujuk kepada perpecahan golongan pertama dalam Islam pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Kharij, fitnah, ma'shiyah, dan riddah digunakan sebagai lawan dari jihad (berjuang demi Tuhan). Hal inilah yang menyebabkan jihad selalu muncul sebagai nilai positif dalam wacana Islam.[2]
Pakar studi Islam dan hubungan internasional dari Universitas Georgetown, Washington, D.C., Amerika Serikat, John Louis Esposito, mengatakan bahwa revolusi dalam wacana Islam kontemporer – yang mendasarkan kepada ilmu-ilmu sosial – dimaknai sebagai pemberontakan menentang otoritas yang terpilih. Istilah modern untuk revolusi dalam bahasa Arab menggunakan tsaurah, yang makna akar katanya berarti "menghamburkan debu". Adapun dalam bahasa Persia menggunakan istilah inqilab, yang berarti "menggulingkan" dan dalam bahasa Turki menggunakan istilah ikhtilal, yang berarti "gangguan" atau "kebingungan". Istilah ini muncul setelah terjadi Revolusi Prancis dan umumnya berkonotasi positif saat digunakan para nasionalis yang melawan despotisme pemimpin sekuler yang tidak adil, meskipun sebagian penulis Turki mengkritik perkembangan revolusiner di Prancis menggunakan inqilab dalam makna buruk.[3] Menurut Sarbini, penulis Islam di Tepian Revolusi: Ideologi, Pemikiran, dan Gerakan, dari keempat istilah ini, hanya tsaurah yang muncul sebelum Revolusi Prancis untuk merujuk arti bagi mereka yang memberontak terhadap pemimpin atau menggantikan pemimpin setelah kepemimpinan jatuh.[4]
Istilah tsaurah, inqilab, dan ikhtilal pernah digunakan oleh gerakan Wahabi melalui gerakan kebangkitan di Afrika, Timur Tengah, dan Asia untuk mengutuk hal-hal yang dipandang sebagai penyimpangan dalam Islam. Gerakan ini dipicu oleh sikap antipati yang mendalam terhadap kolonialisme dan imperialisme Barat. Hal tersebut dimulai ketika Barat melakukan intervensi bersenjata, penetrasi ekonomi, serta tekanan politik dan budaya yang mengganggu integrasi umat.[4]
Namun, pada perkembangan selanjutnya, khususnya abad ke-19 ketika terjadi Revolusi Konstitusional 1905–1909, inqilab digunakan sebagai penanda "kebangkitan" dengan slogan nihzat atau sering disebut dengan istilah masruthah (membuat syarat), yaitu menetapkan syarat kepada pemerintahan otokratis. Selain itu, dikenal pula istilah shahwah (kesadaran) berjuang demi alasan-alasan yang benar atau progresif. Terjadinya difusi makna tsaurah sebagai fenomena yang beragam, mulai dari kudeta sederhana, pemberontakan urban, hingga revolusi sosial yang sangat transformatif. Namun, berbagai kalangan menunjuk peristiwa Revolusi Iran pada 7 Januari 1978–11 Februari 1979 sebagai tsaurah al-Iraniyah.[5] Dalam catatan konsep revolusi Islam baru, perlu disebutkan nama Ruhollah Khomaeni. Dia berulangkali menggunakan istilah inqilabi al-Islami (revolusi Islam)[4] untuk merujuk gerakan yang mendirikan pemerintahan ulama. Khomeini menghendaki pemerintahan untuk rakyat, bersama rakyat, dan sebagai khidmat (pelayanan) rakyat.[6]
