Arie Hanggara (film)
Arie Hanggara | |
---|---|
Sutradara | Frank Rorimpandey |
Produser | |
Ditulis oleh | Arswendo Atmowiloto |
Pemeran | Yan Cherry Budiono Deddy Mizwar Joice Erna Anissa Sitawati Cok Simbara Zaenal Abidin Nani Wijaya Mien Brodjo Sofia WD Rachmat Hidajat Julie Soleh Anton Indracaya Janter Simorangkir Ferry Iskandar |
Penata musik | Idris Sardi |
Perusahaan produksi | Manggala Perkasa Film Tobali Indah Film |
Tanggal rilis | 1985 |
Durasi | 108 menit |
Negara | Indonesia |
Penghargaan |
---|
Festival Film Indonesia 1986 |
|
Arie Hanggara adalah sebuah film drama Indonesia tahun 1985 yang diangkat dari kisah nyata, garapan sutradara Frank Rorimpandey. Film ini dibintangi antara lain oleh Yan Cherry Budiono, Deddy Mizwar, Joice Erna, Anissa Sitawati, dan Cok Simbara.
Film ini membuahkan Piala Citra pertama untuk Deddy Mizwar sebagai Aktor Terbaik pada FFI 1986.
Sinopsis
[sunting | sunting sumber]Film ini menceritakan tentang kisah nyata setelah warga Jakarta dihebohkan kasus meninggalnya seorang bocah 6 tahun bernama Arie Hanggara akibat penyiksaan orang tuanya hingga meninggal dunia. Media massa meliput penuh gempita kabar ini.
Film ini berkisah tentang seorang penganggur kelas berat bernama Tino Ridwan (Deddy Mizwar). Sifatnya yang pemalas, tukang janji kelas kakap, dan pembuat anak yang kuat menyebabkan saudara dari pihak istrinya menggunjinginya sebagai pejantan yang hanya kuat membuat anak.
Karena tak punya kerjaan dan disertai dengan harga diri yang tinggi, sementara Jakarta meminta terlalu banyak, bersiteganglah si Tino dengan istrinya, Dahlia (Anissa Sitawati). Sang istri kembali ke Depok dan Tino menitipkan anak-anaknya ke rumah neneknya untuk kemudian diambil lagi sewaktu dia sudah hidup bersama dengan pacarnya, Santi (Joice Erna) secara kumpul kebo.
Di rumah kontrakan kecil ini hiduplah lima orang manusia. Tino dan Santi serta tiga anak Tino dari istri pertamanya: Anggi (tertua), Arie, dan Andi (si kecil). Sementara, anak ketiganya, Arki, dibawa oleh Dahlia.
Tino sadar betul dengan profesinya sebagai penganggur. Dia pun sehabis mengantar istri ke kantor, dia melamar kerja di sana dan di sini. Tapi tidak dapat-dapat juga. Teman-teman dihubungi, tetapi semuanya menolak. Padahal di rumah rokoknya terus mengebul dan omongannya juga besar.
Santi sudah mulai cerewet, kerja tidak didapatkan juga, anak-anak di rumah kian membandel saja. Oleh karena ini semua Tino selalu menetapkan aturan yang keras kepada anaknya. Apa saja harus diatur. Tapi Arie Hanggara (Yan Cherry Budiono), si anak kedua ini, selalu membandel dengan aturan ini. Wajah Yan Cherry Budiono yang memerankan Arie ini memang wajah memelas. Sosoknya pendiam. Tapi diamnya Arie adalah diam yang meresahkan Tino.
Tino sebetulnya sayang dengan anak ini. Santi demikian juga adanya. Namun Santi mulai cerewet dan menyindir-nyindir Tino atas kenakalan anak-anaknya. Lama-lama dia mulai jengkel, terutama kepada Arie. Mula-mula kalau semuanya berkumpul di meja makan malam hari, Tino sudah memperingati dan memaklumkan aturan supaya jangan nakal dan jangan nakal.
Akan tetapi Arie Hanggara tetap membandel dengan aturan itu. Mulai dari memalsukan tanda tangan hingga mengaku telah mencuri uang. Akibatnya, Tino kerap memukul Arie. Santi pun ikut menghajar dengan menjambak rambut atau mengguyur sekujur tubuh Arie. Awalnya dipukuli, Arie masih mengaduh, tetapi lama-lama anak ini menjadi adiktif dan seperti meminta untuk dihukum. Lantaran takut melanggar, Arie sering berbohong.
Di sekolah, Arie jadi pendiam dan asosial. Maka jadi bulan-bulananlah dia. Beruntung, ibu gurunya, Khadijah (Sofia WD) sangat bijaksana.
Karena merasa sakit perilaku Arie sudah tak bisa diobati di sekolah SD Negeri, Tino pun berencana membawa Arie ke pesantren di Jawa Timur.
