Defisit demokrasi
Defisit demokrasi adalah suatu situasi dimana kurangnya akuntabilitas dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang demokratis.[1] Sedangkan menurut Leeds defisit demokrasi bermakna bahwa institusi-institusi, terutama pemerintah gagal memenuhi prinsip-prinsip umum demokrasi.[2] Prinsip umum ini mencakup partisipasi, kompetisi untuk mendapat kekuasaan, pemilihan umum, akuntabilitas dan lain sebagainya.[2] Terdapat beberapa ruang perbedaan pendapat dalam membangun tolak ukur nilai demokratik karena tidak ada konsep seragam mengenai demokrasi tetapi pada intinya dapat didefinisikan sebagai pemerintah yang berada di bawah tekanan struktural yang responsif terhadap keinginan masyarakat.[2]
Pertama kali ungkapan defisit demokrasi dikutip oleh Pemuda Eropa Federalis (Young European Federalist) dalam Manifesto JEF pada tahun 1977 di Berlin, yang disusun oleh Richard Corbett.[3] Ungkapan ini juga digunakan oleh David Marquand pada tahun 1979, mengacu pada Masyarakat Ekonomi Eropa (European Economic Community) yang kemudian menjadi Uni Eropa (European Union).[3]
Organisasi Internasional
[sunting | sunting sumber]Sistem internasional menurut pandangan realis ialah situasi yang anarki, di mana tidak adanya kekuatan melebihi kekuasaan negara,[4] sehingga setiap negara harus mempertahankan kepentingan nasionalnya masing-masing karena tidak ada kekuatan yang dapat menjamin kelangsungan hidup negara tersebut.[4] Kaitan dengan demokrasi defisit ialah kehadiran organisasi internasional yang mengatasi situasi anarkis dan menjadi saran koperasi karena sering kali bahkan banyak melewati batas kedaulatan negara.[5] Robert Dahl menyatakan bahwa organisasi internasional tidak dapat mendukung deliberasi demokrasi dan keputusan secara langsung.[6] Organisasi internasional memiliki karakteristik lemah dalam pengembangan institusi untuk pemilihan langsung atau akuntabilitas kelompok kepentingan sebagai penyedia sistem politik nasional.[5] Sehingga, sebagaimana yang dikemukakan oleh David Held, sistematisasi ketentuan produk publik global membutuhkan tidak hanya keberadaan institusi multilateral, tetapi juga perluasaan dan perkembangan organisasi internasional dalam rangka pembahasan tranparansi, akuntabilitas, dan demokrasi.[5]
Beberapa organisasi internasional mengalami defisit demokrasi, tetapi ini tidak berarti bahwa semua mengalami situasi tersebut dan untuk mendemonstrasikan hal sebaliknya diperlukan analisis empiris yang berbeda dan belum pernah dilakukan sebelumnya.[5] Melalui sebuah ilustrasi, Andrew Moravcsik mempertimbangkan sebuah kasus yang menunjukkan sistem integrasi kedaulatan yakni Uni Eropa.[5] Hal ini dipertimbangkan karena mengalami situsi sulit dari defisit demokrasi, juga untuk membahas kembali tujuan utama dari konvensi konstitusional dan negosiasi yang sedang berlangsung.[5]
Indonesia
[sunting | sunting sumber]Jika demokrasi hanya dimaknai sebagai kesuksesan menyelenggarakan pemilihan umum tanpa konflik, maka Indonesia sudah melaksanakannya. Tetapi permasalahannya ialah implikasi terhadap kehidupan masyarakat dan negara sehari-hari.[7] Demokrasi yang sehat terjadi bila ada penegakan hukum yang bebas dari kepentingan politik dan kekuasaan.[7] Namun, makna ini nyatanya mengalami defisit karena hukum mengalami peradangan dan baru tegak dan tegas jika mendapat tekanan, dengan begitu hukum bekerja di bawah bayang-bayang kekuasaan.[7]
Terlebih setelah Reformasi, Indonesia dilihat menjadi salah satu negara dengan perkembangan demokrasi yang paling cepat.[8] Pandangan ini terutama muncul setelah banyak orang yang melihat pemilihan-pemilihan umum berjamuran di mana-mana baik dari level kepala desa hingga Presiden.[8] Selain itu, juga muncul perubahan-perubahan lain di struktur pemerintahan, seperti pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diharapkan dapat menghentikan berbagai praktik korupsi yang di berbagai institusi pemerintahan.[8] Bahkan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton pernah memuji Indonesia sebagai role-model, khususnya bagi Myanmar dan negara-negara di Timur Tengah, karena telah mengalami transisi dari pemerintahan yang otoritarian menuju demokrasi yang tumbuh pesat dengan populasi yang mayoritas Muslim.[8]
