Badui Luar
Badui Luar adalah salah satu kelompok etnik dari suku Badui yang menghuni wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Indonesia. Pemerintahan pada masyarakat Badui Luar dipimpin secara adat oleh Jaro dan secara nasional oleh Kepala Desa Kanekes. Masyarakat Badui Luar bekerja sebagai petani dengan lahan berpindah-pindah. Hasil pertanian kemudian diperjual belikan.
Badui Luar memiliki pakaian adat dengan warna hitam dan biru tua. Agama yang dianut oleh Badui Luar ialah Islam tetapi tetap mempertahankan ajaran-ajaran dasar dalam Sunda Wiwitan yang diyakini oleh Badui Dalam. Badui Luar mengandalkan sungai dalam berbagai kegiatan hariannya.
Wilayah
[sunting | sunting sumber]Badui Luar merupakan salah satu kelompok etnik yang menghuni wilayah Kabupaten Lebak.[1] Penamaan kelompok Badui Luar membedakannya dengan satu kelompok etnik sesama suku Badui dengan wilayah yang berbeda, yakni Badui Dalam.[2] Badui Luar berbagi wilayah dalam satu desa dengan Badui Dalam, yakni Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.[3] Jumlah kampung Badui Luar bertambah seiring terjadinya pemekaran wilayah di Desa Kanekes. Wilayahnya pernah sebanyak 55 kampung.[4] Wilayah Badui Luar telah tersebar di 64 kampung yang terpisah-pisah lokasinya.[5]
Pemerintahan
[sunting | sunting sumber]Badui Luar memiliki pemimpin adat yang disebut Jaro. Pusat pemerintahan Badui Luar terletak di wilayah Badui Dalam. Pemerintahan Jaro tergabung dengan Badui Dalam dengan pemimpin tertinggi dinamakan Puun. Kebijakan dan keputusan hukum adat diberikan oleh Puun kepada tangtu. Namun Jaro hanya berperan sebagai pelaksana dan pengawas hukum adat Badui Luar termasuk dalam hal pelanggaran atas hukum.[6]
Anggota masyarakat Badui Luar yang melakukan pelanggaran tindak pidana di luar wilayah Badui Luar akan menerima hukuman dari Kepala Desa Kanekes. Penetapan hukum pidana atas anggota masyarakat Badui Luar berdasarkan kepada hukum pidana nasional. Sementara itu, diadakan pembersihan batin oleh pemimpin adat Badui Dalam.[7]
Perekonomian
[sunting | sunting sumber]Masyarakat Badui Luar umumnya bekerja pada ladang yang berpindah-pindah. Hasil panen utamanya ialah beras, sayur dan buah. Pertanian masyarakat Badui Luar tidak menggunakan bajak atau cangkul karena adanya prinsip pengolahan lahan yang merusak tanah sesedikit mungkin.[8] Badui Luar menerapkan larangan pengubahan lahan menjadi sawah.[9]
Masyarakat Badui Luar dahulu mengadakan perdagangan dengan sistem barter. Hasil panen yang dihasilkan ditukar dengan kebutuhan harian seperti ikan asin, terasi dan garam. Kemudian sistem perdagangan berganti dengan penukaran uang sebagai alat pembayaran yang sah dalam jual beli.[10] Selain itu, penduduk Badui Luar mulai mengadakan jual beli secara daring.[11] Penduduk Badui Luar telah mengandalkan enau dan sayur sebagai sumber penghasilan utamanya.[12]
Kehidupan sosial
[sunting | sunting sumber]Adat
[sunting | sunting sumber]Aturan adat yang diterapkan pada Badui Luar lebih longgar dibandingkan dengan Badui Dalam.[13] Nama aturannya ialah pikukuh yang berkaitan dengan penjagaan atas agama asli suku Baduy yakni Sunda Wiwitan.[14] Larangan-larangan yang harus dipatuhi oleh Badui Dalam tidak berlaku bagi Badui Luar.[13]
Pakaian adat Badui Luar dapat dibedakan dengan Badui Dalam. Pada masyarakat Badui Dalam umumnya mengenakan pakaian berwarna serba putih dan terkadang pakaian berwarna serba hitam. Sementara itu, Badui Luar mengenakan pakaian serba hitam dan biru.[15] Baju adat Badui Luar dinamakan kampret. Warnanya hitam atau biru tua dan memiliki kancing dan kantong. Model baju Badui Luar merupakan hasil pengaruh dari budaya luar. Celana Badui Luar berwarna biru kehitaman dan terbuat dari bahan kain. Selembar kain digunakan sebagai ikat pinggang untuk melilitkan celana ke pinggang. Pada bagian kepala, Badui Luar menggunakan penutup kepala dan ikat kepala berwarna biru tua dengan corak batik.[16]
Pernikahan