Tapi sayang sebelum dia dibawa ke pesantren, dia harus melakukan kesalahan lagi. Tapi kali ini kesalahan kakaknya. Tapi Arie mengaku bahwa dialah yang melakukannya. Bahkan dia minta digantung saja atau tangan diikat saja supaya tak nakal lagi. Karena merasa ditantang, Tino pun mengikat tangan Arie. Sementara Arie diikat, dua saudaranya yang lain memberinya makan diam-diam.
Tugas Arie pada hari kedua sebelum kematian adalah membersihkan kamar mandi. Tapi Arie malas-malasan. Arie dipanggil. Arie maju ke hadapannya. Bergeraklah tangan si Tino penganggur ini ke pantat. Dihukumlah anak ini berdiri jongkok. Kakak dan adiknya melihat Arie yang terhuyung-huyung ngantuk sambil memeluk lutut di lantai menjalani hukuman yang mestinya tak boleh ditanggungnya. Ia tak boleh makan, adik dan kakaknyalah yang diam-diam memberinya biskuit. Tatkala mereka menawarkan diri memberi Arie minum, Arie menolak. Dan malapetaka itu pun terjadi.
Santi pada malam malapetaka dan besoknya Arie dan Tino akan berangkat ke Jatim itu masih manis menasehati Arie untuk minta maaf saja dengan Tino, ayahnya. Tapi Arie tak melakukannya, malah dibilangnya pada ibu tirinya itu, dia lebih baik dihukum terus saja. Maka menyambarlah tangan Santi yang mendorong Arie ke dinding. Tino berdiri dan menggampar pantat kecil anak malang ini sementara Santi duduk sambil menjahit di ruang makan. Mata Arie yang lebam kebiruan memandang sendu bapaknya. Tak tahan memandang mata anak itu, diambilnya tongkat sapu. Diganyangnya pantat itu dengan pukulan bertalu-talu. Menjeritlah Santi melihat ulah Tino. Anak ini tidak mau lagi menangis. Menatap bapaknya dengan sangat tajam, tetapi raut wajah dingin yang mengerikan. Lalu dengan kesal dan kalap satu tamparan keras menghantam pipi kiri Arie dan terjungkallah ia ke lantai.
Suara Tino mengendur dan dia menangis. Mungkin capek menghadapi sikap Arie yang dingin, patuh, tetapi kepatuhan yang melawan. Lalu Tino memberinya air minum. Arie tetap di dekat tembok menjalani hukuman. Mereka sempat pelukan. Dan Arie minta minum lagi. Tapi Tino mengancam, setelah dia diberi minum, tidak boleh lagi minum tanpa seizinnya. Arie pun dengan datar berjanji untuk tak minum lagi.
Mungkin karena jiwa anak ini sudah mau bunuh diri di tangan ayahnya sendiri, dia melanggar lagi sabda si penganggur ini. Dia mengambil air minum, tetapi gesekan gelasnya didengar oleh Tino. Tino bangun dan lupa bahwa mereka besok mau ke pesantren. Dia kalap. Arie, anak malang ini, harus menjadi santapan kemarahan jam dua dini hari itu. Tak ada teriakan. Tak ada rintihan. Tak ada apapun keluar dari mulut anak yang sudah mencium bau kematian sejak 6 November ini yang bahkan satu jam sebelum kematiannya dia sudah berpesan kepada dua saudaranya bahwa ia akan pergi dengan sangat jauh. Arie terjatuh di lantai. Paniknya Tino dan Santi subuh itu melihat anak itu dan membawanya ke RS hingga akhirnya Arie dinyatakan meninggal.
Ada raut sesal berkecamuk di hati Tino. Matanya bersimbah air mata melihat Arie terbujur kaku di atas ranjang roda berkain putih yang ditarik perawat putih-putih menuju dunia putihnya. Tapi apa boleh buat. Arie sudah tiada. Arie, si anak malang yang sudah mencium bau kematiannya itu meninggal di dinding penghukumannya. Dahlia yang mendengar kabar itu pun sangat terpukul dan marah pada Tino.
Kemudian Tino dan Santi didakwa atas tuduhan menyiksa anak mereka sendiri. Masyarakat pun murka dan menuntut hukuman berat bagi mereka berdua.
Koran-koran ibu kota terbit sore pun menulis dengan besar di halaman depan kematian tragis bocah malang Arie Hanggara. Arie adalah korban dari perceraian orang tuanya.
Setelah melalui berbagai persidangan, akhirnya pengadilan menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara bagi Tino dan 2 tahun penjara bagi Santi.
Penghargaan dan Nominasi
[sunting | sunting sumber]Tahun | Penghargaan | Kategori | Penerima | Hasil |
---|---|---|---|---|
1986 | Festival Film Indonesia | Pemeran Utama Pria Terbaik | Deddy Mizwar | Menang |
Pemeran Anak Terbaik | Yan Cherry Budiono | Menang | ||
Skenario Terbaik | Arswendo Atmowiloto | Nominasi | ||
Tata Musik Terbaik | Idris Sardi | Nominasi |
Lihat juga
[sunting | sunting sumber]Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- (Inggris) Arie Hanggara di situs Online Film Database