Michel Löwy, peneliti tentang sejarah Marxisme dari São Paulo, Brasil, menengarai bahwa makna revolusi kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial. Karl Marx misalnya, memberikan gambaran suatu keadaan kepada masyarakat akan terjadinya tahap-tahap perkembangan yang diakibatkan adanya kekuatan produksi material masyarakat – mereka berada dalam pertentangan dengan keberadaan hubungan produksi ketika bekerja.[7] Anthony Giddens, sosiolog asal Britania Raya, memperjelas jika bentuk-bentuk perkembangan kekuatan produk selanjutnya menimbulkan penindasan.[8] Penindasan yang terus-menerus ini dalam pandangan teolog Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens menyebabkan terjadinya konflik yang mengarah kepada suatu tahapan yang disebut dengan revolusi.[9] Berawal dari teori ini, Charles Wright Mills, ilmuwan sosial dan kritikus yang paling berpengaruh di Amerika Serikat pada abad ke-20, memandang jika Marx dan Lenin mempertegas bahwa revolusi mustahil terjadi kalau tidak didahului prasyarat yang objektif dan subjektif oleh situasi dan kondisi tertentu – mereka menyebutnya dengan istilah "situasi revolusioner" yang menggambarkan tiga keadaan, yaitu adanya krisis dari atas, yaitu mustahilnya kekuatan kelas penguasa untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara lama dan meningkatnya keinginan kelompok kelas tertindas untuk mengubah kehidupan yang baru disertai dengan konflik yang meluas secara nasional; adanya penderitaan dan kemiskinan yang luar biasa dalam kelas tertindas; dan adanya peningkatan aktivitas massa secara besar-besaran.[10] Menurut Vladimir Lenin, tidak setiap situasi revolusioner menggiring terjadinya revolusi. Namun, revolusi akan terjadi apabila terjadi situasi revolusioner yang diiringi dengan faktor-faktor objektif. Selain itu, kelas revolusioner juga harus siap menjalankan aksi massa secara memuaskan dan menekan penguasa dengan mengorganisir kelas pekerja secara independen dan sadar secara politik.[11]
Berpijak dari Revolusi Prancis dan Revolusi Bolshevik Rusia, masyarakat dapat mengetahui berbagai jenis revolusi di dunia Islam, khususnya Revolusi Iran. Kekuatan agama dan dukungan kaum mullah menjadi faktor dominan dalam revolusi tersebut. Selain itu, kekuatan massa sebagai motor penggerak juga menjadi faktor penentu di dalamnya.[12] Kekuatan tersebut lahir sebagai reaksi sosial akibat tekanan, baik secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya oleh penguasa yang disokong kekuatan asing, yaitu Barat. Salah satu kekhasan revolusi dunia Islam adalah digerakkan bukan semata-mata oleh persoalan ekonomi dan politik semata, melainkan digerakkan oleh kekuatan ideologi moral-spiritual dengan menampilkan intelektual muslim atau ulama sebagai move motivator revolusionery yang banyak mengangkat isu-isu berkaitan dengan kebangkitan Islam kontemporer, yaitu keyakinan, kebudayaan, kekuasaan, dan politik. Adapun penekanannya kepada identitas kebangsaan, keaslian budaya, partisipasi politik, keadilan sosial yang disertai dengan penolakan pembaratan, serta penolakan otoritarianisme pemerintah. Hal ini juga dapat dilihat pada revolusi yang terjadi di Sudan, Mesir, Aljazair, dan yang menonjol Iran sendiri.[13]
Identitas
[sunting | sunting sumber]Menurut J.W. Schoorl, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Riza Sihbudi (pengamat politik Timur Tengah), revolusi adalah gejala-gejala ketika terjadi perubahan dari dalam dengan cara kekerasan dan fundamental mengenai struktur sosial-politik dan kepemimpinan politik di dalam masyarakat, yang disertai dengan perubahan-perubahan mengenai ideologi, politik, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku mengenai kebijaksanaan pemerintah.[14]
