Ekosida
Ekosida (Bahasa Yunani: oikos- tempat tinggal dan bahasa Latin cadere – membunuh) adalah adalah pemusnahan sumber daya dan ekosistem yang diperlukan dalam kehidupan manusia dengan cara eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam secara masif.[1] Independent Expert Panel (IEP) mendefiniskan Ekosida sebagai "tindakan yang melanggar hukum atau tindakan sembarangan yang dilakukan secara sadar bahwa ada kemungkinan besar terjadinya kerusakan lingkungan yang parah dan meluas atau jangka panjang yang disebabkan oleh tindakan tersebut".[2][3]
Sifat dari ekosida adalah merusak lingkungan dan memusnahkan manusia secara bersamaan khusunya pada wilayah yang mengalami kemiskinan. Ekosida dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang menimbulkan berbagai masalah sosial, budaya dan kesehatan manusia di sekitar lingkungan tersebut. Masyarakat yang terkena dampak ekosida dapat mengalami krisis ekonomi akibat kehilangan sumber daya ekonomi dan pekerjaan. Ekosida juga dapat menimbulkan penyakit yang mematikan pada tubuh manusia dan mengubah budaya serta mengurangi keeratan interaksi sosial antarwarga.[4]
Pemakaian istilah
[sunting | sunting sumber]Istilah ekosida pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli biologi dan ahli botani Amerika Serikat yang bernama Arthur W. Galston. Ekosida diperkenalkan selama penyelenggaraan Konferensi Pertanggungjawaban terhadap Perang yang diadakan di Washington. Dalam pengertian ini, ekosida merupakan suatu jebakan kapitalisme global akibat kegagalan pembangunan yang kemudian memunculkan tindakan ekosida. Pada awalnya, ekosida diartikan sebagai bentuk kebrutalan tentara Amerika Serikat dalam menggempur tentara Barisan Nasional untuk Pembebasan Vietnam Selatan dalam Perang Vietnam. Di hutan-hutan persembunyian, tentara Amerika Serikat menyebarkan 19.000 ton zat kimia berbahaya. Gen manusia, flora dan fauna di sekitarnya mengalami perubahan dan mengalami kematian. Setelah istilah ini diperkenalkan, ekosida menjadi istilah populer di kalangan aktivis lingkungan. Para aktivis ini menggunakan istilah ekosida untuk menyebut penghancuran lingkungan secara massal.[5]
Jenis
[sunting | sunting sumber]Tindakan ekosida dapat dilakukan oleh banyak pihak, terutama oleh masyarakat dan politikus. Ekosida tidak terjadi secara alami karena tindakan pemusnahan sumber daya alam tidak dapat terjadi tanpa adanya suatu struktur atau cara sistematis tertentu. Jenis ekosida yang paling umum adalah alih fungsi hutan secara tidak terkendali. Alih fungsi ini ditujukan utamanya untuk kegiatan pertambangan, pariwisata, dan perkebunan. Sementara itu, jenis ekosida yang lainnya antara lain yaitu perusakan habitat binatang, pengurasan populasi ikan, perusakan laut, serta pengolahan air bersih dan pengelolaan sampah yang buruk.[6]
Ekosida di Indonesia
[sunting | sunting sumber]Salah satu bentuk ekosida adalah adanya deforestasi di Indonesia.[7][8][9][10][11] Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat deforestasi tercepat.[12][13] Pada tahun 2020, masih terdapat sekitar 49.1% area lahan yang tertutup hutan,[14] jumlahnya jauh menurun dibandingkan pada tahun 1950 dengan luas area 87%.[15] Sejak tahun 1970-an, produksi kayu gelondongan, munculnya berbagai lahan perkebunan, serta pertanian menjadi penyebab meingkatnya tindakan deforestasi di Indonesia.[15] Akhir-akhir ini, tindakan deforestasi banyak disebabkan oleh industri minyak kelapa sawit,[16] yang sebenarnya telah banyak sekali dikritik karena dampak negatifnya terhadap lingkungan serta penggusuran warga atau komunitas lokal.[13][17] Situasi ini menjadikan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia yang berasal dari hutan.[18] Selain merusak lingkungan dan mengganggu kestabilan warga atau komunitas lokal, tindakan ini juga menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup spesies asli dan endemik di daerah terdampak. International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengidentifikasi sebanyak 140 spesies mamalia sebagai spesies terancam dan 15 lainnya sebagai spesies terancam kritis, di antaranya adalah burung Jalak bali[19], Orang utan sumatra[20], dan Badak jawa.[21]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Mehta, Jojo; Jackson, Julia (24 February 2021). "To stop climate disaster, make ecocide an international crime. It's the only way". the Guardian (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 30 June 2022.
