Bedagung, Paninggaran, Pekalongan
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Bedagung | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Jawa Tengah | ||||
Kabupaten | Pekalongan | ||||
Kecamatan | Paninggaran | ||||
Kode pos | 51164 | ||||
Kode Kemendagri | 33.26.02.2015 | ||||
Luas | ... km² | ||||
Jumlah penduduk | ... jiwa | ||||
Kepadatan | ... jiwa/km² | ||||
|
Bedagung adalah desa di kecamatan Paninggaran, Pekalongan, Jawa Tengah, Indonesia. Desa ini terletak di ujung utara Kecamatan Paninggaran dan berbatasan dengan kecamatan Kajen. Berlokasi di kecamatan Lebakbarang, desa ini berjarak 9 km, desa ini berjarak 20 km dari Kajen Pusat pemerintahan Kabupaten Pekalongan. Secara Topografi desa Bedagung berada di dataran tinggi dengan ketinggian 600-800 MDPL.
Sejarah dan Mitos Desa Bedagung
[sunting | sunting sumber]Konon katanya Bedagung berasal dari kisah Kyai Da’i Jaimin yang mempunyai empat putra Kyai Marga Jati, Kyai Bangun Nadi, Kyai Taman Sari, dan Kyai Merta Praya.Dikisahkan pada suatu hari keempat kyai tersebut bertemu dengan utusan Syekh Maulana Maghribi yang diutus mengejar Putri Tanjung yang sedang diperebutkan oleh Bupati Luwuk dan Bupati Runcang untuk dijadikan istri. Di lembah Sigrayang, Putri Tanjung yang sedang bersembunyi ditemukan dan dibawa pulang. Dalam perjanannya pulang Putri Tanjung berucap, "jahat temen ka weruh..." dari ucapan putri tanjung itu dikenal masyarakat dengan nama Sijahat atau Sijaha, yang menjadi cikal-bakal Dusun Sijaha. Dalam perjalanan pulang ketujuh orang tersebut terhalang badai dan hujan yang sangat lebat sehingga mereka terpaksa berteduh dibawah pohon Mbulu yang besar dan rindang, sampai sekarang tempat tersebut dikenal dengan nama Dusun Bulupitu. Kabar berita tempat persembunyian Putri Tanjung pun sampai ditelinga Bupati Luwuk dan Bupati Rancang. Kemudian mereka mengirim utusan untuk menjemputnya. Sial benar bagi keempat Putra Kyai Da’i Jaimin itu, karena tanpa sepengetahuan mereka ternyata Putri Tanjung pergi melarikan diri dari tempat persembunyiannya. Bupati Luwuk dan Bupati Rancang pun murka karena tidak bisa bertemu dengan Putri Tanjung, lantas menyuruh para prajuritnya untuk menangkap keempat kyai tersebut karena dikira menyembunyikan Putri Tanjung. Tetapi merasa bahwa mereka berempat merasa tidak bersalah, dan untuk menghindari keributan akhirnya mereka pergi. Namun Bupati Luwuk dan Bupati Rancang dengan semua prajuritnya terus mengejar dan mengejar (mbedag-mbedag). Dalam pengejaran keempat kyai tersebut dikenal dengan Bedagung yang berasal dari peristiwa mbedag-mbedag wong agung. Yang sekarang dikenal dengan nama Dusun Bedagung. Sekarang terdapat tiga canden atau petilasan di Desa Bedagung. Yang pertama ialah Sikenteng, terletak di dekat sawah di seberang kali. Diziarahi tiap Kamis Kliwon. Yang kedua, Gununglumping, terletak di puncak bukit di tengah hutan. Ditempuh dengan berjalan kaki sekitar tiga jam dari Dusun Bedagung. Ini merupakan petilasan yang paling tua. Diziarahi Kamis dan Jumat Kliwon. Dan yang ketiga, Bantarayu, terletak di dekat Sijaha. Biasa dipakai tempat nyadran, atau slametan bersih makam. Diziarahi tiap Jumat Kliwon. Ketiga petilasan itu biasanya dikunjungi banyak orang dari kota, terutama Bojong Pekalongan dan bahkan Jakarta, untuk berziarah dengan tujuan agar memperoleh jabatan atau pangkat tinggi. Orang Bedagung sendiri ziarah untuk kesuksesan panen. Petilasan dan tanah di sekitarnya dianggap keramat sekaligus angker oleh masyarakat setempat. Itulah mengapa ada kepercayaan bahwa di tanah sekitar petilasan tidak boleh didirikan bangunan, terutama bangunan pemukiman. Kepercayaan atau mitos tentang tanah ini dijelaskan Tauchid sebagai “hubungan seseorang dengan tanah tidak seperti hubungan antara orang dengan alat-alat penghasilan lainnya yang dianggap sebagai barang yang mati”