Secara umum, revolusi diartikan sebagai perubahan yang cepat kepada budaya politik yang ada, sebagaimana pernah dilakukan Muhammad ketika hijrah dari Makkah menuju Yastrib (kemudian dinamakan dengan Madinah). Analisis tersebut ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Dawam Rahardjo (ekonom dan tokoh agama dari Universitas Gadjah Mada) berjudul Sejarah Agama dan Masyarakat Madani, yang menjelaskan bahwa agenda-agenda kerasulan yang diemban Muhammad sebagai misi utamanya, yaitu sebagai kepala negara, komandan perang, dan pemimpin umat. Semua yang dilakukannya adalah bentuk lain dari "ide" perkataan "Madinah" yang secara etimologis berarti "tempat peradaban".[15] Konsep hijrah yang dikembangkannya di Madinah secara sistematis tertuang dalam Piagam Madinah, yang kemudian menjadi roh dari sebuah revolusi.[16] Berbeda dengan teori politik dan revolusi Marx, sebuah ide akan menjadi penggerak yang kuat. Lukman Hakim (aktivis HMI-MPO Cabang Malang) di sinilah menegaskan bahwa revolusi kenabian merupakan upaya pengislaman kemanusiaan dan pemberdayaan politik, sedangkan revolusi Marx adalah radikalisasi massa akibat pertentangan kelas di dalam masyarakat.[a][17]
Pakar gerakan Islam di Indonesia, A. Ezzatti dan Agung Sulistyadi, menganalisis jika Islam sendiri muncul sebagai agama revolusioner yang berkesinambungan.[18] Berdasarkan konteks historis, kaum muslimin telah mencapai tingkat solidaritas yang tinggi dalam kehidupan masyarakat sebagaimana tertuang di Al-Qur'an.[b] Egalitarianisme masyarakat yang ditawarkan oleh Islam tertuang dalam kehidupan Muhammad ketika memimpin bangsa Arab. Sebagai contoh, peran dirinya dalam upaya perdamaian antarsuku, hubungan antarsesama yang berbeda keyakinan, pengembangan sistem pemerintahan yang ideologis-teokratis, pengembangan masyarakat sosialis dan ekonomi kapitalis yang humanis atau dikenal dengan konsep zakat, infak, dan sedekah. Dengan kata lain, meminjam istilah Fazlur Rahman Malik, sejarawan intelektual dan pemikir dari Pakistan, masyarakat muslim di Madinah merupakan entitas dari masyarakat Arab dalam "nasionalisasi" atau "Arabisasi" Islam sebagai masyarakat ideal.[19] Rahman berargumen bahwa generasi muslim awal menganggap bahwa sunah merupakan ajaran Muhammad, yang kemudian disebutnya sebagai the living Sunnah. Menurutnya, sunah hidup ini mendorong muslim untuk menggunakan ra'y (pemikiran akal), qiyas (penalaran analogis), ijtihad (penalaran hukum) dalam rangka menafsirkan ulang teladan Muhammad sesuai dengan situasi sosial yang baru.[20]
Islam juga menaruh perhatian terhadap kaum tertindas, sampai-sampai Tuhan menjanjikan surga bagi para pejuang yang membebaskan penindasan dan ketidakadilan.[c] Dalam ungkapan yang berbeda, identitas revolusi Islam adalah perwujudan terhadap perubahan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya akibat kebijakan penguasa maupun upaya persamaan hak dan kewajiban di antara masyarakat, seperti kata-kata Hasan Hanafi yang dikutip oleh Kazuo Shimogaki dalam Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritis Atas Pemikiran Hassan Hanafi berikut.[21]
Revolusi Iran adalah revolusi Islam yang terjadi di Iran, salah satu responnya adalah akibat tekanan Barat yang sekuler terhadap masyarakat Iran, tetapi sesungguhnya revolusi hanyalah investigasi terhadap gerakan revolusioner yang ingin melakukan teorisasi revolusi di kalangan muslim. Sebenarnya, yang terjadi di Iran adalah revolusi tauhid yang telah tercabut dari Iran akibat dominasi Barat.[22]