[sunting | sunting sumber]Mayoritas penduduk Badui Luar beragama Islam sehingga pengesahan pernikahan dalam masyarakat Badui Luar dilakukan oleh penghulu. Namun terdapat larangan untuk mengadakan poligami di dalam masyarakat Badui Luar.[17] Seorang laki-laki yang telah beristri dan ingin menikahi perempuan lain, maka ia harus menceraikan istrinya.[18]
Pendidikan
[sunting | sunting sumber]Penduduk Badui Luar menerapkan sistem pendidikan nonformal. Pengajaran dipimpin langsung oleh pemimpin adat di dalam rumah atau di lapangan. Materi pengajaran yang disampaikan oleh pemimpin adat berkaitan dengan aspek pemenuhan kebutuhan hidup harian. Pemimpin adat mengajarkan tentang aturan hidup, ekonomi, sosial dan lingkungan. Pengajaran dilakukan untuk mendidik masyarakat menjadi orang yang jujur.[19] Badui Luar menerapkan larangan bagi setiap anggotanya untuk mengikuti pendidikan formal di sekolah.[9]
Teknologi
[sunting | sunting sumber]Masyarakat Badui Luar telah memperoleh pengaruh dari luar suku Badui. Rumah penduduk Badui Luar telah menggunakan teknologi berupa alat-alat bantu dengan peralatan rumah tangga modern.[20] Kedatangan pengunjung ke wilayah Badui Luar setiap tahunnya telah mengubah teknologi yang digunakan oleh masyarakatnya. Masyarakat Badui Luar telah menggunakan telepon genggam dan telah mendirikan warung yang menyediakan kebutuhan wisatawan di wilayahnya.[21]
Lingkungan
[sunting | sunting sumber]Badui Luar memiliki sebuah prinsip bersama dengan Badui Dalam mengenai pelestarian lingkungan. Pepatah yang diwariskan secara turun-temurun yaitu "Gunung ulah dilebur, lebak ulah diruksak".[22] Badui Luar sangat menghargai keberadaan sungai dan airnya. Sungai menjadi sumber air minum dan digunakan untuk kegiatan mandi, mencuci, buang air kecil dan buang air besar. Pencemaran sungai dengan sampah dianggap sebagai pelanggaran oleh Badui Luar.[23]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Minsarnawati 2023, hlm. 1.
- ^ Ayubi dan Hudaeri 2020, hlm. 62.
- ^ Lubis 2009, hlm. 5.
- ^ Fathurokhman 2022, hlm. 74.
- ^ Minsarnawati 2023, hlm. 7.
- ^ Minsarnawati 2023, hlm. 8.
- ^ Fathurokhman 2022, hlm. 96.
- ^ Minsarnawati 2023, hlm. 9-10.
- ^ a b Fathurokhman 2016, hlm. 123.
- ^ Lubis 2009, hlm. 8.
- ^ Sururoh, dkk. 2020, hlm. 25.
- ^ Islami, dkk. 2018, hlm. 59.
- ^ a b Fathurokhman 2016, hlm. 82.
- ^ Sansena, M. A., dan Oktorida K., R., dan Wahyuni, I. (2018). Leksono, Suroso Mukti, ed. Ensiklopedia Tanaman Pangan dan Obat: Berbasis Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati di Masyarakat Adat Baduy Dalam. Serang: FKIP Untirta Publishing. hlm. 5. ISBN 978-602-51131-7-8.
- ^ Ayubi dan Hudaeri 2020, hlm. 63.
- ^ Islami, dkk. 2018, hlm. 13.
- ^ Lubis 2009, hlm. 12.
- ^ Fathurokhman 2016, hlm. 124.
- ^ Minsarnawati 2023, hlm. 2.
- ^ Adiyanto, Dimas Tri (2014). "Kearifan Lokal Masyarakat Baduy". Indonesia dalam Infografik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 19. ISBN 978-979-709-841-4.
- ^ Sururoh, dkk. 2020, hlm. 24.
- ^ Sururoh, dkk. 2020, hlm. 42.
- ^ Islami, dkk. 2018, hlm. 46.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Ayubi, S. A., dan Hudaeri, M. (2020). Djawafi, Agus Ali, ed. Jampe-Jampe Orang Baduy: Studi Kedudukan dan Fungsi Jampe-Jampe Mantra dalam Kehidupan Masyarakat Baduy (PDF). Serang: Penerbit A-Empat. ISBN 978-602-0846-74-3.
- Fathurokhman, Ferry (2016). Fauzi, Ahmad, ed. Hukum Pidana Adat Baduy dan Pembaharuan Hukum Pidana (PDF). Depok: INCA Publishing. ISBN 978-602-97460-2-0.
- Fathurokhman, Ferry (2022). Hukum Pidana Adat Baduy dan Pembaruan Hukum Pidana (PDF). Jakarta: Kencana. ISBN 978-623-384-136-8.
- Islami, R. A. Z. E., dkk. (2018). Saputra, Desma Yuliadi, ed. Sebuah Kajian Literasi Sains Masyarakat Suku Baduy (PDF). Serang: Untirta Press. ISBN 978-602-5587-08-5.
- Lubis, Djoharis (2009). Memberdayakan Suku Baduy. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia.
- Minsarnawati (2023). Nasrudin, Moh., ed. Teknik Penelitian Intervensi pada Masyarakat Baduy Luar (PDF). Pekalongan: PT Nasya Expanding Management. ISBN 978-623-423-736-8.
- Sururoh, L., dkk. (2020). Sururoh, Lien, ed. Banten: Memori dan Pengetahuan Lokal tentang Bencana (PDF). Jakarta Selatan: Perkumpulan Skala Indonesia.