Lompat ke isi

Sultan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Mehmed II, Sultan Utsmaniyah. Juga dikenal dengan Muhammad Al-Fatih. Dilukis oleh Gentile Bellini (1429–1507).

Sultan (bahasa Arab: سلطان, sulṭān) adalah gelar dalam dunia Muslim yang digunakan untuk merujuk berbagai kedudukan yang beragam dalam sepanjang sejarah penggunaannya. Seringnya, Sultan digunakan untuk kedudukan yang mengacu pada kepala monarki Muslim yang berkuasa atas sebuah negara/ wilayah Islam.

Di masa modern, gelar Sultan kerap disamakan dengan khalifah. Padahal, terdapat beberapa perbedaan mendasar atas kedua gelar ini. Khalifah merupakan gelar untuk pemimpin seluruh umat Islam (terlepas sebagai pemimpin secara hierarkis atau sekadar simbolis — dikuatkan secara adat-tradisi keislaman & bernuansa sakral). Sementara Sultan, secara makna hanyalah penguasa dari sebuah negara/ wilayah Muslim di tempat ia bertahta saja. Sehingga seorang Sultan bukanlah pemimpin umat Muslim yang tidak berada di wilayah kekuasaannya & kepemimpinannya bersifat pluralis — menerima semua corak warna islam beserta agama selainnya.

Gelar Khalifah dan Sultan kerap disama artikan, hal tersebut karena adanya pengaruh dari penguasa Utsmani yang menyandang gelar khalifah dan sultan secara bersamaan sekitar empat abad lamanya. Yangmana, tentu berakibat mengaburkan batas peran serta tugas utama dari kedua kedudukan tersebut.

Sultan juga kerap disamakan dengan raja (ملك, malik). Meski sama-sama merujuk kepada kepala monarki islam, sultan memiliki konotasi agama Islam yang lebih dominan di dalamnya. Dan secara umum tidak dijumpai Sultan yang beragama selain Islam. Sehingga kedua gelar tersebut memanglah tidak dapat disamakan. Dalam penggunaannya di dunia internasional, biasanya sultan tidak dialih bahasakan menjadi 'raja'. Dalam berbagai bahasa setempat di seluruh belahan dunia, Sultan tetap ditulis Sultan — diserap apa-adanya.

Meski kerap diidentikan dengan seorang laki-laki yang menjadi kepala monarki Muslim di suatu negara/ wilayah Muslim, sultan juga pernah secara resmi digunakan oleh wanita yang menjadi kepala monarki Islam, contohnya di Kesultanan Aceh. Meski secara bahasa, sultan memiliki bentuk wanita, yakni sultanah. Di Kesultanan Utsmani, sultan juga digunakan tidak hanya untuk kepala negara saja, tetapi juga kerabatnya. Kerabat laki-laki dari sang raja yang bertahta menyandang gelar Sultan di depan nama dan perempuan di belakang nama.

Etimologi

[sunting | sunting sumber]

Pada awalnya, sultan merupakan kata benda yang berarti "kekuatan", "kewenangan", atau "kepemimpinan", diturunkan dari kata kerja sulṭah (سلطة) yang bermakna "wewenang" atau "kuasa". Wilayah kekuasaan sultan disebut kesultanan (سلطنة, salṭanah). Dalam bahasa Ibrani, shilton atau shaltan (bahasa Ibrani: שלטן) berarti "wilayah kekuasaan" atau "rezim".

Bentuk feminin

[sunting | sunting sumber]

Bentuk wanita dari gelar sultan adalah sultanah digunakan merujuk pada sultan wanita atau istri dari sultan pria. Hal tersebut pula dikaitkan bahwa seorang raja wanita adalah aset kesultanan, karena sultanah sendiri juga bermakna kesultanan. Gelar ini digunakan secara sah untuk raja wanita muslim, ibu serta permaisuri sultan. Para pemimpin perempuan dalam sejarah Islam dikenal sebagai sultana.

