Bank Pesona Kriyadana
Bank Pesona Kriyadana merupakan salah satu bank yang pernah ada di Indonesia. Bank Pesona dikenal merupakan salah satu bank hasil merger awal di Indonesia.
Bank ini pada awalnya lahir sebagai merger tiga bank yang berasal dari tiga kota yang berbeda: Bank Kota Asri (Surabaya), Bank Parahyangan Ekonomi (Bandung) dan Berdjabat Banking Corp (Jakarta) pada 20 Mei 1974.[1] Nama bank hasil merger itu dinamakan Overseas Express Bank, atau disingkat OEB. OEB kemudian melakukan merger lagi pada 6 Februari 1978 dengan Bank Perkembangan Pelayaran Indonesia (BPPI) dan Bank Keradjinan Pejoeang Kemerdekaan,[2] setelah sebelumnya merger dengan Bank Industri dan Komersial (Indaco) pada tahun 1976.[3] Dalam perkembangannya setelah merger, bank ini berhasil memperoleh status bank devisa pada 21 Oktober 1980.[4] Tercatat, pada era 1980-an, bank ini terus tumbuh, setelah sahamnya diambil alih (50%) oleh Bank Indonesia pada April 1980[5] dan sisanya dimiliki oleh investor lain (termasuk keluarga Sumali yang nanti akan mendirikan bank baru pasca Pakto sebanyak 23%, Sucahyo Winoto sebanyak 19,93% dan 16 investor lainnya sebesar 6,25%).[6][7][8]
Pada tahun 1991, meskipun awalnya tidak mau menjual sahamnya,[9] BI dan para investor melunak, mungkin karena pembelinya adalah dari keluarga presiden. OEB pun diakuisisi dan berpindah tangan ke grup Humpuss (Tommy Soeharto) dan Arseto (Sigit Harjojudanto) sebanyak 70% (dengan harga diperkirakan Rp 170 miliar).[10] Mereka kemudian menyuntikkan dana sebesar Rp 400 miliar ke bank tersebut, dengan sisa 30%-nya diakuisisi oleh Mamiek Soeharto.[11] Pasca akuisisi oleh anak-anak Presiden Soeharto, bank tersebut kemudian berganti nama baru menjadi Bank Utama pada tanggal 18 Agustus 1992[12] dengan surat keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. S.612/MK. 13/1992.[13]
Memasuki krisis ekonomi 1997, Bank Utama pun menjadi limbung. Di sini, intervensi presiden berperan besar dengan meminta Gubernur Bank Indonesia, Soedradjad Djiwandono untuk memberikan suntikan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 531 miliar - lewat surat berharga pasar uang khusus (FSPBUK),[14] meskipun dengan rasio kecukupan modal yang dibawah 2%, jauh dari persyaratan yang diatas 2%.[15][16] Presiden juga mengirim memo pada 20 Agustus 1997 kepada Menteri Keuangan Marie Muhammad untuk menyelamatkan Bank Utama dengan memergernya dengan Bank Harapan Santosa milik Hendra Rahardja.[17] Namun seiring dengan waktu, usaha merger tersebut berhenti karena BHS dilikuidasi pada 1 November 1997. Usulan-usulan lain untuk menyelamatkan bank keluarga Presiden pun muncul seperti ide merger dengan Bank Yama milik Tutut[18] atau rencana merger dengan Bank Risjad Salim Internasional yang dimiliki oleh BCA[19] (kebetulan dimiliki kroni Soeharto). Pada akhirnya, setelah segala upaya dilakukan termasuk memberikan tambahan BLBI hingga mencapai Rp 2.334.896.340.396,[20] atau mengganti namanya menjadi Bank Pesona Kriyadana tidak berhasil,[21] Bank Pesona kemudian diputuskan untuk dibekukan menjadi Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) pada 13 Maret 1999,[22] dan berakhirnya riwayat bank yang tiga kali berganti nama itu kemudian ditegaskan dengan likuidasi bank pada 27 April 2004.[23]