Bad Pharma
Pengarang | Ben Goldacre |
---|---|
Subjek | Industri farmasi |
Penerbit | Fourth Estate (Britania Raya), Faber & Faber (AS), Signal (Kanada) |
Tanggal terbit | 25 September 2012 |
Jenis media | Cetak |
Halaman | 430 (edisi pertama) |
ISBN | ISBN 9780007350742 |
OCLC | 805010249 |
Didahului oleh | Bad Science |
Bad Pharma: How Drug Companies Mislead Doctors and Harm Patients adalah sebuah buku karya dokter dan penulis asal Britania Raya, Ben Goldacre, yang diterbitkan oleh Fourth Estate pada tahun 2012. Buku ini membahas bagaimana perusahaan-perusahaan farmasi membayar dokter-dokter untuk mempromosikan produk mereka serta menyeleksi percobaan klinis dari obat-obat mereka. Goldacre mengklaim bahwa, "(Dunia) kedokteran telah rusak," serta, "... orang-orang yang seharusnya bisa dipercaya untuk memperbaikinya telah gagal."[a] Buku ini memperoleh tanggapan-tanggapan positif dari beberapa ulasan buku di pers dan jurnal ilmiah dengan menyerukan adanya transparansi hubungan antara industri farmasi dengan dokter.[1][2][3]
Latar belakang
[sunting | sunting sumber]Ben Goldacre menempuh pendidikan filsafat di King's College London dan lulus pada tahun 1998. Ia juga menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Oxford dan Universitas Kolese London. Goldacre pada tahun 2003 mulai menjadi penulis rubrik berjudul Bad Science dalam surat kabar The Guardian yang membahas mitos-mitos ilmu semu (pseudosains) yang beredar di masyarakat. Pada tahun 2008, buku pertamanya yang juga berjudul Bad Science terbit yang membahas di antaranya mitos-mitos kesehatan seperti pengobatan alternatif, kesalahan penafsiran data dan grafik, serta denialisme HIV/AIDS.[4][5][6]
Isi
[sunting | sunting sumber]Bad Pharma membahas mengenai pengaruh industri farmasi, para dokter, jurnal kedokteran, dan badan-badan regulasi obat pemerintah terhadap obat-obatan yang beredar, diresepkan oleh dokter-dokter, dan dikonsumsi oleh masyarakat. Pada awal karier kedokterannya sebagai seorang psikiater, Goldacre meresepkan obat reboksetin kepada seorang pasien yang mengalami depresi. Ia telah membaca penelitian uji klinis mengenai obat tersebut dan menilai bahwa obat tersebut bagus. Reboksetin juga telah mendapat izin beredar dari Badan Regulasi Kedokteran dan Produk Kesehatan Britania Raya serta telah dipakai di banyak negara. Setelah mencari lebih jauh, Goldacre menemukan bahwa dari 7 uji klinis yang dilakukan terhadap reboksetin, hanya ada satu uji klinis yang memiliki hasil bahwa obat tersebut berefek lebih baik daripada plasebo. Uji klinis itu pula yang menjadi uji klinis reboksetin satu-satunya yang terbit dan yang ia pernah baca sebelumnya sementara enam uji klinis lainnya tidak diterbitkan. Pada enam uji klinis lainnya itu, reboksetin memiliki efek lebih buruk dibandingkan antidepresan lainnya.[7]
Bad Pharma juga membahas mengenai penelitian uji klinis untuk obat yang hasilnya dapat diseleksi oleh perusahaan tersebut agar obat terlihat bagus dan ampuh. Data-data hasil dari uji klinis yang dinilai buruk seperti tentang efek samping atau ketidakefektifan obat juga dapat disembunyikan. Hasil uji klinis itu sendiri juga dapat direka seperti melalui metode, analisis, pengubahan tujuan pengujian, dan penghentian periode pengujian secara lebih dini. Karakteristik populasi dalam uji klinis juga dapat diatur agar menghasilkan hasil pengujian yang dikehendaki. Hal tersebut mencakup tindakan seperti menggunakan sampel yang kecil ataupun dengan menguji obat pada populasi yang berbeda dengan populasi yang akan menerima obat sebagai pasien pada umumnya, misalnya dengan hanya menguji obat pada penduduk asal etnis tertentu dan tidak menyertakan orang lansia ataupun orang dengan komorbid lain.[2][8]
Goldacre juga menceritakan dokter-dokter yang dibayar oleh industri farmasi untuk mempromosikan obat mereka. Penerbit jurnal kedokteran dapat memperoleh imbalan jika menerbitkan hasil dari uji klinis obat di dalam jurnal-jurnal mereka. Goldacre menulis bahwa industri farmasi memiliki anggaran triliunan dolar tiap tahunnya yang digunakan untuk "membeli" dokter-dokter dan jurnal serta mendanai acara-acara yang mengundang dokter, insentif dan hibah untuk dokter, hingga pendidikan pascasarjana dokter-dokter.[1][7][9]