Revolusi Islam juga termanifestasi dari munculnya sosialisme Islam atau lebih dikenal dengan Islam kiri yang saat ini berkembang. Istilah tersebut muncul tidak terlepas dari berkembangnya paham Marxisme sebagai teori perubahan dan teori kritisisme. Tidaklah mengherankan apabila Ali Syari'ati dalam membangun ideologi revolusionernya tidak meninggalkan teori Marxisme begitu saja. Namun, dia mencoba mensintesa ajaran Marxis dengan Islam sebagai falsafah pergerakan dalam membebaskan masyarakat dari penindasan. Hal inilah yang kemudian melahirkan pandangan yang menonjol darinya, yaitu hubungan agama dan politik sebagai "dasar ideologi pergerakan".[23]
Salah satu tema sentral dalam ideologi politik keagamaan yang dibawa oleh Syari'ati adalah agama Islam yang dapat difungsionalisasi sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat tertindas, baik secara budaya maupun politik. Lebih lanjut, baginya Islam yang murni belum dikuasai oleh ulama konservatif, sehingga Islam yang sebenarnya sebagai ideologi revolusioner merupakan sumber pembebasan dari penjajahan politik, ekonomi, dan budaya Barat. Dia merasakan masalah akut yang dimunculkan kolonialisme dan neo-kolonialisme yang mengalienasi rakyatdari akar-akar tradisi Islam. Oleh karenanya, menurut Dabashi, sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra (cendekiawan muslim dari Sumatera Barat), Syari'ati adalah the ideologist of revolt dan politico religio thinker.[24]
Syari'ati beranggapan jika negara-negara dunia ketiga, seperti Iran, membutuhkan revolusi yang saling berkaitan, yaitu revolusi nasional yang bertujuan bukan hanya untuk mengakhiri seluruh bentuk dominasi Barat, tetapi juga untuk merivitalisasi kebudayaan dan identitas nasional negara dunia ketiga. Selanjutnya, di sinilah Sarbini menyebut bahwa revolusi sosial untuk menghapuskan semua bentuk eksploitasi dan keminiskinan demi terciptanya masyarakat yang adil, dinamis, dan tanpa kelas.[25]
Akar filosofis
[sunting | sunting sumber]Sekilas, antara Islam dengan revolusi tampak paradoks yang mustahil berpadu. Hal ini disebabkan karena Islam adalah wahyu permanen yang menjadi akidah setiap muslim yang diturunkan pada abad ke-7 Masehi melalui Muhammad, sedangkan revolusi sendiri merupakan gerakan perubahan sepanjang zaman. Melalui hal inilah dapat dilihat antara Tuhan, wahyu, agama, dan kenabian telah didudukkan sebagai wacana pemikiran tradisional serta direduksi oleh pemikiran modern dengan menempatkan manusia, rasio, ilmu, kerja, dan ideologi dalam posisinya. Dalam filsafat manusia, terdapat pemahaman bahwa manusia selalu dilingkupi ukuran dan nilai budaya yang melampaui deskripsi dan demonstrasinya. Jika manusia digambarkan menurut konsep Taurat, mereka adalah makhluk dalam gambaran (proyeksi) Tuhan, sedangkan konsep Al-Qur'an mengenai manusia adalah khalifatu fil ardhi (khalifah di bumi). Lalu, ketika bertemu dengan teori Marx, manusia adalah wujud materialis, sedangkan menurut Julian Huxley, manusia adalah wujud eksistensi yang alami. Semuanya merupakan pandangan teologis yang didasarkan atas takaran budaya manusia sendiri, sehingga filsafat dan agama merupakan suatu kebebasan.[25]
Manusia sendiri selalu dilihat sebagai eksistensi yang merdeka. Apabila teologi Yunani Kuno tidak menerima eksistensi manusia untuk mengerti dirinya, filsafat Yunani tidak akan menjadi gerbang para pemikir. Jika teologi Kristen tidak menerima penebusan dosa penderitaan manusia, niscaya Kristen tidak akan melahirkan insan kasih sayang. Begitu pula dalam Islam, jika teologi yang mutlak tidak menerima kehadiran insan untuk mencapai keluhuran cinta dan kasih sayangnya, Islam tidak akan menjadi cita-cita ideal bagi insan pengasih dan penyayang. Jika kebangkitan modern tidak menerima pemahaman rasio manusia atau reformasi Kristen yang menerima dinamika individualisme, abad modern tidak mencuat sosok manusia yang benar-benar nyata secara substansial. Marx sendiri jika tidak meyakinkan potensi manusia untuk mengubah nasibnya sendiri dengan perubahan yang bersifat empiris-materialistik, tidak pernah ada gerakan historis. [26]
