Berita palsu di Asia Tenggara
Berita palsu di Asia Tenggara memiliki definisi yang tidak dinyatakan secara jelas khususnya di Asia Tenggara Daratan. Rezim autokrasi dari negara-negara di Asia Tenggara umumnya melakukan pembatasan terhadap berita palsu untuk mengendalikan ruang digital sebagai pembatasan kebebasan sipil. Beberapa negara di Asia Tenggara telah membuat undang-undang yang menangani berita palsu secara khusus, misalnya Dekrit Anti-Berita Palsu 2017 (Vietnam), Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018 (Malaysia) dan Undang-Undang Perlindungan dari Kepalsuan dan Manipulasi Dalam Jaringan (Singapura). Sedangkan pemerintah lain di Asia Tenggara hanya menangani berita palsu sebagai bagian dari undang-undang lain, seperti Undang-Undang Anti-Kejahatan Siber (Filipina) dan undang-undang pencemaran nama baik dalam internet yang berlaku di Indonesia.
Definisi
[sunting | sunting sumber]Pada empat negara di Asia Tenggara Daratan, definisi tentang berita palsu tidak dinyatakan secara jelas. Keempat negara tersebut ialah Kamboja, Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Berita palsu dimaknai pada keempat negara sebagai suatu berita tidak benar yang berdampak merugikan keamanan nasional, stabilitas politik, dan reputasi nasional. Definisi berita palsu pada keempat negara hanya diwakili oleh teks hukum yang dikutip oleh otoritas pemerintahan selama tahun 2007–2020 di masing-masing negara ketika menangani berita palsu.[1]
Penanganan
[sunting | sunting sumber]Definisi berita palsu di Asia Tenggara Daratan, terutama digunakan untuk pembatasan terhadap berita palsu dengan tujuan untuk mengendalikan ruang digital. Pengendalian ruang digital dengan berlandaskan kepada definisi berita palsu dilakukan oleh Pemerintah Kamboja, Pemerintah Myanmar, Pemerintah Thailand, dan Pemerintah Vietnam.[2] Keempat rezim tersebut menerapkan autokrasi dengan adanya pembatasan kebebasan sipil. Peringkat kebebasan sipil di keempat rezim tersebut oleh Freedom House dalam kategori 'tidak bebas'.[3]
Perundang-undangan
[sunting | sunting sumber]Beberapa pemerintah dari negara-negara yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Perbara) telah memperkenalkan beberapa jenis undang-undang tentang berita palsu sebagai bagian dari legislasi nasional. Pembuatan undang-undang tentang berita palsu dilakukan oleh pemerintah nasional di Perbara untuk membatasi penyebaran berita palsu dan menjaga keamanan nasional.[4]
Pada tanggal 9 Februari 2017, sebuah dekrit bernama Dekrit Anti-Berita Palsu (Dekrit Nomor 09 Tahun 2017) diterbitkan oleh Pemerintah Vietnam. Tujuan dekrit ini untuk melawan berita palsu melalui penerbitan informasi faktual yang dibuat oleh pemerintah.[4][5] Pada bulan April 2018, Parlemen Malaysia telah mengesahkan Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018 yang diberlakukan sejak tanggal 11 April 2018.[6][7] Namun Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018 dicabut statusnya sebagai undang-undang oleh Parlemen Malaysia pada bulan Desember 2019.[8][9]
Di sisi lain, Parlemen Singapura telah mengesahkan Undang-Undang Perlindungan dari Kepalsuan dan Manipulasi Dalam Jaringan (POFMA) pada tanggal 3 Juni 2019. POFMA diberlakukan di Singapura sejak tanggal 2 Oktober 2019.[10] Sementara itu, Pemerintah Filipina menangani berita palsu melalui Undang-Undang Anti-Kejahatan Siber. Sedangkan Pemerintah Indonesia menangani berita palsu dalam konteks undang-undang khususnya sebagai pencemaran nama baik dalam internet.[4]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Sombatpoonsiri dan Luong 2022, hlm. 5.
- ^ Sombatpoonsiri dan Luong 2022, hlm. 1.
- ^ Sombatpoonsiri dan Luong 2022, hlm. 2.
- ^ a b c Martinus, Melinda (29 September 2022). "Can ASEAN Mitigate Fake News in Southeast Asia?" (PDF). ASEANFocus (dalam bahasa Inggris). ASEAN Studies Centre, ISEAS-Yusof Ishak Institute. 39: 25. ISSN 2424-8045.
- ^ Irwansyah (Maret 2024). Wulandari, D., dkk., ed. ASEAN Guideline on Management of Government Information in Combating Fake News and Disinformation in the Media (PDF) (dalam bahasa Inggris). Jakarta Pusat: Ministry of Communication and Informatics of the Republic of Indonesia. hlm. 76. ISBN 978-602-17232-6-5.
- ^ Ambardi, K., dkk. (ed.). Jurnalisme, “Berita Palsu’’, & Disinformasi: Buku Pegangan untuk Pendidikan dan Pelatihan Jurnalisme [Journalism, ‘Fake News’ & Disinformation]. Diterjemahkan oleh Wendratama, Engelbertus. Paris: Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa. hlm. 22. ISBN 978-92-3-000076-9.
- ^ Chen, dkk. 2023, hlm. 1279.
- ^ Chen, dkk. 2023, hlm. 1280.
- ^ ARTICLE 19 (Juni 2021). Malaysia: Emergency (Essential Powers) (No. 2) Ordinance 2021 (Fake News Ordinance) (PDF) (dalam bahasa Inggris). ARTICLE 19. hlm. 3.
- ^ International Commission of Jurists (4 Oktober 2021). Dictating the Internet: A Human Rights Assessment of the Implementation of Singapore’s Protection from Online Falsehoods and Manipulation Act 2019 (dalam bahasa Inggris). Jenewa: International Commission of Jurists. hlm. 1.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Chen, W., dkk. (Maret 2023). "The Framing of Anti-Fake News Law in Malaysian Newspapers" (PDF). International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences (dalam bahasa Inggris). 13 (3): 1278–1295. doi:10.6007/IJARBSS/v13-i3/16557.
- Sombatpoonsiri, J., dan Luong, D. N. A. (2022). "Justifying Digital Repression via "Fighting Fake News": A Study of Four Southeast Asian Autocracies" (PDF). Trends in Southeast Asia (dalam bahasa Inggris). ISEAS Publishing (11).