Lompat ke isi

Ethika Nikomakheia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ἠθικὰ Νικομάχεια
PenulisAristoteles Edit nilai pada Wikidata
Bahasabahasa Yunani Kuno Edit nilai pada Wikidata
Subjeketika, moral, kebahagiaan, kebajikan dan filsafat Edit nilai pada Wikidata
Genrerisalah Edit nilai pada Wikidata
Diterbitkan18 Desember
LCCB430 Edit nilai pada Wikidata
Selengkapnya di Wikidata

Ethika Nikomakheia (bahasa Yunani Kuno: Ἠθικὰ Νικομάχεια, translit. Ēthika Nikomakheia) adalah karya Aristoteles tentang kebajikan dan karakter moral yang memainkan peranan penting dalam mendefinisikan etika Aristoteles. Kesepuluh buku yang menjadi etika ini didasarkan pada catatan-catatan dari kuliah-kuliahnya di Lyceum dan disunting atau dipersembahkan kepada anak lelaki Aristoteles, Nikomakus.

Ethika Nikomakheia memusatkan perhatian pada pentingnya membiasakan berperilaku bajik dan mengembangkan watak yang bajik pula. Aristoteles menekankan pentingnya konteks dalam perilaku etis, dan kemampuan dari orang yang bajik untuk mengenali langkah terbaik yang perlu diambil. Aristoteles berpendapat bahwa eudaimonia adalah tujuan hidup, dan bahwa ucaha mencapai eudaimonia, bila dipahami dengan tepat, akan menghasilkan perilaku yang bajik.

Para pakar percaya bahwa Ethika Nikomakheia disunting oleh atau dipersembahkan kepada anak laki-laki dan murid Aristoteles, Nikomakus, meskipun karya itu sendiri tidak menjelaskan sumber namanya. Meskipun ayah Aristoteles juga bernama Nikomakus, anak Aristoteles adalah pemimpin pengganti di sekolah Aristoteles, Lyceum, dan karena itu para sejarahwan menganggapnya sebagai orang yang telah mempengaruhi pengumpulan catatan-catatan kuliah Aristoteles.

Tinjauan umum

[sunting | sunting sumber]

Etika umum

[sunting | sunting sumber]

Buku 1: Studi tentang apa yang baik

[sunting | sunting sumber]

PP Nic.+Eth.1094a

Etika yang terarah pada tujuan
[sunting | sunting sumber]

Etika Aristoteles sering kali disebut teleologis atau terarah pada tujuan. Menurut Aristoteles, segala sesuatu mempunyai maksud atau tujuan. Sebilah pisau, misalnya, mempunyai tujuan untuk memotong. Sebilah pisau yang baik itu baik untuk memotong berbagai benda, dan oleh karena itu pisau harus tajam. Demikian pula, orang mempunyai tujuan. Orang harus melakukan segala sesuatu untuk menolong mereka mencapai maksud atau tujuan tersebut: hal-hal yang ada untuk kebaikan mereka.

Ada banyak tindakan, kecakapan, dan ilmu pengetahuan. Tujuan-tujuannya pun banyak; kesehatan adalah tujuan dari obat-obatan, perahu adalah tujuan dari pembangunan perahu, kemenangan seorang jenderal, dan kekayaan manajemen keluarga.

Tetapi sebagian dari upaya-upaya ini lebih rendah daripada suatu kemampuan lainnya; misalnya, pembuatan tali kekang dan setiap ilmu lainnya dalam memproduksi peralatan untuk kuda lebih rendah daripada ilmu berkuda. Selanjutnya ilmu berkuda ini dan setiap tindakan lainnya dalam peperangan, pada gilirannya, berada di bawah kecakapan menjadi seorang jenderal, dan demikianlah suatu upaya tertentu lebih rendah daripada upaya-upaya yang lainnya.

Etika yang berpusat pada watak
[sunting | sunting sumber]

Orang-orang yang melakukan segala sesuatu dengan baik dan konsisten adalah orang yang baik. Setiap tindakan tidak dianggap sebagai suatu tindakan yang terisolir (seperti yang sering dilakukan dalam sistem etika lainnya), tetapi dalam hubungan dengan gagasan yang bajik. Sikap terhadap etika ini disebut etika kebajikan atau etika yang berpusat pada watak: tindakan-tindakan setiap orang harus membuat orang itu lebih baik dan membangun watak yang lebih baik pula. Yang lain akan melihat kita sebagai orang yang pemberani (demikian asumsi Aristoteles) bila kita umumnya melakukan tindakan-tindakan yang berani apabila kesempatan itu muncul Ethika Nikomakheia dianggap sebagai salahs atu contoh dari etika kebajikan seperti itu.