Dalam pandangan filsuf, manusia adalah wujud yang bergerak antara eksistensi dan perwujudan, sedangkan tokoh kalam mengatakan antara jabar (keterpaksaan) dan ikhtiar (kebebasan). Dalam sosiologi, manusia di antara yang abadi dan yang berubah, antara stabilitas dan radikalitas. Revolusi sebenarnya merupakan gerakan pembebasan terhadap dualisme tersebut, yang kemudian membangun paradigma baru menurut tata hukum yang akan menjadi acuan dengan melihat sejarah – di kalangan Marxis disebut dengan "manusia revolusioner".[27]
Al-Qur'an lantas berbicara mengenai misi yang dibawa manusia, yaitu kewajiban memikul amanat sebagai dinamika sosial.[27]
Sesungguhnya telah Aku (Allah) kemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan dipikullah amanat itu oleh manusia ––––– Al-Qur'an Surah Al-Ahzab ayat ke-72
Perspektif azali dalam konsep keislaman tidak berarti kepada penghambaan dan kepasrahan, serta bukan pula fatalisme dan keterbelengguan. Namun, keazalian adalah kebebasan dan disiplin, pembebasan dan pencerahan, serta gerakan dan kreativitas. Azali merupakan inspirasi yang membangkitkan semangat insan kamil (manusia sempurna) melalui ayat-ayat kesemestaan dan khazanah yang dikandungnya.[28]
Perubahan sendiri merupakan cita-cita yang menyertai dari misi kerasulan Muhammad yang terpancar dari ayat-ayat yang diwahyukan dari Tuhan.[29]
Katakanlah kepada mereka hai Muhamamad: Bahwasanya aku ini adalah manusia seperti kamu juga. Namun, kepadaku diwahyukan bahwasanya Tuhanmu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, barangsiapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan dalam peribadahan ––––– Al-Qur'an Surah Al-Kahf ayat ke-110
Tujuan akhir dari wahyu adalah pembebasan manusia tertindas untuk membangun dunia ini dalam perspektif yang baru.[29]
Dan Kami menghendaki untuk memberi anugerah kepada orang-orang tertindas di muka bumi. Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin dan Kami jadikan mereka pewaris-pewaris ––––– Al-Qur'an Surah Al-Qasas ayat ke-5
Mustadh'af (manusia yang tertindas) adalah materi konkret kebangkitan yang berkelanjutan, sekaligus sebagai objek. Hal ini dikarenakan manusia tertindas selalu membuat sejarah, mereka kemudian secara kooperatif membangun sejarah atas dasar kehormatan, kebebasan, persamaan, dan semangat perlawanan sebagaimana dilandaskan oleh Muhammad, yaitu setiap perjuangan, baik ekonomi, sosial, dan politik tidak lebih sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Pada masa kehidupan Muhammad, perjuangan ini telah menjadi alat secara benar. Para pelakunya telah mencapai tujuan simbol khairu ummatin (sebaik-baiknya umat).[30]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Catatan
[sunting | sunting sumber]- ^ Lihat pula tulisan Suseno mengenai teori perubahan. Dia mengatakan bahwa motor perubahan – menurut Marx – adalah pertentangan antara kelas-kelas sosial. Kelas-kelas sosial sendiri merupakan aktor sejarah, bukan individu. Mereka berjuang mempertahankan individu (Suseno 2000, hlm. 147–148).
