Lompat ke isi

Aktivisme media

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Para demonstran Occupy Wall Street, gerakan protes kepada pemerintah di Zuccotti Park, sedang menggunakan laptop mereka

Aktivisme media adalah kategori aktivisme yang luas yang memanfaatkan media dan teknologi komunikasi untuk gerakan sosial dan gerakan politik. Metode aktivisme media termasuk menerbitkan berita di situs web, membuat konten investigasi, menyebarkan informasi tentang protes, hingga mengatur kampanye. Aktivisme media digunakan untuk berbagai macam tujuan. Media sosial sering kali menjadi alat bagi para aktivis akar rumput dan anarkis untuk menyebarkan informasi yang tidak tersedia di media arus utama atau untuk membagikan berita yang disensor.[1] Bentuk-bentuk tertentu dari peretasan bermotif politik dan kampanye berbasis internet juga dianggap sebagai aktivisme media. Biasanya, tujuan aktivisme media adalah untuk menyebarkan kesadaran melalui komunikasi media yang terkadang mengarah pada tindakan.[2]

Aktivisme media memberi kelompok-kelompok marginal kemampuan untuk menyuarakan pendapat mereka dan berorganisasi dalam kelompok yang lebih besar.[3] Selain komunitas marginal, aktivisme media memungkinkan generasi muda untuk bersuara dalam situasi ketika secara hukum mereka tidak dapat melakukannya — misalnya ketika mereka belum memiliki hak pilih[4]

Media sosial sering digunakan sebagai alat aktivisme media. Karena fitur interaktif dan dipakai secara luas, pengguna dapat dengan cepat menyebarkan informasi dan menggalang pendukung.[5] Media sosial seperti Facebook dan Twitter dapat menjangkau audiens yang jauh lebih besar daripada media konvensional. Interaksi media sosial dipandang sebagai “langkah pertama dalam tangga keterlibatan".[6] "Media sosial telah membantu kami mengorganisasi diri tanpa pemimpin,” kata Victor Damaso, 22 tahun, yang berdemonstrasi di jalan utama Paulista Avenue, São Paulo, pada Kamis malam. “Ide-ide kami, tuntutan kami didiskusikan di Facebook. Tidak ada rapat, tidak ada aturan”.[7]

Aplikasi penyiaran langsung atau situs web seperti Livestream adalah bentuk media lain yang dapat menggantikan TV ketika ada semacam sensor. Protes di Istanbul dapat menjadi contoh dari cara penyiaran ini dalam hal kurangnya objektivitas media konvensional dan televisi.[8] Selain itu, penggunaan aplikasi seperti WhatsApp dapat meningkatkan pengorganisasian di antara para pemrotes dengan fitur tambahan seperti pesan grup.[9]

Aktivisme media telah memperluas cakupannya hingga mencakup bidang-bidang studi seperti jurnalisme dan media berita.[10] Aktivisme media juga melatih audiens untuk menjadi produsen media mereka sendiri.[11]

Studi kasus

[sunting | sunting sumber]

Media sosial telah menjadi alat pengorganisasian utama untuk gerakan politik dan sosial secara global.[12] Mereka berfungsi untuk memperkuat jaringan hubungan politik dan sosial yang sudah ada di antara para aktivis secara luring.[13] Aktivisme media di kalangan anak muda dapat ditindau dari cara mereka melakukan protes dan membuat komunitas daring untuk isu-isu tertentu dan hubungan sosial.[14]

Black Lives Matter

[sunting | sunting sumber]