Tanggapan dan pengaruh
[sunting | sunting sumber]Beberapa minggu setelah buku ini terbit, Association of the British Pharmaceutical Industry (ABPI) yang merupakan asosiasi perusahaan farmasi di Britania Raya, mengeluarkan pernyataan bahwa industri farmasi Britania Raya tetap memegang teguh terhadap regulasi dan bahwa kritik-kritik yang disampaikan dalam buku ini merupakan cerita-cerita lama yang sudah tidak aktual lagi.[10] Pada sebuah diskusi yang diadakan oleh media Pharma Times, Ketua Eksekutif ABPI, Stephen Whitehead, mengatakan bahwa terdapat upaya-upaya yang ingin memojokkan industri farmasi dan bahwa Goldacre melalui bukunya sedang berusaha menyerang kredibilitas industri farmasi Britania Raya. Diskusi tersebut diadakan juga setelah Goldacre, bersama dengan British Medical Journal dan lembaga Sense about Science mendirikan program AllTrials pada penghujung tahun 2012 untuk melacak uji-uji klinis dari obat-obatan yang beredar di masyarakat. Tania Browne dari The Guardian menilai bahwa pernyataan Whitehead tersebut bertolak belakang dengan banyaknya organisasi-organisasi kesehatan yang mendukung petisi AllTrials.[11][12]
Sejumlah perusahaan-perusahaan farmasi kemudian menyatakan bahwa mereka akan mempublikasikan metode dan hasil uji klinis obat-obatan mereka secara penuh. GlaxoSmithKline pada awal tahun 2013 menyatakan bahwa perusahaan tersebut mendukung pempublikasian uji klinis yang dapat diulas secara terbuka. Pernyataan tersebut disambut baik oleh Goldacre dan para pendiri AllTrials. Tapi beberapa beberapa perusahaan dinilai tidak cukup transparan dalam rencana publikasinya. Pernyataan yang dikeluarkan oleh perusahaan farmasi Roche pada awal tahun 2013 memperoleh respon negatif dari Sense about Science yang menginginkan uji klinis diterbitkan seluruhnya secara publik tidak dalam suatu panel tertutup.[13][14][15]
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Kalimat asli dalam bahasa Inggris: "Medicine is broken," dan "... the people you should have been able to trust to fix [its] problems have failed you."
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Dillner, L. (2012-10-17). "Bad Pharma by Ben Goldacre – review". The Guardian. Diakses tanggal 2020-01-05.
- ^ a b Edwards, N. (2013). "Bad Pharma". Journal of the Royal Society of Medicine. 106 (2): 72–73. doi:10.1177/0141076813477618.
- ^ "Pick your pill out of a hat". The Economist. 2012-09-29. Diakses tanggal 2020-01-23.
- ^ "Ben Goldacre's 'Words of Wisdom'". King's Alumni Community. King's College London. Diakses tanggal 2020-01-23.
- ^ Rykers, E. (2016-11-07). "Ben Goldacre and the power of evidence". Lateral Magazine. Diakses tanggal 2020-01-23.
- ^ Bouton, K. (2010-11-01). "Wrapped in Data and Diplomas, It's Still Snake Oil". The New York Times. Diakses tanggal 2020-01-23.
- ^ a b Smith, R. (2012). "Bad medicine". eLife. 1: e00351. doi:10.7554/eLife.00351.
- ^ Li, M. (2013). "Ben Goldacre (2012), 'Bad Pharma: How drug companies mislead doctors and harm patients'". Reinvention: an International Journal of Undergraduate Research. 6 (2). Diakses tanggal 2020-01-23.
- ^ Folb, P. I. (2013). "'Bad Pharma: How Drug Companies Mislead Doctors and Harm Patients' - By Ben Goldacre. London: Fourth Estate. 2012. ISBN 978-0-00-735074-2". South African Medical Journal. 103 (6): 364. doi:10.7196/SAMJ.6833.
- ^ Adams, B. (2012-10-12). "Goldacre takes ABPI to task over book snub". Pharma Times. Diakses tanggal 2020-01-23.
- ^ Krentz, A. J. (2013). "From 'Bad Pharma' to better guidance?:". Cardiovascular Endocrinology. 2 (1): 1–3. doi:10.1097/XCE.0b013e32835fdee7.
- ^ Browne, T. (2013-03-04). "Alltrials v the ABPI: a prescription for bad PR". The Guardian. Diakses tanggal 2020-01-24.
- ^ Adams, B. (2013-02-06). "GSK backs AllTrials campaign". Pharma Times. Diakses tanggal 2020-01-24.
- ^ Godlee, F. (2012). "Clinical trial data for all drugs in current use". BMJ. 345: e7304. doi:10.1136/bmj.e7304.
- ^ Grogan, K. (2013-02-27). "Critics unconvinced as Roche expands access to data". Pharma TImes. Diakses tanggal 2020-01-24.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Why – and how – I wrote Bad Pharma - Bad Science