- ^ Gambaran mengenai solidaritas Islam, apabila ada perselisihan untuk kembali kepada Al-Qur'an, dapat dilihat di dalam Al-Qur'an Surah Al-Hujurat ayat ke-10; gambaran mengenai tolong-menolong sesama muslim dalam Al-Qur'an Surah At-Taubah ayat ke-71; gambaran mengenai solidaritas sesama muslim merupakan kenikmatan dalam Al-Qur'an Surah Ali-Imran ayat 103; serta ajakan untuk saling memberi kabar baik di dalam Al-Qur'an Surah Az-Zumar ayat 17–18 (Sarbini 2005, hlm. 44).
- ^ Lihat Al-Qur'an Surah An-Nisa ayat ke-135 mengenai larangan memutarbalikkan keadilan dan menolak keadilan; Surah Al-Maidah ayat ke-9 mengenai larangan berbuat tidak adil kepada sesama manusia; Surah Ad-Duha ayat ke-9–10 mengenai larangan menindas anak yatim dan orang terlantar; serta Surah Ali Imran ayat ke-159 mengenai larangan berbuat kasar kepada sesama manusia (Sarbini 2005, hlm. 44).
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ Sarbini (2005), hlm. 23
- ^ Esposito (1990), hlm. 87
- ^ Esposito (1990), hlm. 88
- ^ a b c Sarbini (2005), hlm. 24
- ^ Esposito (1990), hlm. 89
- ^ Subarkah, Muhammad (2 Juni 2020). "Mengenang Pendiri Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini". Republika. Diakses tanggal 1 Juli 2021.
- ^ Löwy (2013), hlm. 1–18
- ^ Giddens (1985), hlm. 43
- ^ Poepowardojo & Bertens (1983), hlm. 72–94
- ^ Mills (2003), hlm. 236–240
- ^ Sarbini (2005), hlm. 25
- ^ Sarbini (2005), hlm. 25–26
- ^ Esposito (1999), hlm. 34–36
- ^ Sihbudi (1989), hlm. 34
- ^ Rahardjo (2000), hlm. 30
- ^ Fikri, Zakiul (1 Mei 2021). "Revolusi Sistemik: Kritik Konseptual Atas Jalannya Reformasi 1998". NTT Progresif. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-09. Diakses tanggal 2 Juli 2021.
- ^ Hakim (2003), hlm. 254–255
- ^ Ezzatti & Sulistyadi (1990), hlm. 11
- ^ Malik (1985), hlm. 194–195
- ^ Umam, Zacky Khairul (27 April 2020). "Fazlur Rahman: Ijtihad Sang Pemikir Modernis Pakistan dari Chicago". Tirto. Diakses tanggal 2 Juli 2021.
- ^ Sarbini (2005), hlm. 27–28
- ^ Shimogaki (1993), hlm. 40–41
- ^ Sarbini (2005), hlm. 28
- ^ Azra (1996), hlm. 90
- ^ a b Sarbini (2005), hlm. 29
- ^ Sho'ub (1997), hlm. 22–24
- ^ a b Sarbini (2005), hlm. 30
- ^ Sho'ub (1997), hlm. 24
- ^ a b Sarbini (2005), hlm. 31
- ^ Sho'ub (1997), hlm. 28
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]Buku
- Armstrong, Karen (2000). The Battle for God: Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam. New York: Harper Collins. ISBN 978-000-2555-23-4.
- Armstrong, Karen (2000). Islam: A Short History. New York: Modern Library Chronicles. ISBN 978-081-2966-18-3.
- Armstrong, Karen (2016). Fields of Blood: Mengurai Sejarah Hubungan Agama dan Kekerasan. Bandung: Mizan. ISBN 978-979-4339-69-5.
