Bejenjang
Bejenjang adalah ritual pengobatan tradisional di Desa Mentuda, Kecamatan Lingga, Provinsi Kepulauan Riau.[1] Upacara ritual ini hidup di kampung kecil di lereng Gunung Daik, tepatnya di sebelah utara Pulau Lingga. Bejenjang atau berjenjang juga disebut bertari karena ritual ini dilaksanakan secara bertahap atau berjenjang-jenjang. Namun, masyarakat setempat mengenalnya dengan nama bejenjang.
Ritual pengobatan ini mengandung perpaduan antara budaya animisme dan Melayu Islam. Bejenjang dilaksanakan setiap bulan Muharram dan Hijriah. Ritual ini dilaksanakan selama tiga hari tiga malam.
Bejenjang memiliki dua unsur seni, yakni tari dan musik. Kesenian tersebut berguna untuk memanggil roh halus atau bunia. Ritual ini dipimpin oleh seorang dukun yang disebut Bomo. Tari dilakoni langsung oleh Bomo dengan gerakan yang khas sambil diiringi musik. Musik inilah yang dipercaya memiliki kekuatan magis. Pada upacara bejenjang, alat musik yang digunakan, yakni satu buah gendang panjang atau gendang dua muka. Pemain gendang disebut perentak dalam ritual ini.
Selain gendang, ada juga satu buah instrumen lain, yakni gong. Alat musik ini dimainkan menggunakan sebuah tongkat kayu pendek. Dalam ritual bejenjang, ada dua orang yang menjadi vokalis yang dikenal dengan istilah pelagu. Maksud dari pelagu adalah orang yang membawakan atau menyanyikan lagu.[2]
Ritual ini sekarang kondisinya hampir punah. Saat ini sudah jarang ditampilkan karena tak ada lagi tetua yang dalam ritual berperan sebagai dukun atau pawang.
Selain tari inai, bejenjang juga ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia 2017.[3]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/2017/04/26/mengenal-ritual-pengobatan-berjenjang/[pranala nonaktif permanen]
- ^ http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/2017/08/23/jadi-wbtb-bejenjang-dan-tari-inai-dari-kepri/[pranala nonaktif permanen]
- ^ https://batampos.co.id/2017/08/26/bejenjang-dan-tari-inai-jadi-wbtb-indonesia/