Lompat ke isi

Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?
PengarangKiki Sulistyo
Ilustrator-
BahasaIndonesia Indonesia
GenrePuisi
PenerbitPenerbit BASABASI
Tanggal terbit
Cetakan: I, 2017
Halaman-
ISBNISBN 978-602-6651-01-3

Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari? adalah buku kumpulan puisi karya Kiki Sulistyo yang diterbitkan pada tahun 2017 oleh Penerbit BASABASI. Buku dengan nomor ISBN 978-602-6651-01-3 dan epilognya disampaikan oleh Afrizal Malna, ini mengantarkan Kiki meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) pada tahun 2017 melalui kategori Puisi. Tahun yang sama, KSK juga memberikan penghargaan kepada Mahfud Ikhwan dengan karyanya Dawuk, Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu melalui kategori Prosa dan Nunuk W. Kusmiana dengan karyanya, Lengking Burung Kasuari melalui kategori Karya Perdana atau Kedua.[1]

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Tema kenangan dan masa lalu memang kerap membuat orang-orang termotivasi untuk menulis puisi. Tidak ingin ingatan hilang begitu saja, kemudian puisi menjadi tempat penyimpanan semacam menumen atau tugu. Sedikit berbeda dengan sejarah yang cenderung monoton dalam penyebutan tempat dan tanggal-tanggal. Puisi tidak hanya memendam kejadian secara tampak dan kasatmata, namun puisi merangkum segenap emosi, perasaan, pikiran, dan persepsi-persepsi yang terjadi. Lebih absurd dan penuh makna, juga pastinya lebih multi tafsir. Lebih lanjut lagi, ingatan musti memiliki tempat masing-masing. Oleh karena itu, Kiki memilih kota sebagai wadah ingatan-ingatannya, tempat tinggalnya (dahulu), tempat kengangan-kenangan berkelebat dan kembali pulang.

Dalam penuturannya, Kiki mulai menulis puisi-puisi yang terkumpul dalam buku tersebut ketika sudah tidak lagi tinggal di Ampenan (nama kota dalam judul buku kumpulan puisinya). Setelah lama tertimbun modernisasi dan perkembangan peradaban juga tatanan kota yang banyak berubah dan senantiasa dalam kedinamisan zaman, kenangan bahwa dirinya pernah tinggal di kota itu tetap terbayang, mendesak, dan meluap sehingga secara tidak langsung memaksa kiki menulis puisi. Pesan yang tersirat dalam puisi-puisinya sangat renyah dipahami, melalui diksi-diksi yang terkessan ‘berterusterang’, seperti mengajak pembaca mengimajinasikan rupa perbedaan tatanan kota antara sekarang dan masa lalu, juga merangsang kita ikut merasakan sisa-sisa emosi dan perasaan yang terus kekal seiring perubahan waktu.

Keramaian kota sering kali melahirkan kesepian pada beberapa individu, semua mulai sibuk sendiri dan semua mulai merasa terasingkan entah disengaja ataupun tidak. Dinamika sosial tempat latar puisi-puisi dalam kumpulan buku ini lebih berpotensi menyentuh pembaca yang hidup pada zaman penuh kesibukan dan sarat kepentingan masing-masing. Di bagian lain Kiki seperti memaparakan dengan pilihan majas yang pas perihal keramaian kota dengan tanpa dirinya merasakan atau menikmati keramaian tersebut. Dia seakan memosisikan dirinya sebagai pengamat kemudian menyampaikannya dalam puisi perihal keramaian yang menimbulkan kesan kesepian pada dirinya, semacam memaksa pembaca ikut merasa yang dirasakan.

Pada beberpa puisi di akhir kumpulan buku ini, penyampaian puisi terasa lebih santun dan kalem. Kiki seperti menemukan jalan atau lorong imajiner untuk memasuki dunia kota yang tak kasatmata. Sebagai seorang pendatang yang dulunya pernah tinggal di sana, dia seakan bisa kembali ke kota itu tanpa harus mendatanginya. Dengan berkendara puisi dan diksi, dia memasuki bagian kota yang hanya bisa dirasakan dengan cara direnungkan dan dibayangkan. Perasaan yang timbul dalam puisi menjadikan kota sebagai suatu sosok yang hidup dan tahu setiap ada orang yang datang, sedangkan si penulis puisi berusaha memasuki dan mendatangi kota itu tanpa sepengetahuan, mengendap-ngendap, kemudian mencari-cari ingatan dan kenangan yang tertimbun umur kota untuk dijadikan sebuah puisi. Kiki seperti sedang mengendap-ngendap mencari puing-puing kota yang berserakan, kemudian dia ambil dan susun kembali menjadi sebuah bangunan yang disebut puisi.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Harian Bhirawa: Kota dan Sajak-sajak Nostalgia[pranala nonaktif permanen] diakses 2 Januari 2018