Belimbur dan Mengulur Naga
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Belimbur dan Mengulur Naga adalah acara terakhir sekaligus penutup dalam Festival Erau. Didahului dengan mengulur naga yang dimulai di halaman Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura yang kemudian akan menyusuri Sungai Mahakam dan berakhir di Kutai Lama, Anggana. Setelah proses mengulur naga selesai, barulah acara belimbur dimulai. Tidak hanya masyarakat setempat yang memeriahkan acara ini, namun juga turis asing yang berpartisipasi dalam Erau Adat Kutai dan Internasional Folk Arts Festival (EIFAF).
Mengulur Naga
[sunting | sunting sumber]Dua ekor replika naga ini terdiri dari tiga bagian dan terbuat dari kayu dengan ukiran sisik naga berwarna warni dengan panjang sekitar 16 meter. Di atas kepala naga tersebut terpasang ketopong (mahkota) dan di leher terdapat kalung rumbai warna-warni. Selama tujuh hari tujuh malam naga ini disemayamkan untuk kemudian dilakukan persembahan dari seseorang yang disebut Dewa Belian berupa jamuan sebagai tanda bahwa naga siap diturunkan.
17 laki-laki yang berapakaian pakaian adat Kutai yakni baju cina (celana panjang batik, baju putih lengan panjang, sarung dililitkan di pinggang dan kain batik yang diikatkan di kepala) mulai bergerak mengangkat kedua naga tersebut menuju sungai dengan Dewa Belian sebagai penuntun sambil membawa perapen.
Naga diiringi pula oleh empat pangkon laki dan empat pangkon bini (wanita) serta seorang pembawa molo/guci guna mengambil air tuli. Di setiap sisi kiri dan kanan, ada pula prajurit yang membawa tombak .
Sesampainya di tepi sungai, Dewa Belian melakukan mamang sebagai prosesi ritual lanjutan. Naga di naikkan ke atas kapal dan mulai bergerak ke hulu kepala benua untuk penjamuan benua. Setelah penjamuan benua selesai, barulah naga menuju hilir sungai yakni di desa Jembayan, Loa Kulu. Kapal berhenti di sana dan gamelan mulai mengalun sebagai tanda kepada masyarakat gaib bahwa naga akan menuju Kutai Lama.
Kapal kembali bergerak menuju tepian Samarinda Seberang dan disambut ritual oleh tokoh-tokoh Bugis. Dewa Belian kembali melakukan mamang dan menabuh gamelan sebagai tanda bahwa naga akan diturunkan di Kutai Lama. Sesampainya di Kutai Lama, di Tepian Batu, naga disambut oleh masyarakat Kutai Lama.
Sebelum naga ditenggelamkan, di bagian kepala bagian leher yang terdapat kalung harus dipotong oleh pengiring yang bertugas. Begitupun dengan ekornya untuk dibawa kembali ke Tenggarong dan disemayamkan untuk mengulur naga yang akan datang.
Pembawa molo/guci pun mulai mengambil air tuli untuk belimbur setelah mengulur naga selesai. Kerangka badan naga mulai tenggelam menuju dasar sungai dan masyarakat berebut mengambil sisik naga dengan tujuan yang bersifat mistis.[1]
Belimbur
[sunting | sunting sumber]Sembari proses mengulur naga di Kutai Lama dilakukan, di depan Keraton Kutai dilaksanakan berbagai macam ritual seperti beumban, begorok, rangga titi dan akhirnya belimbur setelah kembalinya rombongan pengulur naga membawa air tuli yang akan dipercikkan oleh Sultan kepada para hadirin sebagai tanda acara belimbur dimulai.[2]
Belimbur adalah tradisi saling menyiramkan air oleh masyarakat dan pengunjung. Jalanan dan pengendara motor pun tidak luput dari acara ini.
Walaupun demikian, acara belimbur ini dilindungi aturan hukum guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan pada Peraturan Daerah Kukar Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pelestarian Adat Istiadat Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura pada pasal 6 yang menyebutkan bahwa belimbur merupakan upacara adat kesultanan.[3]
Makna
[sunting | sunting sumber]Baik mengulur naga ataupun belimbur, keduanya memiliki makna spiritual yang sangat kuat. Naga yang diulur dipercaya adalah Ibu pelindung bagi raja-raja Kutai Kartanegara.[4] Kesakralan Erau adalah bentuk masih dipeliharanya kebudayaan dan kesenian luhur Kutai.
Belimbur bermakna penyucian diri dan membersihkan diri dari aura negatif, pandangan jahat dan bentuk syukur masyarakat.
Kedua puncak Festival Erau ini memiliki nilai-nilai keberagaman, kesatuan, rasa persaudaraan antar masyarakat Kutai tanpa melihat kasta sosial, toleransi serta kesakralan yang harus dijaga oleh generasi-generasi muda maupun tua.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "TIFAF | Mengulur Naga". eifaf.visitingkutaikartanegara.com. Diakses tanggal 2021-10-19.
- ^ "Belimbur, Tradisi Massal Wujud Syukur dan Pembersihan Diri". Indonesia Kaya. Diakses tanggal 2021-10-19.
- ^ "PERDA Kab. Kutai Kertanegara No. 2 Tahun 2016 tentang Pelestarian Adat Istiadat Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martasipura [JDIH BPK RI]". peraturan.bpk.go.id. Diakses tanggal 2021-10-20.
- ^ Mustafa, Ardita. "Basah Kuyup di Ritual Belimbur Ala Masyarakat Kutai". gaya hidup. Diakses tanggal 2021-10-19.