Astini
Astini | |
---|---|
Latar belakang | |
Lahir | 22 September 1955 |
Meninggal | 20 Maret 2005 Surabaya, Jawa Timur, Indonesia | (umur 49)
Vonis | Hukuman Mati |
Pembunuhan | |
Jumlah korban | 3 |
Negara | Indonesia |
Astini Sumiasih atau lebih lengkap sering ditulis oleh media sebagai Nyonya Astini adalah pembunuh berantai dengan motif tersinggung saat ditagih utang. Astini membunuh tiga penagih utangnya, antara lain Puji Astutik, Rahayu, dan Sri Astutik.[1]
Penagihan hutang
[sunting | sunting sumber]Astini memang terkenal sering meminjam uang kepada tetangga-tetangganya karena kondisi ekonominya yang kekurangan. Kepada Puji Astutik, ia berhutang Rp20 ribu. Kepada Ibu Sukur atau Rahayu ia berhutang sebesar Rp1.250.000. Kepada Sri Astutik Wijaya, ia berhutang Rp250 ribu dan Rp300 ribu (total Rp550 ribu). Semuanya ditolak untuk dibayar dan membuat si penagih utang berkata-kata kasar. Inilah yang kemudian menjadi dalih tersinggung saat dihina.[1]
Pembunuhan
[sunting | sunting sumber]Pembunuhan terhadap Puji Astuti dilakukan pada Februari 1996, pukul 16:00 WIB di rumah Astini. Puji Astuti mengeluarkan kata-kata kasar saat menagih utang, yang membuat Astini tersinggung dan meraih sepotong besi lalu menghantamkannya ke kepala Puji. Setelah meregang nyawa, jenazahnya diseret ke dapur dan menutupnya dengan tikar. Pukul 02:00 dinihari, jenazah korban dimutilasi menjadi 10 bagian, yang kemudian ditebar ke berbagai tempat sampah dan sungai di Kota Surabaya.
Penangkapan
[sunting | sunting sumber]Potongan tubuh Puji Astuti kemudian ditemukan warga Kampung Wonorejo, Surabaya dalam kantong plastik di Sungai Wonorejo, yang kemudian diamankan polisi dan dan disimpan di kamar jenazah Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soetomo. Jenazah diidentifikasi oleh keluarga korban, Agus Purwanto, yang mengkonfirmasi itu adalah kepala kakaknya, Puji Astuti, yang sebelumnya dilaporkan hilang. Kebetulan saksi melihat bahwa terakhir kali Puji Astuti sebelum hilang masuk ke rumah Astini di Kampung Malang.[1][2]
Penahanan
[sunting | sunting sumber]Polisi segera menahan Astini dan menginterogasinya. Berdasarkan pengakuan Astini, ia melakukan hal serupa kepada Rahayu dan Sri Astutik yang juga hilang dari Kampung Malang pada 1992 dan 1993. Kejahatannya juga sama persis, bermotif tersinggung karena ditagih hutang dengan kata-kata kasar. Ia juga memotong-motong tubuh keduanya menjadi 10 bagian kemudian membuangnya.[1] Pada tahun 1993 sempat ditemukan potongan tangan yang belakangan diyakini adalah milik Sri Astutik. Sementara jasad Rahayu tidak pernah ditemukan.
Vonis dan Eksekusi
[sunting | sunting sumber]Setelah dihukum mati oleh Pengadilan negeri Surabaya pada tanggal 17 Oktober 1996, Astini masih berupaya mengulur waktu eksekusi dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Sembari menunggu banding, ia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Sukun Malang, Jatim. Hasilnya, bandingnya ditolak pada Januari 1997. Pengadilan Tinggi Jawa Timur malah menguatkan putusan PN Surabaya. Ia lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada Juni 1997 MA kembali menguatkan putusan tersebut. Ia mencoba lagi PK ke MA yang juga ditolak. Permohonan grasinya kepada Presiden juga tak dikabulkan.[1]
Sebelum eksekusi, Astini dipindah dari LP Sukun Malang ke Rutan Medaeng, Sidoarjo, lalu menjalani masa isolasi selama 5 hari, 15-19 Maret 2005. Ia dieksekusi pada 20 Maret 2005, dengan cara ditembak di daerah jantung oleh 12 personel regu tembak Brigade Mobil Kepolisian Daerah Jawa Timur, dengan 6 peluru. Jasadnya dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah dokter Soetomo Surabaya, Jatim untuk diotopsi. Ia dinyatakan mati pukul 01:20 WIB.[1][3]
Pada tanggal 18 Maret 2005, Astini memakan makanan favoritnya berupa roti, cumi-cumi, dan buah-buahan. Ia juga meninggalkan 3 pesan sebelum eksekusi.[4]
Penimbangan ulang hukuman mati
[sunting | sunting sumber]Kasus Astini sering dijadikan pertimbangan ulang terhadap hukuman mati.[5] Saat menunggu hukuman mati, Astini mengeluh bahwa tidak ada yang memperhatikan nasibnya, bahkan sekedar membesuk. Ia juga mengkhawatirkan nasib 3 anaknya. Ketiga anak Astini pun lantas berada dalam tanggungan Andreas Nurmandala. Bahkan, ia mengaku telah menyekolahkan putra-putri Astini hingga tamat Sekolah Menengah Atas (SMA).[6]
Peninggalan rumah
[sunting | sunting sumber]Rumah kontrak Astini kemudian dikontrakkan kepada beberapa keluarga, namun warga menyatakan rumah tersebut jadi terlihat seram dan mengeluarkan bau amis darah. Kamar yang dulunya dapur tempat pembunuhan terjadi, tidak ada yang berani menggunakan sebagai kamar tidur. Kini rumah tersebut dikontrak keluarga Soekardi dan Supriyadi.[7]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f "Matinya Seorang Pejagal". liputan6.com. 29 Maret 2005. Diakses tanggal 19 September 2020.
- ^ Ini Kasus Pembunuhan Berantai Paling Heboh di Jatim. dari situs jatimnet
- ^ Kami Puas Hutang Nyawa Dibayar Nyawa. dari situs berita tempo
- ^ Makanan terahir terpidana mati. dari situs litanythrift.blogspot.com
- ^ Dead Man Walking. dari situs geocities
- ^ Kisah Pendamping Terpidana Mati. dari situs okezone
- ^ Rumah Astini Bernuansa Horor. dari situs berita detik