- ^ "LEGAL DEFINITION OF ECOCIDE". Stop Ecocide International. Diakses tanggal 13 May 2023.
- ^ "Legal experts worldwide draw up 'historic' definition of ecocide". The Guardian. 22 June 2021.
- ^ Regus dan Den 2020, hlm. 268.
- ^ Regus dan Den 2020, hlm. 267.
- ^ Regus dan Den 2020, hlm. 267-268.
- ^ "Forensic Architecture". forensic-architecture.org. Diakses tanggal 5 July 2023.
- ^ "Explainer: What is ecocide?". Eco-Business (dalam bahasa Inggris). 4 August 2022. Diakses tanggal 5 July 2023.
- ^ Aida, Melly; Tahar, Abdul Muthalib; Davey, Orima (2023), Perdana, Ryzal; Putrawan, Gede Eka; Saputra, Bayu; Septiawan, Trio Yuda, ed., "Ecocide in the International Law: Integration Between Environmental Rights and International Crime and Its Implementation in Indonesia", Proceedings of the 3rd Universitas Lampung International Conference on Social Sciences (ULICoSS 2022), Advances in Social Science, Education and Humanities Research (dalam bahasa Inggris), Paris: Atlantis Press SARL, 740, hlm. 572–584, doi:10.2991/978-2-38476-046-6_57 , ISBN 978-2-38476-045-9
- ^ Alberro, Heather; Daniele, Luigi (29 June 2021). "Ecocide: why establishing a new international crime would be a step towards interspecies justice". The Conversation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 5 July 2023.
- ^ Setiyono, Joko; Natalis, Aga (30 December 2021). "Ecocides as a Serious Human Rights Violation: A Study on the Case of River Pollution by the Palm Oil Industry in Indonesia". International Journal of Sustainable Development and Planning (dalam bahasa Inggris). 16 (8): 1465–1471. doi:10.18280/ijsdp.160807 . ISSN 1743-7601.
- ^ Selling Out West Papua | 101 East (dalam bahasa Inggris), Al Jazeera, 25 June 2020
- ^ a b Limaho, Handoko; Sugiarto; Pramono, Rudy; Christiawan, Rio (14 July 2022). "The Need for Global Green Marketing for the Palm Oil Industry in Indonesia". Sustainability. 14 (14): 8621. doi:10.3390/su14148621 .
- ^ "Forest area (% of land area) – Indoneisa". World Bank. Diakses tanggal 14 June 2021.
- ^ a b Tsujino, Riyou; Yumoto, Takakazu; Kitamura, Shumpei; Djamaluddin, Ibrahim; Darnaedi, Dedy (November 2016). "History of forest loss and degradation in Indonesia". Land Use Policy. 57: 335–347. doi:10.1016/j.landusepol.2016.05.034.
- ^ Austin, Kemen G; Schwantes, Amanda; Gu, Yaofeng; Kasibhatla, Prasad D (1 February 2019). "What causes deforestation in Indonesia?". Environmental Research Letters. 14 (2): 024007. Bibcode:2019ERL....14b4007A. doi:10.1088/1748-9326/aaf6db .
- ^ Colchester, Marcus; Jiwan, Normal; Andiko, Martua Sirait; Firdaus, Asup Y.; Surambo, A.; Pane, Herbert (26 March 2012). "Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia: Implications for Local Communities and Indigenous People" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 May 2012. Diakses tanggal 31 May 2012.
- ^ Chrysolite, Hanny; Juliane, Reidinar; Chitra, Josefhine; Ge, Mengpin (4 October 2017). "Evaluating Indonesia's Progress on its Climate Commitments". World Resources Institute. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 October 2017. Diakses tanggal 26 August 2018.
- ^ BirdLife International (2016). "Leucopsar rothschildi". 2016: e.T22710912A94267053. doi:10.2305/IUCN.UK.2016-3.RLTS.T22710912A94267053.en.
- ^ "Extinction crisis escalates: Red List shows apes, corals, vultures, dolphins all in danger". International Union for Conservation of Nature. 12 September 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 October 2016. Diakses tanggal 16 October 2016.
- ^ van Strien, N.J.; Steinmetz, R.; Manullang, B.; Sectionov, K.H.; Isnan, W.; Rookmaaker, K.; Sumardja, E.; Khan, M.K.M.; Ellis, S. (2008). "Rhinoceros sondaicus". 2008: e.T19495A8925965. doi:10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T19495A8925965.en.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Regus dan Den (2020). Lakukanlah Semua dalam Kasih (PDF). Jakarta: Penerbit Obor. ISBN 978-979-565-868-9.