- Azra, Azyumardi (1996). Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernime, Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina. ISBN 978-979-8321-10-8.
- Engineer, Asghar Ali (1999). Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9289-01-8.
- Esposito, John Louis (1990). Islam dan Politik. Jakarta: Bulan Bintang. ISBN 978-979-4180-31-0.
- Esposito, John Louis (1999). Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek. Bandung: Mizan. ISBN 978-979-4332-05-4.
- Fromm, Erich (2001). Konsep Manusia Menurut Marx. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9483-44-7.
- Fuller, Graham E. (2010). Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam? Sebuah Narasi Sejarah Alternatif. Bandung: Mizan. ISBN 978-979-4338-55-1.
- Garaudy, Roger, dkk (2008). Demi Kaum Tertindas: Akar Revolusi Islam di Iran. Yogyakarta: Citra Griya Aksara Hikmah. ISBN 978-979-2607-15-4.
- Giddens, Anthony (1985). Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis terhadap Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Webber. Jakarta: UI-Press. ISBN 978-979-8034-29-9.
- Löwy, Michael (2013). Teologi Pembebasan: Kritik Marxisme dan Marxisme Kritis. Yogyakarta: Insist Press. ISBN 978-602-8384-58-2.
- Mills, Charles Wright (2003). Kaum Marxis: Ide-Ide Dasar dan Sejarah Perkembangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-3237-73-2.
- Nurcholish, Ahmad; Dja'far, Alamsyah Muhammad (2015). Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama. Jakarta: Elex Media Komputindo. ISBN 978-602-0265-30-8.
- Sarbini (2005). Islam di Tepian Revolusi: Ideologi, Pemikiran, dan Gerakan. Yogyakarta: Pilar Media. ISBN 979-979-3921-23-4.
- Shimogaki, Kazuo (1993). Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritis Atas Pemikiran Hassan Hanafi. Yogyakarta: LKIS. ISBN 979-979-8966-01-8.
- Sho'ub, Hasan (1997). Islam dan Revolusi Pemikiran: Dialog Kreatif Ketuhanan dan Kemanusiaan. Surabaya: Risalah Gusti. ISBN 978-979-5560-02-9.
- Situmorang, Abdul Wahib (2013). Gerakan Sosial: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-2292-30-2.
- Smith, Huston (2001). Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-4613-13-9.
- Sujarwa (2001). Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9075-69-7.
- Supriyadi, Eko (2003). Sosialisme Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-3477-32-9.
- Suseno, Franz Magnis (2000). Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-6553-31-0.
Buku lama
- An-Nadawy, Abul Hasan Ali (1983). Apa Derita Dunia Bila Islam Mundur. Jakarta: Media Dakwah.
- Ezzatti, A.; Sulistyadi, Agung (1990). Gerakan Islam: Sebuah Analisis. Jakarta: Pustaka Hidayah.
- Hakim, Lukman (2003). Revolusi Sistemik: Solusi Stagnasi Reformasi dalam Bingkai Sosialisme Religius. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
- Haque, Ziaul (2000). Revolusi Islam di Bawah Bendera La Ilaha Illallah. Jakarta: Darul Falah.
- Pijper, Guillaume Frédéric (1984). Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900–1950. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
- Poepowardojo, Soerjanto; Bertens, K. (1983). Sekitar Manusia: Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Rahardjo, Dawam (2000). Sejarah Agama dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Malik, Fazlur Rahman (1985). Islam dan Modernitas: Transformasi Sebuah Tradisi Intelektual. Bandung: Pustaka.
- Sihbudi, Muhammad Riza (1989). Dinamika Revolusi Islam Iran: Dari Jatuhnya Syah Hingga Wafatnya Ayatullah Khomeini. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
- Syari'ati, Ali (2001). Paradigma Kaum Tertindas: Sebuah Kajian Sosiologi Islam. Jakarta: Islamic Center Jakarta Al-Huda.