Lompat ke isi

Mamluk

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Bani Mamluk)
Tentara berkuda Mamluk dilukis pada tahun 1810

Mamluk atau Mamalik (bahasa Arab: مملوك, mamlūk (tunggal), مماليك, mamālīk (jamak)) adalah seklompok keturunan budak belian kasta ksatria yang dimiliki oleh khalifah Islam yang berkuasa. Meskipun para Mamluk adalah belian, tetapi status mereka di atas budak biasa, budak biasa tidak diperkenankan membawa senjata dan juga dilarang melakukan aktivitas tertentu. Di beberapa tempat tertentu, seperti di Mesir, sejak masa Dinasti Ayyubiyah hingga masa Kesultanan Utsmaniyah, mamluk bahkan sudah menjadi majikan sejati yang status sosialnya di atas orang merdeka umumnya.[1]

Secara rinci dinasti Mamluk yang pernah berkuasa merujuk kepada:

Para prajurit Mamluk ini menciptakan kelas ksatria yang khusus,[2] yang memiliki kedudukan politik yang penting dan memiliki kekuasaan yang berumur panjang, bertahan sejak abad ke-9 hingga abad ke-19 masehi.

Seiring waktu, para Mamluk menjadi kasta militer yang sangat kuat dalam sebagian masyarakat Islam. Mamluk memegang kekuasaan politik dan militer khususnya di Mesir, juga di Syam, Irak, dan India. Dalam beberapa kasus, bahkan menjabat sebagai sultan, sebagian lain menguasai kekuasaan lokal sebagai Amir.

Periode Kesultanan Mamluk (1250–1517) yang paling terkenal adalah, di mana sebuah faksi Mamluk di Mesir berhasil mengambil alih kekuasaan dari penguasanya, Dinasti Ayyubiyah. Mereka awalnya merupakan prajurit budak yang berasal dari suku-suku bangsa Turki,[3] yang memanfaatkan keadaan Dinasti Ayyubiyah yang mulai melemah.

Kesultanan ini dikenal karena mampu memukul mundur invasi pasukan ilkhan dari Mongol pada Pertempuran Ain Jalut juga dalam melawan pasukan Salib, mereka secara efektif menggiring pasukan Salib keluar dari Syam pada 1291 hingga secara resmi era Pasukan salib berakhir pada 1302.[4]

Selayang pandang

[sunting | sunting sumber]

Pasukan Mamluk pertama kali dikerahkan pada zaman Kekhalifahan Abbasiyah pada abad ke-9. Bani Abbasiyah merekrut para prajurit ini dari kawasan Kaukasus dan sekitar Laut Hitam. Pada awalnya, mereka bukanlah pemeluk Islam. Dari wilayah Laut Hitam, terutama dari suku Kipchak, mereka direkrut oleh bangsa Turki.

Keistimewaan tentara Mamluk ini ialah mereka tidak mempunyai hubungan dengan golongan bangsawan atau pemerintah lain. Tentera-tentera Islam selalu setia kepada syekh, suku dan juga bangsawan mereka. Jika terdapat penentangan tentara Islam ini, cukup sulit bagi khalifah untuk menanganinya tanpa bantahan dari golongan bangsawan. Tentara budak juga golongan asing dan merupakan lapisan yang terendah dalam masyarakat. Sehingga mereka tidak akan menentang khalifah dan mudah dijatuhkan hukuman jika menimbulkan masalah. Oleh karena itu, tentara Mamluk adalah aset terpenting dalam militer.

Organisasi

[sunting | sunting sumber]
Seorang Mamluk Yunani Muslim yang digambarkan oleh Louis Dupré (lukisan minyak di atas kanvas, 1825).

Setelah memeluk Islam, seorang Mamluk akan dilatih sebagai tentara berkuda. Mereka harus mematuhi Furisiyyah, sebuah aturan perilaku yang memasukkan nilai-nilai seperti keberanian dan kemurahan hati dan juga doktrin mengenai taktik perang berkuda, kemahiran menunggang kuda, kemahiran memanah dan juga kemahiran merawat luka dan cedera.

