Barbara Han A-gi
Barbara Han A-gi adalah seorang martir Katolik Korea. Pada awal penganiayaan tahun 1839 yang bertempat di Pintu Gerbang Kecil Barat di Seoul. Sembilan orang menjadi martir, mereka terdiri dari tiga orang pria dan enam orang wanita. Tiga orang wanita itu diantaranya adalah Magdalena Kim Ob-i, Agatha Kim A-gi, dan Barbara Han A-gi, mereka telah ditangkap tiga tahun sebelumnya dan menghabiskan waktu bersama-sama di penjara.
Ibu dari Barbara Han A-gi adalah seorang Katolik sehingga Barbara Han (1792-1839) belajar tentang Yesus dari sejak kecil. Karena ajaran dan teladan dari ibunya dia menerima iman yang mengakar dengan dalam, namun ketika dia menikah dengan seorang bukan dari umat beriman, dia menyerah menjalankan agamanya. Suatu hari ibunya menemui putrinya yang sudah menikah yang selalu menjadi sumber kecemasannya, dan dia bertemu dengan Magdalena Kim Ob-i di luar rumah. Karena sama-sama umat Katolik, mereka mengenali satu sama lain, sehingga ibu Barbara menyapa Magdalena dan menyalami tangannya dan berkata.
“Magdalena, apa kabarmu?”
“Syukur kepada Allah atas rahmatnya. Namun kenapa Anda datang ke sini?”
“Saya ke sini untuk bertemu dengan putri saya yang sudah menikah, yang selalu menjadi sumber kecemasan saya. Sungguh karena kehendak Allah kita dapat bertemu. Dia akan lebih mendengar perkataanmu daripada saya. Mari kita pergi bersama dan bicara padanya.”
“Tentu saja. Kenyataannya, saya sudah menunggu kesempatan seperti ini untuk mengatakan kebenaran.”
Sehingga ibunya dan Magdalena Kim Ob-i mendesak Barbara untuk bertobat. Pada saat itu adalah saat-saat yang berahmat untuk Barbara. Dia sangat menyesali dosa-dosa masa lalunya, dan sejak saat itu dia berusaha keras untuk belajar dan menjalankan doktrin Gereja dan menjalankan kebajikan Kristiani dengan mengagumkan. Ketika dia berusia tiga puluh tahun, secara tragis dia kehilangan suami dan ketiga anaknya. Kembali ke rumah orang tuanya, dia mengajarkan para katekumen dan membaptis anak-anak tetangga yang dalam bahaya maut. Dia menyarankan orang-orang berdosa untuk berubah dan hidup murni dengan penyangkalan diri.
Magdalena Kim Ob-i dan Barbara Han A-gi ditangkap bersama-sama pada bulan September 1836. Tidak diketahui dengan pasti apakah Agatha Kim A-gi ditangkap bersama mereka atau di rumahnya sendiri. Dalam suatu kejadian, mereka bertiga dibawa ke tahanan pada hari yang sama.
Di penjara, mereka menemukan sekumpulan sesama umat Katolik. Mereka adalah Damianus Nam Myong-hyok yang dituduh menyembunyikan jubah Uskup, Petrus Kwon Tug-in yang dituduh menjual salib dan gambar-gambar suci, Anna Pak A-gi yang tetap berada di penjara walaupun suami dan anaknya telah murtad, dan Agatha Yi yang merupakan kakak perempuan dari Petrus Yi Ho-yong.
Orang pertama yang ditanyai yaitu Anna Pak A-gi. Walaupun disiksa dia tetap tidak tertunduk.
Dia menjawab dengan entengnya kepada petugas kepolisian sebagai berikut, “Jadi jika suami dan putra saya telah murtad! Saya memilih untuk memelihara iman saya dan mati untuk itu.”
Selanjutnya adalah Barbara Han A-gi. Tidak kalah berani dari Anna Pak A-gi yang tubuhnya sudah berlumuran darah ketika para petugas selesai dengannya. Ketika Barbara Han A-gi menjalani siksaan, Magdalena Kim Ob-i menyaksikan menyaksikan iman dia dengan menjelaskan doktrin Katolik kepada komisaris polisi. Selanjutnya yang dipanggil adalah Agatha Kim.
“Benarkah kamu percaya akan Gereja Katolik?”
“Saya tidak tahu apapun selain Yesus dan Maria.”
“Jika kamu dapat menyelamatkan hidupmu dengan menolak Yesus dan Maria, akankah kamu menolak Mereka?”
“Saya lebih baik mati daripada menolak Mereka.”