Hakikat dan fungsi menjadi manusia ("Argumen Fungsi ")
[sunting | sunting sumber]

Aristoteles mendefinisikan fungsi menjadi manusia (artinya, tujuan manusia) ketika ia menyatakan:

“Bila kita menyatakan bahwa fungsi manusia adalah suatu bentuk kehidupan tertentu, dan mendefinisikan bentuk kehidupan itu sebagai penggunaan daya kemampuan dan aktivitas jiwa dalam kaitannya dengan prinsip rasional, dan mengatakan bahwa fungsi dari seseorang yang baik adalah melakukan aktivitas-aktivitas ini dengan baik dan benar, dan bila suatu fungsi dilaksanakan dengan baik apabila ia dilaksanakan sesuai dengan with its kesempurnaannya masing-masing – dari premis-premis ini dapatlah dikatakan bahwa Kebaikan manusia adalah pelaksanaan secara aktif kemampuan-kemampuan jiwanya sesuai dengan kesempurnaan atau kebajikan, atau bila ada beberapa kesempurnaan atau kebajikan manusia, sesuai dengan yang terbaik dan yang paling sempurna di antara semuanya” - (Buku I, Bab 7 PP Nic.+Eth.1098a14-15)

Dengan kata lain, keseluruhan fungsi manusia adalah aktivitas jiwa yang mengungapkan atau menuntut nalar. Aktivitas penalaran adalah sesuatu yang membuat kita manusia karena tidak ada makhluk hidup lainnya yang mempunyai kemampuan bernalar ini. Hakikat menjadi manusia adalah memiliki kemampuan bernalar: semua manusia memiliki hakikat ini, tetapi tidak semua fungsi sesuai dengan kemampuan tersebut (sebagian orang mempunyai kemampuan ini, tetapi tidak menggunakannya). Lebih jauh, semua tindakan manusia bila dikumpulkan bersama-sama merupakan kebaikan. Segala sesuatu yang kita lakukan sepanjang hidup kita ikut menyumbang kepada keseluruhan fungsi dengan kualitasnya masing-masing.

Bila kita hidup baik, artinya, sesuai dengan kebajikan-kebajikan yang semestinya, hal ini akan memungkinkan kita untuk mencapai apa yang disebut orang Yunani sebagai 'eudaimonia'. Perhatikan bahwa tindakan-tindakan bajik kita didorong oleh kebajikan-kebajikan dan bukan hanya sekadar sesuai dengan kebajikan. Misalnya, seorang pengacara yang membela seorang yang miskin demi memperoleh reputasi yang baik tidaklah bertindak berdasarkan kebajikan, sebaliknya, ia hanya sekadar bertindak sejalan dengan kebajikan.

Eudaimonia
[sunting | sunting sumber]

Kebanyakan hal diinginkan demi sesuatu yang lain (mis. kita menginginkan makanan karena kita ingin menjadi sehat), tetapi Aristoteles berpendapat bahwa harus ada sesuatu yang diingini demi dirinya sendiri. Hal ini disebutkannya sebagai kebahagiaan, kesejahteraan atau kemakmuran (bahasa Yunani εὐδαιμονία eudaimonia yang secara harafiah berarti "memiliki roh penjaga yang baik"). Ketika ditanya, "Mengapa engkau menginginkan hal ini?" dan kemudian "Kalau begitu, mengapa engkau menginginkannya?" sebagai tanggapan terhadap setiap jawabannya, banyak orang akhirnya akan berhenti pada "agar berbahagia." Eudaimonia bukanlah sarana untuk menjacapi suatu tujuan, melainkan tujuan itu sendiri —malah, Aristoteles berpendapat bahwa pada umumnya ia diakui sebagai tujuan terakhir dalam kehidupan (Buku I, Bab 4). Jadi, kebahagiaan dipahami bukan sebagai suatu suasana hati atau keadaan sementara, melainkan suatu keadaan yang dicapai seumur hidup melalui tindakan yang bajik, disertai oleh sejumlah nasib baik.