Tentara Mamluk hidup dalam komunitas mereka sendiri. Waktu luang mereka diisi dengan permainan seperti memanah serta persembahan kemahiran bertempur. Latihan yang intensif dan ketat bagi anggota baru Mamluk memastikan bahwa tradisi dan budaya mereka tetap lestari.

Setelah tamat latihan, tentara Mamluk ini dimerdekakan tetapi mereka harus setia kepada khalifah atau sultan. Mereka mendapat perintah terus dari khalifah atau sultan. Tentara Mamluk selalu dikerahkan untuk menyelesaikan perselisihan antara suku setempat. Pemerintah setempat seperti amir juga mempunyai pasukan Mamluk sendiri tetapi lebih kecil dibandingkan pasukan Mamluk Khalifah atau Sultan.

Pada mulanya, status tentara Mamluk ini tidak boleh diwariskan dan anak lelaki tentara Mamluk dilarang mengikuti jejak langkah ayahnya. Di sebagian kawasan seperti Mesir, tentara Mamluk mulai menjalin hubungan dengan pemerintah setempat dan akhirnya mendapat pengaruh yang luas.

Kemajuan di bidang Ilmu kemiliteran

[sunting | sunting sumber]

Era Dinasti Mamluk

[sunting | sunting sumber]

Pada era Dinasti Mamluk produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang pesat. Sedangkan, pada zaman Shalahuddin, ada buku manual militer karya AT-Thurtusi (570 H/1174 M) yang membahas keberhasilan menaklukkan Yerussalem. Semenjak awal Islam memang menaruh perhatian khusus mengenai soal perang. Bahkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah meminta agar para anak lelaki diajari berenang, gulat, dan berkuda. Berbagai kisah peperangan seperti legenda Daud dan Jalut juga dikisahkan dengan apik dalam Al-Qur'an. Bahkan, ada satu surat di Al-Qur'an yang berkisah tentang `heroisme’ kuda-kuda yang berlari kencang dalam kecamuk peperangan.

”Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah. Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya). Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. Maka, ia menerbangkan debu dan menyerbu ke tengah kumpulan musuh.” (Al-‘Adiyat 1-4).

Kaum muslim sebenarnya pun sudah menulis berbagai karya mengenai soal perang dan ilmu militer. Berbagai jenis buku mengenai 'jihad' dan pengenalan terhadap seluk beluk kuda, panahan, dan taktik militer. Salah satu buku yang terkenal dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Catalogue yang merupakan karya Ibnu an-Nadim (wafat antara 380H-338 H/990-998 M).

Dalam karya itu, Al-Nadim menulis berbagai kategori mengenai cara menunggang kuda, menggunakan senjata, tentang menyusun pasukan, tentang berperang, dan menggunakan alat-alat persenjataan yang saat itu telah dipakai oleh semua bangsa. Karya semacam ini pun kemudian banyak muncul dan disusun pada masa Khalifah Abbasiyah, misalnya oleh Khalifah al-Manshur dan al-Ma’mun. Bahkan, pada periode kekuasaan Daulah Al-Mamluk produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang sangat pesat. Minat para penulis semakin terpacu dengan keinginan mereka untuk mempersembahkan sebuah karya kepada kepada para sultan yang menjadi penguasa saat itu. Pembahasan sering dibahas adalah mengenai seluk beluk yang berkaitan dengan serangan bangsa Mongol.

Era Salahuddin Ayyubi

[sunting | sunting sumber]

Pada zaman Shalahuddin, ada sebuah buku manual militer yang disusun oleh At-Tharsusi, sekitar tahun 570 H/1174 M. Buku ini membahas mengenai keberhasilan Shalahuddin di dalam memenangkan perang melawan bala tentara salib dan menaklukkan Yerusalem. Buku ini ditulis dengan bahasa Arab, meski sang penulisnya orang Armenia. Manual yang ditulisnya selain berisi tentang penggunaan panah, juga membahas mengenai ‘mesin-mesin perang’ saat itu, seperti mangonel (pelempar batu), alat pendobrak, menara-menara pengintai, penempatan pasukan di medan perang, dan cara membuat baju besi. Buku ini semakin berharga karena dilengkapi dengan keterangan praktis bagaimana senjata itu digunakan.

