Lompat ke isi

Dampak lingkungan mata uang kripto

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dampak lingkungan mata uang kripto adalah adanya perdebatan dan kritik mengenai besarnya energi listrik yang diperlukan untuk penambangan mata uang kripto, terutama Bitcoin dan Ethereum. Perdebatan ini mendorong besarnya minat untuk menggunakan bukti kepemilikan dalam pengembangan mata uang kripto.

Konsumsi energi Bitcoin

[sunting | sunting sumber]

Tercatat hingga tahun 2022, Cambridge Centre for Alternative Finance (CCAF) memperkirakan bahwa Bitcoin sudah mengkonsumsi listrik hingga 131 TWh setiap tahunnya, atau sekitar 0,29% dari produksi energi dunia dan 0,59% dari total produksi listrik dunia, dengan aktivitas penambangan bitcoin setara dengan konsumsi energi negara Ukraina atau Mesir[1].

Hasil penelitian dari United Nations University menemukan jika penambangan mata uang kripto menimbulkan dampak buruk bagi iklim, air dan tanah. Mereka mengevaluasi dampak lingkungan dari penambangan Bitcoin sebagai mata uang digital terbesar di 76 negara selama tahun 2020-2021. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Earth's Future, menemukan jika penambangan Bitcoin mengonsumsi 173,42 Terawatt listrik perjam. Jika diibatkan sebuah negara, maka konsumsi listrik Bitcoin berada pada peringkat ke-27 negara dengan konsumsi litrik terbesar[2].

Untuk mengimbangi jejak karbon yang besar ini, setidaknya dibutuhkan penanaman pohon sebanyak 3,9 milyar yang membutuhkan area yang luasnya setara dengan Belanda, Swiss atau Denmark atau 7% dari hutan hujan Amazon.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "What's the Environmental Impact of Cryptocurrency?". Investopedia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-10-31. 
  2. ^ "UN Study Reveals the Hidden Environmental Impacts of Bitcoin: Carbon is Not the Only Harmful By-product". United Nations University (dalam bahasa Inggris). 2024-11-19. Diakses tanggal 2024-10-31.