Walaupun disiksa, Agatha tidak bisa dibujuk untuk mengubah pikirannya. Melihat hal ini, komisaris polisi memindahkan mereka ke penjara. Ketika tahanan Katolik lainnya melihat Agatha Kim A-gi tiba, mereka bersukacita menyambut dia.
“Inilah dia, Agatha, dia yang tidak tahu apapun selain Yesus dan Maria,” kata mereka ketika memberi selamat atas keberaniannya.
Karena ketidakmampuan dia untuk belajar doktrin dan doa, Agatha Kim A-gi belum dibaptis. Dia adalah orang pertama yang dibaptis di penjara ketika penganiayaan. Pembaptisan memberikan dia kekuatan baru, dan oleh karenanya dia dapat mengatasi siksaan dan hukuman yang kejam.
Setelah seluruh penyelidikan dan cobaan, hukuman mati dijatuhkan kepada Damianus Nam Myong-hyok, Petrus Kwon Tug-in dan Anna Pak A-gi pada tanggal 11 Mei 1839. Pada hari berikutnya, Agustinus Yi Kwang-hon dan Lusia Pak Hui-sun juga dijatuhi hukuman mati.
Membutuhkan waktu tiga hari untuk berdiskusi sebelum Magdalena Kim Ob-i, Barbara Han A-gi, dan Agatha Kim A-gi dihukum karena mempercayai agama Katolik dan menolak menyerah dari kepercayaan itu.
Akhirnya tanggal 24 Mei 1839 tiba. Kejadian pada hari itu digambarkan oleh Karolus Cho Shin-ch’ol sebagai berikut, “Pada hari yang sudah ditentukan, sebuah gerobak sapi dengan palang yang lebih tinggi daripada tinggi rata-rata orang saat itu didirikan kepada mereka, mereka dibawa ke penjara. Ketika semuanya sudah siap, para penjaga membawa keluar tahanan yang dihukum dan mengikat tangan dan rambut mereka ke palang itu. Sebuah penahan kaki dipasangkan di kaki mereka dan sinyal keberangkatan dibunyikan. Ketika mereka tiba di bukit yang curam di mana Pintu Gerbang Kecil Barat berada, para penjaga tiba-tiba menarik penahan kaki mereka dan pengemudi gerobak memaksa sapi-sapi itu untuk berlari ke bawah. Jalannya kasar dan berbatu. Gerobak meluncur dan menyebabkan penderitaan ekstrim bagi para tahanan yang tangan dan rambu mereka digantung pada palang itu. Di tempat eksekusi yang berada di kaki bukit. Para penjaga melepaskan para tahanan dari palang itu dan merobek pakaian mereka. Algojo mengikat rambut mereka pada balok kayu dan mereka memenggal kepala mereka.”
Sembilan orang martir menerima mahkota mereka pada pukul tiga siang itu, jam yang sama ketika Yesus menghembuskan nafas-Nya yang terakhir di kayu salib beberapa puluh abad yang lalu. Berdasarkan hukum waktu itu, jenazah mereka dibiarkan di tempat eksekusi selama tiga hari.
Di catatan pengadilan waktu itu tertulis sebagai berikut, “Pada tanggal 12 April, Agustinus Yi Kwang-hon, Petrus Kwon Tug-in dan yang lainnya, yang bukan penjahat, mereka semua dieksekusi karena mengikuti agama palsu.”
Uskup Imbert menuliskan berikut ini, “Dengan kesulitan kami mendapatkan jenazah mereka (Agustinus Yi dan Petrus Kwon) pada tanggal 27 April. Kami memakamkan jenazah para martir pada suatu tempat yang sudah disiapkan sebelumnya. Dalam tata cara Eropa, saya ingin mereka menggunakan pakaian yang bagus dan meminyaki mereka dengan parfum yang mahal. Namun demikian, kami orang miskin dan memakaikan pakaian kepada jenazah mereka dengan cara itu akan membebankan umat Katolik, sehingga kami hanya membungkus mereka dengan anyaman jerami. Sekarang kami memiliki banyak pelindung dari surga. Ketika hari kebebasan beragama terwujud di Korea, sebagai mana kita tahu itu akan terjadi, jenazah mereka akan menjadi warisan yang berharga.”
Santa Magdalena Kim Ob-i, Santa Agatha Kim A-gi, dan Santa Barbara Han A-gi dibeatifikasi pada tanggal 5 Juli 1925 dan mereka bersama-sama dikanonisasi pada tanggal 6 Mei 1984 di Yoido, Seoul oleh Paus Yohanes Paulus II.[1]