Buku lain yang membahas mengenai militer adalah karya yang ditulis oleh Ali ibnu Abi Bakar al-Harawi (wafat 611 H/1214 M). Buku ini membahas secara detail mengenai soal taktik perang, organisasi militer, tata cara pengepungan, dan formasi tempur. Kalangan ahli militer di Barat menyebut buku ini sebagai sebuah penelitian yang lengkap tentang pasukan Muslim di medan tempur dan dalam pengepungan. Pada lingkungan militer Daulah Mamluk menghasilkan banyak karya tentang militer, khususnya keahlian menunggang kuda atau furusiyyah. Dalam buku ini dibahas mengenai bagaimana cara seorang calon satria melatih diri dan kuda untuk berperang, cara menggunakan senjatanya, dan bagaimana mengatur pasukan berkuda atau kavaleri.

Contoh buku yang lain adalah karya Al-Aqsara’i (wafat 74 H/1348 M) yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi "An End to Questioning and Desiring (Further Knowledge) Concerning the Science of Horsemanship". Buku ini lebih komplet karena tidak hanya membahas soal kuda, pasukan, dan senjata, namun juga membahas mengenai doktrin dan pembahasan pembagian rampasan perang.

Layanan Pos Ala Dinasti Mamluk

[sunting | sunting sumber]

Layanan pos pada era kejayaan Islam tak hanya sekadar sebagai pengantar pesan. Dinasti Mamluk yang berkuasa di Mesir pada 1250 M hingga 1517 M juga menjadikan pos sebagai alat pertahanan. Guna mencegah invasi pasukan tentara Mongol di bawah komando Hulagu Khan pada medio abad ke-13 M, para insinyur Mamluk membangun menara pengawas di sepanjang rute pos Irak hingga Mesir. Di atas menara pengawas itu, selama 24 jam penuh para penjaga telah menyiapkan tanda-tanda bahaya. Jika bahaya mengancam di siang hari, petugas akan membakar kayu basah yang dapat mengepulkan asap hitam. Sedangkan pada malam hari, petugas akan membakar kayu kering. Upaya itu ternyata tak sepenuhnya berhasil. Tentara Mongol mampu menembus Baghdad dan memorak-porandakan metropolis intelektual itu. Meski begitu, peringatan awal yang ditempatkan di sepanjang rute pos itu juga berhasil mencegah masuknya tentara Mongol ke Kairo, Mesir.

Hanya dalam waktu delapan jam, berita pasukan Mongol akan menyerbu Kairo sudah diperoleh pasukan tentara Muslim. Itu berarti, sama dengan waktu yang diperlukan untuk menerima telegram dari Baghdad ke Kairo pada era modern. Berkat informasi berantai dari menara pengawas itu, pasukan Mamluk mampu memukul mundur tentara Mongol yang akan menginvasi Kairo. Menurut Paul Lunde, layanan pos melalui jalur darat pada era kekuasaan Dinasti Mamluk juga sempat terhenti ketika pasukan Tentara Salib memblokir rute pos. Meski begitu, penguasa Dinasti Mamluk tak kehabisan akal. Sejak saat itu, kata dia, Dinasti Mamluk mulai menggunakan merpati pos. Dengan menggunakan burung merpati sebagai pengantar pesan, pasukan Tentara Salib tak dapat mencegah masuknya pesan dari Kairo ke Irak. Merpati pos mampu mengantarkan surat dari Kairo ke Baghdad dalam waktu dua hari, tutur Lunde. Sejak itu, peradaban Barat juga mulai meniru layanan pos dengan merpati seperti yang digunakan penguasa Dinasti Mamluk.

