Emigrasi
Emigrasi adalah tindakan meninggalkan negara asal seseorang atau wilayah untuk menetap di negara lain (secara permanen meninggalkan negara asal).[1] Berkebalikan dengan imigrasi, emigrasi dilihat dari sudut pandang negara asal yang ditinggalkan Kedua hal ini merupakan bentuk migrasi internasional atau melintasi batas geografi nasional.
Orang yang memilih beremigrasi disebabkan banyak alasan, seperti dorongan ekonomi maupun peningkatan kualitas hidup. Jika dilihat dari ekonomi, emigrasi bisa menguntungkan bagi pihak negara asal maupun negara tujuan, tergantung bagaimana emigrasi didukung dengan kebijakan yang benar.[2] Orang yang melakukan emigrasi disebut emigran.
Faktor Pendorong dan Penarik
[sunting | sunting sumber]Manusia memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhannya baik dari segi ekonomi, sosial, psikologi, dan lainnya. Apabila kebutuhannya dirasa tidak dapat dipenuhi di negaranya, wajar bila manusia mencari sumber untuk melengkapi kebutuhannya salah satunya dengan migrasi antar negara. Setiap orang yang memilih untuk bermigrasi, tentu harus memilih negara mana yang akan menjadi tujuannya.[2]
Secara umum, keputusan untuk beremigrasi tergantung bagaimana hasil evaluasi atau pertimbangan pada kondisi negara asal dan negara tujuan. Sebelum beremigrasi, emigran akan mempertimbangkan biaya dan manfaat yang akan dia terima. Emigran akan mempertimbangkan biaya yang dibutuhkan untuk mencapai negara tujuan dan memutuskan apabila manfaat yang akan diperoleh melebihi biaya yang harus dikeluarkan.[3]
Semakin rendah pemenuhan kebutuhan yang bisa didapatkan, semakin tinggi dorongan atau tekanan untuk bermigrasi, begitu pula sebaliknya. Dalam pembahasan emigrasi, teori kebutuhan dan tekanan (need and stress) ini menyimpulkan sebuah alasan bahwa seseorang melakukan emigrasi disebabkan adanya faktor pendorong dari negara asal dan faktor penarik di negara tujuan[2]
Faktor pendorong untuk beremigrasi, misalnya:[3][4]
[sunting | sunting sumber]- Kesempatan kerja yang sulit dijangkau;
- Kurangnya kualitas edukasi;
- Kurangnya hak politik;
- Kurangnya hak agama;
- Ancaman penangkapan atau hukuman;
- Kurangnya toleransi terhadap ras, agama, kelamin yang berbeda;
- Ekonomi yang kurang stabil;
- Konflik militer dan perang;
Faktor penarik untuk beremigrasi, misalnya:[3]
[sunting | sunting sumber]- Peluang yang lebih baik untuk mendapatkan lahan pertanian untuk diri sendiri dan anak-anaknya;
- Kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi;
- Program kesejahteraan yang lebih baik;
- Fasiltas pendidikan yang lebih baik;
- Kebebasan politik;
- Peluang lebih besar untuk menemukan pasangan hidup;
- Keamanan yang terjamin;
- Kondisi ekonomi yang stabil;
Peristiwa Emigrasi
[sunting | sunting sumber]Dalam perjalanan sejarah dunia, telah tejadi emigrasi besar-besaran selama beberapa kali. Hal ini disebabkan berbagai faktor seperti peperangan hingga diskriminasi etnis, ras, maupun agama. Negara-negara di Eropa banyak yang menjadi tujuan para emigran untuk mengungsi dan mengharapkan kehidupan yang lebih baik.
Era Perang Dunia II
[sunting | sunting sumber]Ketika Nazi mulai menguasai Jerman, banyak warga Yahudi bermigrasi ke beberapa negara di Eropa. Dalam tragedi Holokaus tersebut, tercatat sekitar enam juta orang Yahudi dibantai yang dilakukan secara sistematis.[5] Sementara Sebanyak 340 ribu Yahudi melarikan diri dari Jerman dan Austria ke sejumlah negara lain di Eropa, pada masa kekuasaan Nazi periode 1933 hingga 1945.
