Dendang
Dendang adalah jenis musik Minang vokal yang berkembang di masyarakat orang Minangkabau sebagai salah satu tradisi menyanyi, maupun macam sastra Minangkabau lisan.[1] Dendang, sebagai warisan kesenian pendahulu menjadi tidak populer lagi karena sudah tergantikan musik modern, seperti orgen tunggal atau grup musik. Artinya, dendang tidak lagi menjadi kesenian favorit yang digemari masyarakat. Celakanya, jika hal ini terus berlangsung, sebuah warisan kebudayaan Minangkabau akan musnah dan hilang ditelan perut bumi.
Kata dendang berasal dari kata "den indang" yang pada mulanya berarti "saya asuh". Tidak diketahui secara pasti, kapan dendang muncul dan dari daerah mana ia tumbuh pertama kali. Menurut Mahyudin (1976), dendang berasal dari kata den indangyang artinya 'saya asuh'. Indang, selain mempunyai arti 'mengasuh' juga bermakna 'menampin', yaitu memisahkan beras dari atah dengan cara mengayun-ayunkan nyiru secara terus-menerus. Yang dimaksud dengan makna adalah mengasuh, yaitu mengasuh anak dengan cara mengayun-ayunkan anak sambil mengeluarkan kata-kata yang bertujuan mendiamkan si anak agar tidak menangis. Kata-kata yang dikeluarkan secara berulang-ulang itu menimbulkan irama khusus. Irama inilah yang berkembang menjadi dendang. Namun, kapan dendang muncul secara pasti, tidaklah diketahui.Dendang terbagi dalam beberapa jenis, yaitu menurut daerah dan menurut iramanya. Menurut daerah, dendang dapat dikelompokkan menjadi dendang Luhak Tanah Datar, dendang Luhak Agam, dendang 50 Kota, dan dendang Pesisir. Menurut iramanya, dendang dikelompokkan menjadi dendang ratok, dendang tari, dendang kaba, dan dendang salawat dulang.[2]
Perkembangan dendang sudah begitu pesat. Dendang sudah dikenal masyarakat Sumatera Barat (Minangkabau). Hampir disetiap daerah mempunyai grup dendang, mulai dari kalangan tua, muda, anak-anak, berpendidikan atau tidak, ulama, umara menyukai dendang. Namun, sekarang generasi muda tidak lagi menyukai dendang. Apalagi, generasi muda sekarang jarang sekali diperdengarkan dengan musik asli kebudayaan mereka karena telah terpengaruh dengan perkembangan teknologi seperti dari musik-musik impor yang didengarkan di televisi.[3]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Suryadi (1993). Dendang Pauah: cerita orang Lubuk Sikaping. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-159-3.
- ^ Pantun sebagai teks nyanyian di Minangkabau kiriman wardizal.
- ^ Mulyadi; et al. (2008). Ensiklopedia sastra Minangkabau. Padang: Balai Bahasa Padang. hlm. 34–38. ISBN 978-979-685-773-9.