Lunde menuturkan, pada 1300 M Dinasti Mamluk memiliki tak kurang dari 1.900 merpati pos. Burung merpati itu sudah sangat terlatih dan teruji mampu mengirimkan pesan ke tempat tujuan. Seorang tentara Jerman bernama Johan Schiltberger menuturkan kehebatan pasukan merpati pos yang dimiliki penguasa Dinasti Mamluk. Sultan Mamluk mengirim surat dengan merpati, sebab dia memiliki banyak musuh, cetus Schiltberger. Dinasti Mamluk memang bukan yang pertama menggunakan merpati pos. Penggunaan merpati untuk mengirimkan pesan kali pertama diterapkan peradaban Mesir kuno pada 2900 SM. Pada masa kekuasaan Dinasti Mamluk, merpati pos juga berfungsi untuk mengirimkan pesanan pos parcel. Al-kisah, penguasa Mamluk sangat puas dengan kiriman buah ceri dari Lebanon yang dikirimkan ke Kairo dengan burung merpati. Setiap burung merpati membawa satu biji buah ceri yang dibungkus dengan kain sutra. Pada masa itu, sepasang burung merpati pos harganya mencapai 1.000 keping emas. Layanan merpati pos ala Dinasti Mamluk itu tercatat sebagai sistem komunikasi yang tercepat pada abad pertengahan.

Masa Kekuasaan Daulah Mamalik di Mesir

[sunting | sunting sumber]

Kalau ada negeri Islam yang selamat dari kehancuran akibat serangan-serangan bangsa Mongol, baik serangan Hulagu Khan maupun Timur Lenk, maka negeri itu adalah Mesir, yang ketika itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Mamalik. Karena negeri ini terhindar dari kehancuran, maka kesinambungan perkembangan peradaban dengan masa klasik relatif terlihat, dan beberapa di antara prestasi yang pernah dicapai pada masa klasik bertahan di Mesir. Walaupun demikian, kemajuan yang dicapai oleh dinasti ini masih di bawah prestasi yang pernah dicapai oleh umat Islam pada masa klasik. Hal itu mungkin karena metode berpikir tradisional sudah tertanam sangat kuat sejak berkembangnya aliran teologi 'Asy'ariyah, filsafat mendapat kecaman sejak pemikiran al-Ghazali mewarnai pemikiran mayoritas umat Islam, dan yang lebih penting lagi adalah karena Baghdad, dengan fasilitas-fasilitas ilmiahnya yang banyak memberi inspirasi ke pusat-pusat peradaban Islam, telah hancur.

Mamalik adalah jamak dari Mamluk yang berarti budak. Dinasti Mamalik memang didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa Dinasti Ayyubiyah sebagai budak, kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Mereka ditempatkan pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Oleh penguasa Ayyubiyah yang terakhir, al-Malik al-Salih, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa penguasa ini, mereka mendapat hak-hak istimewa, baik dalam karier ketentaraan maupun dalam imbalan material. Pada umumnya, mereka berasal dari daerah Kaukasus dan Laut Kaspia. Di Mesir, mereka ditempatkan di Pulau Raudhah di Sungai Nil untuk menjalani latihan militer dan keagamaan. Karena itulah, mereka dikenal dengan julukan Mamluk Bahri. Saingan mereka dalam ketentaraan pada masa itu adalah tentara yang berasal dari suku Kurdi.

Ketika Al-Malik Al-Salih meninggal pada 1249 M, anaknya, Turan-Shah, naik takhta sebagai sultan. Golongan Mamalik merasa terancam karena Turansyah lebih dekat kepada tentara asal Kurdi daripada mereka. Pada tahun 1250 M, Mamalik di bawah pimpinan Aybak dan Baibars berhasil membunuh Turansyah. Istri Al-Malik Al-Salih, Syajarah Al-Durr, yang juga berasal dari kalangan Mamalik, berusaha mengambil kendali pemerintahan sesuai dengan kesepakatan golongan Mamalik tersebut. Kepemimpinan Syajarah Al-Durr berlangsung sekitar tiga bulan. Ia kemudian menikah dengan seorang tokoh Mamalik bernama Aybak dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat terus berkuasa di belakang layar. Akan tetapi, segera setelah itu, Aybak membunuh Syajarah Al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya, Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa Ayyubiyah bernama Musa sebagai sultan "syar'i" (formal), sementara dirinya bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, Musa akhirnya dibunuh oleh Aybak. Ini merupakan akhir dari Dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan Dinasti Mamalik.