Black Lives Matter, sebuah kampanye melawan kekerasan dan rasisme sistemik terhadap orang Afrika-Amerika, dipengaruhi oleh aktivisme media karena para pemimpin, tagar, dan tuntutan mereka muncul di media sosial. Tagar #blacklivesmatter diciptakan pada tahun 2013 oleh Patrisse Cullors, Alicia Garza, dan Opal Tometi setelah pembebasan George Zimmerman atas pembunuhan di Florida terhadap Trayvon Martin yang berusia tujuh belas tahun.[15] Garza menulis sebuah posting Facebook berjudul “A Love Note to Black People” yang mengatakan “Kehidupan Kita Penting, Kehidupan Orang Kulit Hitam Penting.” Tagar tersebut belakangan menjadi seruan untuk berbagai upaya pengorganisasian di seluruh negeri yang berpusat pada kehidupan orang kulit hitam.[16]

Pembungkaman

[sunting | sunting sumber]

Negara-negara seperti Korea Utara, Venezuela, dan Cina telah mencoba membatasi aktivisme media melalui berbagai siasat. Cina melakukan penyensoran media atas nama ketertiban nasional, meskipun Dewan Hubungan Luar Negeri berpendapat bahwa penindasan aktivisme daring adalah untuk melindungi kepentingan politik dan ekonomi pemerintah.[17] Di Korea Utara, negara membatasi hampir semua bentuk komunikasi digital, tetapi beberapa jurnalis warga transnasional telah menggunakan teknologi seperti ponsel dan flashdisk untuk mengkomunikasikan berita yang akurat kepada warga negara dan di luar negeri.[18]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Kim Deterline. "FAIR's Media Activism Kit". Retrieved December 19, 2012.
  2. ^ Andors, Ph.D., Ellen (2012). The Task of Activist Media. Peoples Video Network. 
  3. ^ Cammaerts, Bart (2015-02-11). "Social Media and Activism". The International Encyclopedia of Digital Communication and Society: 1–8. doi:10.1002/9781118767771.wbiedcs083. ISBN 9781118290743. 
  4. ^ "The Darker Sides of Social Media Activism". 19 December 2019. 
  5. ^ Ed Carrasco (March 26, 2012). "How Social Media Has Helped Activism". New Media Rockstars. Retrieved December 19, 2012
  6. ^ Sarah Kessler (October 9, 2010). "Why Social Media Is Reinventing Activism". Mashable. Retrieved December 19, 2012
  7. ^ "Social media spreads and splinters Brazil protests". Reuters. 21 June 2013. 
  8. ^ Kantrowitz, Alex. "Social Media And Istanbul's Protests: Four Things You Need To Know". Forbes. 
  9. ^ Kates, Glenn (7 June 2013). "Smart-Phone Tool Lets Turkish Protesters Know WhatsApp". Radio Free Europe/Radio Liberty – via Radio Free Europe / Radio Liberty. 
  10. ^ "Media Activism". Burlington College. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 May 2013. Diakses tanggal 13 May 2013. 
  11. ^ "Toolbox". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-07-03. 
  12. ^ Shirky, Clay (2010-12-20). "The Political Power of Social Media". Foreign Affairs. Council on Foreign Relations. 90 (January/February 2011). Diakses tanggal 14 May 2013. 
  13. ^ Poell, Thomas (24 April 2012). "Twitter as a multilingual space: The articulation of the Tunisian revolution through #sidibouzid". NECSUS. Diakses tanggal 14 May 2013. 
  14. ^ Wolf, Linda (2001). Global Uprising: Confronting the Tyrannies of the 21st Century : Stories from a New Generation of Activists. New Society Publ.
  15. ^ Monica; erson; Hitlin, Paul (2016-08-15). "3. The hashtag #BlackLivesMatter emerges: Social activism on Twitter". Pew Research Center: Internet, Science & Tech. Diakses tanggal 2016-11-20. 
  16. ^ Rickford, Russell (2016). "Black Lives Matter". New Labor Forum. 25: 34–42. doi:10.1177/1095796015620171. 
  17. ^ Bennett, Isabella. "Media Censorship in China". Council on Foreign Relations. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 May 2017. Diakses tanggal 14 May 2013. 
  18. ^ Boynton, Robert (February 2011). "North Korea's Digital Underground". The Atlantic.