Meskipun terdapat perkembangan ini, masih terdapat persoalan kesetaraan.[8] Hal ini berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum yang ada di Indonesia terutama pengertian DEMOS alias rakyat dalam demokrasi liberal di Indonesia sekarang ini, tidak benar-benar menjadi pemegang tampuk kekuasaan tertinggi, yang dapat menentukan berbagai kepentingannya menjadi sebuah kebijakan.[9] Rakyat selalu menyerahkan nasibnya pada wakil rakyat, itulah proses demokrasi perwakilan.[9]
Dengan demikian, suara rakyat telah terfilterisasi menjadi tuntutan kepada wakil rakyat di pemerintahan untuk mendengarkan dan memperjuangkan suara mereka.[9] Ketika para wakil rakyat tak pernah menghiraukan suara rakyat ini, maka itulah yang dinamakan fenomena defisit dalam demokrasi.[9]
Defisit demokrasi ini kemudian menjadikan demokrasi perwakilan tak pernah berjalan berkelanjutan.[9] Menurut Daniel Schugurensky (2004), demokrasi perwakilan yang diselenggarakan lima tahunan sekali (seperti di Indonesia), hanya benar-benar terjadi ketika rakyat berada dalam kotak suara untuk memberikan hak pilih mereka pada pemilihan umum.[9] Setelah proses pemilu berakhir dengan membawa hasil pemenangnya, rakyat kembali melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasa, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.[9]
Artinya, pemilu dalam konteks demokrasi liberal tidak akan pernah dapat mempersatukan masyarakat untuk sadar akan kekuasaan tertinggi mereka dalam sistem demokrasi ini.[9] Proses pemilu bahkan menjadi ajang tercerai-berainya individu-individu serta mencegah kekuasaan kolektif dari masyarakat (Gorzt, 2005: 121).[9] Sehingga pemilu tak lebih dari proses justifikasi terhadap pemerintahan (kratos) yang tak berdasar pada rakyat (demos).[9]
Hal tersebut terjadi lantaran saluran suara rakyat yang berada di pemerintahan (wakil rakyat) sering kali macet sebagai peranti dalam memperjuangkan kehidupan rakyat karena rakyat tak pernah murni berdaulat dalam memberikan hak pilihnya ketika pemilu tiba.[9]
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ "democratic deficit". http://www.thefreedictionary.com. Diakses tanggal 1 Mei 2014. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - ^ a b c "How do we define the democratic deficit?". http://www.leeds.ac.uk. Diakses tanggal 1 Mei 2014. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - ^ a b "The first use of the term "democratic deficit"". http://www.federalunion.org.uk. Diakses tanggal 1 Mei 2014. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - ^ a b "The International System". http://www.wwnorton.com. Diakses tanggal 2 April 2014. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - ^ a b c d e f "Is There A Democratic Deficit in World Politics?" (PDF). http://www.princeton.edu. Diakses tanggal 2 Mei 2014. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - ^ Robert Dahl. Can International Organization be Democratic? A Sceptic's View', in Ian Shapiro and Casiano Hacker-cordon (eds), Democracy's Edges. Cambridge University Press. hlm. 19-36.
- ^ a b c "Defisit Demokrasi". http://www.unisosdem.org. Diakses tanggal 5 Mei 2014. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan)[pranala nonaktif permanen] - ^ a b c d e "Defisit Demokrasi Vs Surplus Media: Paradoks Demokratisasi di Indonesia pada Era Media Baru". https://www.academia.edu. Diakses tanggal 6 Mei 2014. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - ^ a b c d e f g h i j k "Defisit Demokrasi Plutokrat". http://www.klik-galamedia.com. Diakses tanggal 6 Mei 2014. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan)[pranala nonaktif permanen]