Aybak berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257 M). Setelah meninggal, ia digantikan oleh anaknya, Ali, yang masih berusia muda. Ali kemudian mengundurkan diri pada tahun 1259 M dan digantikan oleh wakilnya, Qutuz. Setelah Qutuz naik takhta, Baibars, yang mengasingkan diri ke Suriah karena tidak senang dengan kepemimpinan Aybak, kembali ke Mesir. Pada awal tahun 1260 M, Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil menduduki hampir seluruh dunia Islam. Kedua tentara bertemu di Ayn Jalut, dan pada 13 September 1260 M, tentara Mamalik di bawah pimpinan Qutuz dan Baibars berhasil menghancurkan pasukan Mongol tersebut. Kemenangan atas tentara Mongol ini membuat kekuasaan Mamalik di Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya. Penguasa-penguasa di Suriah segera menyatakan sumpah setia kepada penguasa Mamalik.

Tidak lama setelah itu, Qutuz meninggal dunia. Baibars, seorang pemimpin militer yang tangguh dan cerdas, diangkat oleh pasukannya menjadi sultan (1260-1277 M). Ia adalah sultan terbesar dan termasyhur di antara Sultan Mamalik. Ia pula yang dipandang sebagai pendiri sejati Dinasti Mamalik. Sejarah daulah ini hanya berlangsung sampai tahun 1517 M, ketika dikalahkan oleh Bani Utsmani. Daulah ini dibagi menjadi dua periode: Pertama, periode kekuasaan Mamluk Bahri, sejak berdirinya (1250 M) sampai berakhirnya pemerintahan Hajji II tahun 1389 M. Kedua, periode kekuasaan Mamluk Burji, sejak berkuasanya Burquq untuk kedua kalinya tahun 1389 M sampai kerajaan ini dikalahkan oleh Bani Utsmani tahun 1517 M.

Daulah Mamalik membawa warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer, kecuali dalam waktu yang singkat ketika Qalawun (1280-1290 M) menerapkan pergantian sultan secara turun-temurun. Anak Qalawun berkuasa hanya empat tahun, karena kekuasaannya direbut oleh Kitbugha (1295-1297 M). Sistem pemerintahan oligarki ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir. Kedudukan amir menjadi sangat penting. Para amir berkompetisi dalam prestasi karena mereka merupakan kandidat sultan. Kemajuan-kemajuan itu dicapai dalam berbagai bidang, seperti konsolidasi pemerintahan, perekonomian, dan ilmu pengetahuan.

Kemajuan pada Masa Kekuasaan Mamalik

[sunting | sunting sumber]

Dalam bidang pemerintahan, kemenangan Dinasti Mamalik atas tentara Mongol di 'Ayn al-Jalut menjadi modal besar untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya. Banyak penguasa-penguasa dinasti kecil menyatakan setia kepada kerajaan ini. Untuk menjalankan pemerintahan di dalam negeri, Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit politik. Di samping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan-kerajaan Islam lainnya, Baybars membaiat keturunan Bani Abbas yang berhasil meloloskan diri dari serangan bangsa Mongol, al-Mustanshir, sebagai khalifah. Dengan demikian, Khilafah Abbasiyah, setelah dihancurkan oleh tentara Hulagu di Baghdad, berhasil dipertahankan oleh daulah ini dengan Kairo sebagai pusatnya. Sementara itu, kekuatan-kekuatan yang dapat mengancam kekuasaan Baybars dapat dilumpuhkan, seperti tentara Salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin di pegunungan Suriah, Cyrenia (tempat berkuasanya orang-orang Armenia), dan kapal-kapal Mongol di Anatolia.

