Efek teratogen
Efek teratogen adalah efek obat yang menyebabkan kecacatan bagi janin di dalam perut ibu hamil. Penyebabnya adalah paparan obat yang bersifat teratogenik. Masa paparan yang paling rentan menyebabkan kecacatan adalah pekan ketiga hingga kedelapan sejak kehamilan. Kecacatan janin sangat dipengaruhi oleh jumlah dosis yang terpapar padanya.
Mekanisme
[sunting | sunting sumber]Mekanisme dari efek teratogen berkaitan dengan perkembangan embrio. Efek teratogen dimulai sejak pertemuan dua gamet yang membentuk zigot. Keduanya adalah gamet jantan yang disebut sel spermatozoa dan gamet betina yang disebut sel ovum.[1]
Efek teratogen terjadi karena obat-obatan yang dikonsumsi oleh ibu hamil menembus hingga ke bagian plasenta. Akibatnya, embrio dan janin yang dalam masa pertumbuhan terpapar oleh obat tersebut hingga akhirnya mengalami teratogenik. Efek teratogen tidak hanya ditimbulkan oleh obat, tetapi juga oleh tumbuhan obat. Beberapa jenis tumbuhan obat yang telah diketahui dapat menimbulkan efek teratogen adalah ekstrak mahkota dewa, daun pegagan dan ekstrak mengkudu.[2]
Jenis obat
[sunting | sunting sumber]Obat teratogen dapat dibedakan menjadi tiga berdasarkan tingkatan dari efek teratogennya. Pertama, obat dengan sifat teratogenik yang pasti. Kedua, obat yang kemungkinan besar bersifat teratogenik. Ketiga, obat yang diduga bersifat teratogenik.[3] Obat dapat menimbulkan efek teratogen bila memiliki kemampuan untuk bekerja pada janin secara tidak langsun atau jaringan induk pada hewan secara langsung. Efek teratogen juga dapat timbul jika obat menghambat aliran oksigen atau nutrisi dari plasenta menuju ke janin. Pada jaringan tubuh janin yang sedang berkembang, obat dapat memberikan diferensiasi yang merupakan efek teratogen secara langsung. Diferesiansi ini menyebabkan abnormalitas pada induk hewan atau janin.[4]
Masa pemaparan
[sunting | sunting sumber]Tingkat stadium perkembangan kehamilan menentukan tingkat kerentanan terhadap teratogen. Kecatatan lahir paling sering terjadi ketika janin terpapar oleh teratogen sejak pekan ketiga hingga kedelapan sejak kehamilan. Sementara itu, tingkat keabnormalan yang dihasilkan oleh teratogen tergantung pafa banyak dosis yang terpapar pada janin.[5] Pada dosis rendah, embrio tidak memberikan respon kepada tetratogen. Sehingga janin tidak mengalami kecacatan. Pada dosis sedang, malformasi organ terjadi pada janin. Pada dosis tinggi, embrio dapat mengalami kematian.[4]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Poernomo 2017, hlm. 2.
- ^ Hilmarni, Rahmawati, U., dan Ranova, R. (2017). "Uji Efek Teratogenik Ekstrak Etanol Daun Wungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) pada Mencit Putih" (PDF). Scientia: Jurnal Farmasi dan Kesehatan. 7 (2): 152. ISSN 2087-5045.
- ^ Siswosudarmo, Risanto (1991). "Obat-Obat dalam Kehamilan dan Persalinan". Berkala Ilmu Kedokteran. XXIII (2): 64. ISSN 0126-1312.
- ^ a b Poernomo 2017, hlm. 4.
- ^ Poernomo 2017, hlm. 3.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Poernomo (14 Desember 2017). Potensi Paparan Teratogenesis untuk Menghindari Kejadian Cacat Lahir pada Hewan (PDF). Surabaya: Perpustakaan Universitas Airlangga.