Bahasa Turki dan Turki Ottoman juga menggunakan sultan untuk wanita kekaisaran, karena tata bahasa Turki menggunakan kata yang sama untuk wanita dan pria seperti Hurrem Sultan, tetapi tidak semua menggunakan sultanah bagi istri sultan. contohnya istri sultan di Kesultanan Sulu bergelar panguian sedangkan istri utama sultan di banyak kesultanan di Indonesia dan Malaysia dikenal sebagai permaisuri, Tunku Ampuan, "Raja Perempuan", atau " Tengku Ampuan”. Permaisuri di Brunei khususnya dikenal sebagai Raja Isteri dengan akhiran gelar Pengiran Anak.

Kepala negara

[sunting | sunting sumber]

Gelar sultan pertama kali diberikan oleh Khalifah Al-Mu'tashim (berkuasa 833 – 842) dari Dinasti Abbasiyah kepada seorang panglima muslim turki bernama Asynas at-Turki. Sebagai sultan, Asynas at-Turki mempunyai kekuasaan yang besar, tetapi ia tetap berada di bawah dan tunduk kepada Khalifah al-Mu'tashim.

Dalam periode ini, sultan berperan selayaknya seorang amir, yakni setara dengan gubernur dan khalifah menjadi kepala negara dan pemerintahan dari sebuah kekaisaran besar. Pada keberjalanannya, kekuatan politik khalifah makin menyusut dan sultan secara de facto menjadi independen. Meski demikian, para sultan ini masih mengakui ketundukan kepada khalifah secara simbolis.

Setelah Baghdad hancur oleh serangan Mongol pada 1258, kekuatan politik khalifah lenyap sehingga khalifah setelah ini hanya berperan sebagai pemimpin umat Islam sepenuhnya simbolis, dan lebih dalam konteks keagamaan daripada pemerintahan seperti periode sebelumnya. Dengan keadaan demikian, tiap sultan menjadi pemimpin tertinggi di wilayah kekuasaannya masing-masing secara resmi. Dengan demikian, sultan dapat disetarakan dengan raja atau kaisar. Keadaan ini tetap berlangsung setelah kekhalifahan dibubarkan pada 1924.

Saat ini, negara berdaulat yang kepala negaranya menyandang gelar sultan adalah Oman dan Brunei Darussalam.

Kepala negara bawahan

[sunting | sunting sumber]

Selain digunakan oleh penguasa dari negara berdaulat seperti Kesultanan Utsmani dan Mamluk, sultan juga digunakan untuk kepala monarki yang negaranya secara resmi menjadi bawahan negara lain. Di sumatera bagian timur (wilayah indonesia sebelum penjajahan belanda) pemimpin dari Kesultanan Deli dan Kesultanan Asahan juga menyandang gelar sultan, akan tetapi di awal pendirian, kedua negeri tersebut dibawah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.

Malaysia merupakan sebuah negara monarki konstitusional yang terdiri dari tiga belas negara bagian. Beberapa kepala negara bagian ini bergelar sultan, seperti Johor, Kedah, dan Kelantan.

Di Indonesia, Sultan Abdurrahman (Hamengkubuwana) dari Yogyakarta berperan sebagai seorang sultan dan gubernur secara bersamaan, serta menjadi bawahan dari kepemerintahan republik yang dalam hal ini di pegang presiden selaku kepala negara Republik Indonesia.

Sultan di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia, raja pertama yang diketahui menyandang gelar "Sultan" adalah Sultan Sulaiman (wafat 1211) dari Lamreh (kini masuk dalam provinsi Aceh).

Di Jawa, raja pertama yang memakai gelar "Sultan" adalah Pangeran Ratu dari Banten (bertahta 1596—1651), yang mengambil nama tahta Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir tahun 1638. Hal ini menandakan sebutan "Sultan Trenggana" (bertakhta 1505—1518 dan 1521—1546) adalah redaksi yang keliru, karena Trenggana bertahta sebelum tahun 1638. Dan belum diketemukan bukti otentik sebagai saksi sejarahnya.