Dalam bidang ekonomi, Dinasti Mamalik membuka hubungan dagang dengan Prancis dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh Dinasti Fathimiyah di Mesir sebelumnya. Jatuhnya Baghdad menjadikan kota Kairo sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa, dan menjadi lebih penting karena Kairo menghubungkan jalur perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa. Di samping itu, hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antarkota, baik laut maupun darat. Ketangguhan angkatan laut Mamalik sangat membantu pengembangan perekonomiannya.

Di bidang ilmu pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad dari serangan tentara Mongol. Karena itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir, seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama besar, seperti Ibn Khalikan, Ibn Taghribardi, dan Ibn Khaldun. Di bidang astronomi dikenal nama Nashiruddin ath-Thusi. Di bidang matematika, Abul Faraj al-'Ibry. Dalam bidang kedokteran: Abul Hasan 'Ali an-Nafis, penemu susunan dan peredaran darah dalam paru-paru manusia, Abdul Mun'im ad-Dimyathi, seorang dokter hewan, dan Ar-Razi’, perintis psikoterapi. Dalam bidang oftalmologi dikenal nama Shalahuddin ibn Yusuf. Sedangkan dalam bidang ilmu keagamaan, tersohor nama Syaikhul Islam ibn Taimiyah Rahimahullah, seorang mujaddid, mujahid, dan ahli hadits dalam Islam, Imam As-Suyuthi Rahimahullah yang menguasai banyak ilmu keagamaan, Imam Ibn Hajar al-'Asqalani Rahimahullah dalam ilmu hadits, ilmu fiqih, dan lain-lain.

Daulah Mamalik juga banyak mengalami kemajuan di bidang arsitektur. Banyak arsitek didatangkan ke Mesir untuk membangun sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang indah. Bangunan-bangunan lain yang didirikan pada masa ini di antaranya adalah rumah sakit, museum, perpustakaan, vila-vila, kubah, dan menara masjid.

Kemajuan-kemajuan itu tercapai berkat kepribadian dan wibawa Sultan yang tinggi, solidaritas sesama militer yang kuat, dan stabilitas negara yang aman dari gangguan. Akan tetapi, ketika faktor-faktor tersebut menghilang, Daulah Mamalik sedikit demi sedikit mengalami kemunduran. Semenjak masuknya budak-budak dari Sirkasia yang kemudian dikenal dengan nama Mamluk Burji, yang untuk pertama kalinya dibawa oleh Qalawun, solidaritas antarsesama militer menurun, terutama setelah Mamluk Burji berkuasa. Banyak penguasa Mamluk Burji yang bermoral rendah dan tidak menyukai ilmu pengetahuan. Kemewahan dan kebiasaan berfoya-foya di kalangan penguasa menyebabkan pajak dinaikkan. Akibatnya, semangat kerja rakyat menurun dan perekonomian negara tidak stabil. Di samping itu, ditemukannya Tanjung Harapan oleh kaum Eropa tahun 1498 M, menyebabkan jalur perdagangan Asia-Eropa melalui Mesir menurun fungsinya. Kondisi ini diperparah oleh datangnya kemarau panjang dan berjangkitnya wabah penyakit.

Di pihak lain, suatu kekuatan politik baru yang besar muncul sebagai tantangan bagi Mamalik, yaitu Daulah Bani Utsmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamalik di Mesir. Dinasti Mamalik kalah melawan pasukan Utsmaniyah dalam pertempuran menentukan di luar kota Kairo tahun 1517 M. Sejak itu, wilayah Mesir berada di bawah kekuasaan Kesultanan Bani Utsmani sebagai salah satu provinsinya. Wallahul Musta’an.

Pembubaran Mamalik

[sunting | sunting sumber]
Pembantaian Mamluk di Kairo, Mesir.

