Danau Satonda
Danau Satonda terletak di tengah Pulau Satonda dan termasuk wilayah Kabupaten Dompu, NTB. Danau ini mempunyai keunikan karena airnya asin seperti air laut. Diperkirakan air danau ini asin karena tercampur dengan air laut yang meluap dan terperangkap di danau pada saat gunung Tambora meletus (mirip dengan danau Kakaban). Ini dimungkinkan karena jarak pulau Satonda dengan gunung Tambora sangatlah dekat dan seperti diketahui letusan gunung Tambora merupakan letusan yang sangat dahsyat sehingga sangat mungkin menimbulkan gelombang pasang (tsunami) yang dahsyat pula.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Masyarakat mengekspresikan keunikan air danau di sebelah utara seberang Gunung Tambora, Nusa Tenggara Barat, itu lewat cerita rakyat. Dikisahkan, Raja Tambora dalam perjalanan menuju Sumatra untuk mencari pasangan hidup. Di dekat Dompu, bertemulah raja dengan perempuan rupawan. Dia terpikat dan menginginkan perempuan itu menjadi istrinya.
Saat sang raja bercerita tentang dirinya, perempuan itu menyadari raja itu merupakan putranya yang hilang, dan menolak pinangan raja. Bangkitlah murka raja. Dia bersikeras mempersuntingnya.
Tiba-tiba muncul awan hitam bergulung-gulung, petir menyambar, dan Bumi berguncang. Saat itulah Gunung Tambora meledak dan menimbulkan gelombang besar yang memisahkan daratan menjadi pulau-pulau kecil. Sang Kuasa murka terhadap raja yang ingin memperistri perempuan yang ternyata ibu kandungnya itu.
Sang raja selamat dan terdampar di sebuah pulau. Dia menyesal dan menangis. Air matanya mengalir dan menggenang, yang lalu dikenal sebagai danau air asin Satonda.
Jika masyarakat mengekspresikan ketakjuban mereka terhadap pulau gunung api Satonda lewat mitos, ilmuwan asing menggali misteri keasinan air danau itu melalui penelitian. Penjaga Satonda, Toto Suharto (39), mengungkapkan, sejak tahun 1984, danau itu menarik perhatian banyak peneliti, terutama dari luar negeri.
Penelitian
[sunting | sunting sumber]Dua ilmuwan Eropa, Stephan Kempe dan Josef Kazmierczak, merintis penelitian di danau itu. Mereka pertama kali mengunjungi Danau Satonda saat Dutch Indonesian Snellius II Expedition pada November 1984, dan kemudian kembali untuk menelitinya pada 1989 dan 1996.
Bagi keduanya, Satonda merupakan fenomena langka karena airnya yang asin dengan alkalinitas (tingkat kebasaan) sangat tinggi dibandingkan dengan air laut umumnya. Mereka lalu mencoba merekonstruksi sejarah pembentukan danau dan ekosistemnya.
Kempe dan Kazmierczak berpendapat basin Satonda muncul bersamaan dengan terbentuknya kawah lebih dari 10.000 tahun lalu.[1] Aslinya, danau itu berisi air tawar, yang dibuktikan dari deposit gambut di bawah endapan menyerupai mineral laut di pinggir danau. Danau itu lalu dibanjiri dengan air laut yang merembes melalui celah dinding kawah yang runtuh. Pada waktu itu, permukaan air laut 1 meter-1,5 meter lebih tinggi dibandingkan saat ini.
Namun, ketinggian laut secara perlahan menyusut. Penapisan air laut melalui dinding kawah pun melambat. Sekarang, ketinggian air danau relatif stabil, yang menandai tidak ada lagi hubungan dengan air laut.
Perubahan lingkungan air Danau Satonda memengaruhi juga spesies yang hidup di dalamnya. Kejenuhan dan alkalinitas air naik ke tingkat yang menyebabkan pemusnahan hampir semua jenis moluska, kecuali spesies gastropoda (keong/siput) tertentu, seperti Cerithium corallium. Jenis ini diduga menjadi subspesies endemik Satonda. Selain itu juga ditemui beberapa jenis ganggang.
J Kazmierczak juga mengambil sampel mirip karang yang disebut stromatolit atau sembulan mikrobial, yaitu struktur terumbu yang tersusun oleh mikrob bakteri dan ganggang. Material stromalit berlimpah pada kurun prekambrium, atau sekitar 3,4 miliar tahun lalu. Struktur stromatolit dalam perkembangannya tidak pernah ditemukan lagi.
Kehadiran stromatolit di Satonda menjadi sangat menarik karena menunjukkan danau ini memiliki lingkungan yang menyerupai lautan purba, prakambrium. Stromatolit di dunia modern hanya ditemukan di air dengan salinitas sangat tinggi. Satonda bagi para ilmuwan menjadi model lingkungan kontemporer yang mencerminkan kondisi lautan pada zaman purba.
Dalam perkembangannya, Kempe dan Kazmierczak menuliskan, hujan membuat permukaan air danau menjadi lebih tawar. Dugaan lain yang menyebabkan berkurangnya kadar garam air permukaan danau adalah letusan Tambora pada 1815.
Letusan Tambora telah menghancurkan hutan di Satonda. Tiadanya pepohonan menyebabkan berkurangnya penguapan, air hujan pun banyak yang terkumpul di kawah. Itu menyebabkan lapisan air bagian atas menjadi lebih tawar. Pada saat yang sama, sebagian air yang lebih tua dan lebih asin tertekan ke bawah atau keluar danau melalui pori-pori bebatuan vulkanik yang terbuka.
Vegetasi
[sunting | sunting sumber]Danau memiliki tingkat keasinan yang tinggi, sehingga tidak banyak keragaman vegetasi yang ditemukan. Sementara di sekeliling danau, banyak ditumbuhi pohon kalibuda yang dianggap keramat oleh masyarakat sekitar.[2]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Kempe, Stephan; Kazmierczak, Josef (1996). "Microbialites and Hydrochemistry of the Crater Lake of Satonda - a Status Report" (PDF). University of Goettingen.
- ^ "Di Pulau Satonda NTB, Ada Danau di Tengah Laut hingga Pohon Berbuah Batu". www.msn.com. Diakses tanggal 2019-07-13.
2.^ Katheryn A. Monk,[1] Yance De Fretes, Gayatri Reksodiharjo-Lilley (1997).The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. The Ecology of Indonesia Series. Vol V. PERIPLUS EDITION. Dalhosie University, Canada.
- ^ "Kathryn Anne Monk" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-01-13.