Di Indonesia, gelar ini hingga kini masih digunakan (meski hanya bersifat seremonial — pengecualian untuk Yogyakarta) antara lain:

Secara bahasa, gelar sultan memiliki bentuk wanita, sultanah. Meski demikian, beberapa wanita secara resmi menyandang gelar sultan, bukan sultanah, saat berkuasa, seperti Syajaruddur yang berkuasa di Mesir pada 1250 dan Razia Sultan yang berkuasa di India pada 1236 - 1240. Sebagian muslimah lain yang naik takhta menjadi penguasa menyandang gelar sultanah.

Sultan dan raja

[sunting | sunting sumber]

Sultan kerap disepadankan dengan raja (ملك, malik) lantaran keduanya sama-sama merujuk kepada kepala monarki. Meski demikian, gelar sultan memiliki kandungan keislaman di dalamnya sehingga hanya penguasa Muslim yang dapat menyandang gelar ini.[1][2] Hal ini berbeda dengan gelar raja yang lebih cenderung netral dan sekuler. Dengan demikian, sultan tidak dapat disamakan dengan raja secara mutlak, meski memang ada beberapa persamaan di antara keduanya. Dalam penggunaannya di dunia internasional, biasanya sultan tidak diterjemahkan menjadi 'raja', tetapi diserap apa-adanya dengan sedikit perubahan dalam dialek penduduk yang bersangkutan.

Dalam beberapa dekade terakhir, beberapa kepala monarki Muslim mengganti gelar sultan yang mereka sandang, menggantinya dengan 'raja'. Salah satu contohnya adalah Maroko yang melakukan pergantian gelar ini pada 1957.

Penggunaan lain

[sunting | sunting sumber]

Di Kesultanan Utsmani, gelar sultan tidak hanya disandang oleh kepala negara, tetapi juga anggota keluarganya. Para pangeran (Şehzade) menyandang gelar itu sebelum namanya dan para putri menyandang gelar itu setelah namanya. Contoh: Şehzade Sultan Mehmed dan Mihrimah Sultan, putra dan putri Sultan Suleiman Al Qanuni. Layaknya para putri, ibu suri dan permaisuri sultan juga menyandang gelar itu setelah nama mereka, seperti Hafsa Sultan, ibunda Suleiman dan valide sultan pertama, dan Hürrem Sultan, istri Suleiman dan haseki sultan pertama. Penggunaan ini menegaskan konsep Utsmani terkait kekuasaan sebagai kewenangan keluarga.[3]

Budaya populer

[sunting | sunting sumber]

Dalam film animasi Disney Aladdin, Sultan adalah gelar bagi penguasa Agrabah. Dalam adaptasinya pada Aladdin (2019), putri dan anak tunggalnya, Jasmine, mewarisi takhta Agrabah sebagai sultan.

Di Indonesia, dewasa ini kata "Sultan" mengalami pergeseran makna dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di kalangan pemuda. "Sultan" menjadi sebutan untuk seseorang atau artis kaya raya yang memiliki gaya hidup mewah.

Daftar sultan sekarang

[sunting | sunting sumber]

Daftar berikut adalah penguasa monarki berdaulat yang gelarnya diterjemahkan sebagai sultan, yang berbeda dengan raja atau kaisar.

Sultan Negara Sejak Tanggal
Hassanal Bolkiah
 Brunei Darussalam 4 Oktober 1967
Haitham
 Oman 11 Januari 2020

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ James Edward Montgomery (2004). ʻAbbasid Studies: Occasional Papers of the School of ʻAbbasid Studies, Cambridge, 6-10 July 2002. Peeters Publishers. hlm. 83. ISBN 978-90-429-1433-9. 
  2. ^ Riad Aziz Kassis (1999). The Book of Proverbs and Arabic Proverbial Works. BRILL. hlm. 65. ISBN 90-04-11305-3. 
  3. ^ Peirce, Leslie P. (1993). The Imperial Harem: Women and Sovereignty in the Ottoman Empire. New York: Oxford University Press, Inc. ISBN 0-19-507673-7. 

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Khalid, Abu, MA. Kamus Arab Al-Huda Arab-Indonesia, Penerbit Fajar Mulya, Surabaya (tanpa tahun).
  • Anonim, 2002, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.