Muhammad Ali menyadari bahwa untuk menguasai Mesir, ia harus menyingkirkan Mamluk, yang masih merupakan pemilik feodal dan mengendalikan sumber kekayaan serta kekuasaan di wilayah tersebut. Namun, beban ekonomi dalam mempertahankan kekuatan militer yang diperlukan untuk melindungi sistem Mamluk dari ancaman Eropa dan Turki semakin melemahkan mereka hingga ke ambang kehancuran.[5]

Pada 1 Maret 1811, Muhammad Ali mengundang seluruh pemimpin Mamluk ke istananya di Benteng Kairo (Al-Qal’ah) untuk menghadiri sebuah pesta kenegaraan dalam rangka merayakan deklarasi perang melawan Wahhabi di Arab. Antara 600 hingga 700 Mamluk berparade di Kairo untuk acara tersebut. Ketika para perwira tinggi Mamluk telah berkumpul, Muhammad Ali memerintahkan pasukannya untuk mengunci semua pintu, lalu secara serentak menembaki mereka. Pembantaian ini, yang kemudian dikenal sebagai Pembantaian Benteng (Massacre of the Citadel), menewaskan hampir seluruh Mamluk yang hadir, dengan lebih dari 1.000 orang terbunuh hanya di dalam benteng. Menurut catatan sejarah, hanya satu Mamluk yang berhasil melarikan diri, namanya disebut sebagai Amim (atau Amyn) atau Heshjukur (seorang Besleney), yang lolos dengan melompati tembok benteng bersama kudanya.

Dalam minggu berikutnya, pasukan Muhammad Ali terus memburu dan membunuh sekitar 3.000 Mamluk beserta keluarga mereka di seluruh Mesir. Pembantaian ini memang brutal, tetapi Muhammad Ali menganggapnya sebagai langkah yang diperlukan, mengingat sejarah Mamluk yang sering melakukan pengkhianatan dan penggulingan kekuasaan dengan cara berdarah.

Meskipun Mamluk hampir sepenuhnya dimusnahkan di Mesir, sebagian kecil dari mereka berhasil melarikan diri ke selatan, ke wilayah yang kini menjadi Sudan. Di sana, pada tahun 1811, mereka mendirikan sebuah negara di Dunqulah di Sennar yang menjadikannya sebagai pusat perdagangan budak. Namun, pada tahun 1820, Sultan Sennar memberi tahu Muhammad Ali bahwa ia tidak dapat mengusir Mamluk dari wilayahnya. Sebagai tanggapan, Muhammad Ali mengirim 4.000 pasukan untuk menginvasi Sudan, menumpas sisa-sisa Mamluk, dan merebut wilayah tersebut untuk Mesir. Pasukan Pasha berhasil menerima penyerahan dari Kashif, membubarkan Mamluk Dunqulah, menaklukkan Kordofan, serta menerima penyerahan Sennar dari sultan Funj terakhir, Badi VII.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. Kitab At-Tarikh,Ibn Khaldun.
  2. Tarikh Khulafra',As-Suyuthi.
  3. Al-Bidaayaah Wan Nihaayah,Ibn Katsir.
  4. Sejarah Kerajaan Mamalik,Muhammad Syu'ub,Penerbit PT.Bulan Bintang.
  5. 1000 Peristiwa Dalam Islam,Abdul Hakim Al-Afifi.Pustaka Hidayah.Bandung. 2002.

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Behrens-Abouseif, Doris. Cairo of the Mamluks: A History of Architecture and Its Culture. New York: Macmillan, 2008.
  2. ^ Ayalon, David (1979). The Mamlūk military society. Variorum Reprints. ISBN 978-0-86078-049-6. 
  3. ^ Isichei, Elizabeth (1997). A History of African Societies to 1870. Cambridge University Press. hlm. 192. Diakses tanggal 8 November 2008. 
  4. ^ Asbridge, Thomas. "The Crusades Episode 3". BBC. Diakses tanggal 5 February 2012. 
  5. ^ Abu-Lughod, Janet L (1991). Mamluk Economics: A Study and Translation of Al-Maqrizi's Ighathat. Salt Lake City: Oxford University Press US. hlm. –. ISBN 978-0-19-506774-3. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]