Emigrasi Amerika Tengah
[sunting | sunting sumber]Ketika Perang El Salvador meletus pada 1980-an, ribuan penduduk memilih untuk beremigrasi ke Amerika pada 1990-an untuk mencari suaka. Kemiskinan, kekerasan, dan kriminalitas yang dialami di negara asal menjadi alasan para emigran ini untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Bahkan, pada 2018 Juru Bicara PBB mengatakan jumlah emigran mencapai 7000 orang.[6]
Vietnam
[sunting | sunting sumber]Akibat dari Perang Vietnam pada 1955 membuat etnis keturunan Indochina di Vietnam melarikan diri ke Eropa untuk kehidupan yang lebih baik. Menurut data dari Robinson, W. Courtland penulis buku Terms of Refugee terbitan UNHCR, sebanyak 46.348 warga Vietnam mengungsi di Prancis, sementara 28.916 warga Vietnam lainnya mengungsi ke Jerman.[7]
Konflik Suriah
[sunting | sunting sumber]Konflik Suriah yang masih terjadi hingga sekarang merupakan salah satu contoh migrasi massal. Jumlah pengungsi yang melarikan diri dari Suriah dan negara-negara tetangga ke Eropa pada September 2015 diperkirakan mencapai 158 juta. Jumlah ini hampir setengah dari penduduk seluruh Amerika Serikat (sebagian besar dari 158 juta pengungsi tidak berada di Eropa tetapi negara-negara sekitar Suriah). Negara-negara Eropa masih terlibat polemik tentang cara memukimkan kembali para pengungsi yang datang ke Eropa baik lewat darat maupun air.[8]
Statistik
[sunting | sunting sumber]Proporsi emigran pada setiap negara amat bervariasi, namun umumnya data mengenai emigran sulit dilacak. Hal ini disebabkan data mengenai imigran lebih sering diperhatikan ketimbang emigran. Tidak seperti data imigran, banyak negara yang kurang memerhatikan data emigran mengingat bahwa mereka tidak lagi menggunakan layanan atau infrastruktur yang didanai dari pemerintah. Kedatangan migran dicatat lebih baik daripada kepergian, dan jumlah emigran sering diperkirakan berdasarkan statistik imigran di negara-negara tuan rumah yang berbeda.[9]
Berdasarkan data statistik yang dirilis PBB pada 2015, India menempati posisi pertama sebagai negara dengan emigran terbanyak yaitu hampir 16 juta jiwa (lahir di negara ini namun tinggal di negara lain). Sedangkan pada urutan kedua ditempati oleh Meksiko dengan lebih dari 12 juta emigran yang sebagian besar berada di Amerika Serikat.[9]
Dampak
[sunting | sunting sumber]Emigran yang terjadi pada setiiap negara tentu menimbulkan dampak baik positif maupun negatif bagi emigran itu sendiri maupun negara yang ditinggalkan berikut penjelasannya.
Dampak Positif bagi Emigran dan Negara yang ditinggalkan[9][4]
[sunting | sunting sumber]- Meningkatkan pendapatan orang-orang yang bekerja di luar negeri karena upah buruh di negara tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan di negara asal.
- Para emigran yang sering mengirim uang ke rumah, meningkatkan standar hidup keluarga mereka dan dengan demikian berkontribusi pada ekonomi rumah tangga dan neraca perdagangan negara-negara tersebut.
- Mengurangi tekanan pada pasar tenaga kerja.
- Mendorong individu untuk meningkatkan keterampilan.
- Memberi perempuan tanggung jawab dan kemandirian ekonomi yang lebih besar.
Dampak Negatif bagi Emigran dan Negara yang ditinggalkan[2]
[sunting | sunting sumber]- Menghadapi stigma atau diskriminasi karena emigran adalah orang asing.
- Berkurangnya tenaga profesional, apabila yang melakukan emigrasi adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi.
- Posisi pekerjaan yang kurang baik bagi para pekerja kasar emigran. Banyaknya lapangan pekerjaan bagi pekerja emigran di negara-negara tujuan, bukan berati mereka bisa mendapatkan posisi pekerjaan yang lebih baik. Pekerja emigran umumnya mendapatkan posisi pekerjaan 3Ds (Dirty, Dangerous, Difficult), terutama bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Pekerjaan yang mereka emban juga bersifat temporer. Diskriminasi yang mereka terima merupakan dampak dari dual labour market
Salah satu contoh kasus pada poin kedua tejadi di Finladia, dimana sejak Perang Dunia II berakhir, banyak penduduk Finlandia bermigrasi ke Amerika Utara disebabkan ekonomi yang berkembang membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Akan tetapi, hal ini terus berlanjut hingga saat ini. Perbedaannya adalah, emigran yang berpindah ke Amerika Utara merupakan tenaga yang lebih terdidik dan kemungkinan mereka untuk kembali ke negara asal semakin menunjukkan penurunan. Negara seperti Finlandia lebih bergantung pada tenaga kerja terdidik daripada negara-negara yang didorong pasar. Jika mereka tidak mendidik cukup banyak orang baru atau merekrut mereka dari tempat lain, itu akan menciptakan masalah struktural bagi ekonomi kesejahteraan seperti hilangnya investasi asing. Ini terjadi pada saat emigrasi usia kerja dari Finlandia terus meningkat. Kerugian bersih sekitar 2.000 warga pada tahun 2015 hampir empat kali lipat dari tahun 2009, dan lebih dari setengahnya berpendidikan universitas.[10]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "emigrasi". KBBI. Diakses tanggal 30 Mei 2020.
- ^ a b c d Hidayati, Inayah. "Kenapa Orang Bermigrasi?".[pranala nonaktif permanen]
- ^ a b c Ben-Sira, Zeev (1997). Immigration, Stress, and Readjustment. Greenwood Publishing Group. hlm. 7–10.
- ^ a b Interrelations between Public Policies, Migration and Development (PDF). OECD. 17 Feb 2017. ISBN 9789264265615. Diakses tanggal 5 Juni 2020.
- ^ "PENGANTAR HOLOCAUST". Museum Peringatan Holokaus AS.
- ^ "Arus Imigrasi dari Amerika Tengah ke AS: Warisan Nekolim Paman Sam". Tirto.id.
- ^ Sari, Amanda Puspita. "Sejarah Migrasi Manusia di Benua Eropa". CNN Indonesia.
- ^ "Migrasi Manusia Terbesar Sepanjang Sejarah Dunia". KORAN SINDO (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-05-15.[pranala nonaktif permanen]
- ^ a b c Pison, Gilles. "Negara mana yang punya paling banyak imigran?". The Conversation.
- ^ Korhonen, Juho. "Finland's brain drain: what happens to small countries when the talent leaves?". The Conversation.