Aristoteles memperlakukan Keadilan dengan cara yang sama seperti ia memperlakukan kebajikan-kebajikan yang lainnya. Ia menggunakan Doktrin Keseimbangan dan beranggapan bahwa Keadilan adalah keseimbangan antara dua hal yang jahat. Kejahatan di kedua kutub itu disebut ketidakadilan dan mereka disebabkan oleh tindakan yang berlebih-lebihan (pleonexia). Ekses dari Ketidakadilan adalah berlaku tidak adil dan kekurangan Keadilan berarti menderita ketidakadilan (1133b31-32). Eksesnya adalah melakukan ketidakadilan karena si pelaku mengambil lebih dari sesuatu daripada apa yang benar. Seseorang yang mengganjar terlalu banyak untuk sesuatu hal yang baik atau menghukum terlalu sedikit untuk sesuatu yang buruk disebut melakukan ketidakadilan disebut melakukan ketidakadilan kepada orang lain. Kekurangan Keadilan berarti menderita ketidakadilan karena si korban memperoleh kurang daripada apa yang semestinya ia terima. Seseorang yang memperoleh terlalu sedikit hal yang baik atau terlalu banyak hal yang buruk disebut menderita ketidakadilan.

Buku 6: Kebajikan intelektual

[sunting | sunting sumber]

PP Nic.+Eth.1138b

Aristoteles menguraikan lima kebajikan intelektual: Pengetahuan, seni, kehati-hatian, intuisi, dan kebijaksanaan. Kebanyakan dari semua ini tidak akan disebut kebajikan sekarang, tetapi mereka penting karena memungkinkan kita mengenali keseimbangan emas (the golden mean) dalam suatu situasi tertentu dan kemudian berperilaku sesuai dengan hal itu. Kehati-hatian atau fronesis berarti berperilaku menurut keseimbangan emas pada umumnya, dan digunakan untuk menemukan kebajikan-kebajikan moral, masing-masing daripadanya adalah suatu kebajikan emas di antara dua perilaku yang tidak hati-hati atau kemaksiatan

Buku 7: Kejahatan dan kesenangan

[sunting | sunting sumber]

PP Nic.+Eth.1145a

Bab 1-10: Kejahatan
[sunting | sunting sumber]

Ada tiga 'bentuk watak moral yang tidak dikehendaki', atau jahat, yakni: kemaksiatan, ketidakmampuan dalam menahan diri dan kebrutalan. Kemaksiatan adalah perilaku yang ekstrem yang di antaranya terdapat perilaku yang baik (lihat bagian sebelumnya, “Keseimbangan Emas”). Kebrutalan sering kali digunakan sebagai istilah untuk menegur ("kamu brutal!"), tetapi pada kenyataannya perilaku seperti binatang yang berdasarkan instink dan yang tidak dikehendaki ini (demikian menurut Aristoteles) agak jarang ditemukan dalam diri manusia. Tidak semua jenis kebrutalan atau kekasaran itu jelek. Misalnya, menggigiti kuku adalah suatu perilaku yang kasar, yang mungkin tidak indah, tetapi tidak mempengaruhi moral pelakunya. Namun, berperilaku sempurna berarti mengatasi sifat-sifat kebinatangan kita yang brutal, seperti yang dilakukan oleh para pahlawan dan para dewa.

Ketidakmampuan menahan diri adalah perilaku yang buruk yang didorong oleh nafsu akan kesenangan yang dapat segera dicapai, sementara menahan diri (yang dianggap lebih baik) berarti secara rasional memperhitungkan tindakan dan dengan demikian menahan di dari melakukan hal-hal yang buruk. Cepat naik darah adalah suatu bentuk ketidakmampuan untuk menahan diri. Aristoteles mencatat bahwa Sokrates menyatakan bahwa ketidakmampuan menahan diri itu tidak ada, tetapi hal ini tampaknya untuk melawan pendapat umum (lihat bagian tentang Keadilan di atas). Sementara orang sering kali menyadari bahwa tindakan-tindakan yang tidak menahan diri itu buruk, mereka tetap takluk kepada kelemahan ini mengejar kesenangan yang mudah dicapai ini.

Ketidakmampuan menahan diri dapat dibedakan dengan kemaksiatan yang berlebih-lebihan; dalam hal ini seseorang tidak melihat alasan untuk menghindari kegiatan yang menyenangkan yang berlebih-lebihan. Aristoteles mengklaim bahwa ketidakmampuan menahan diri itu lebih baik daripada hal yang berlebih-lebihan karena sifatnya yang sementara dan alamiah daripada sesuatu yang direncanakan terlebih dahulu. Ia merasa bahwa walaupun hal yang berlebih-lebihan itu kronis dan tidak dapat dihilangkan, ketidakmampuan menahan diri itu adalah suatu perilaku yang kambuhan dan dapat disembuhkan.

Bab 11-14: Kesenangan
[sunting | sunting sumber]

Aristoteles membahas kesenangan (kesenangan) dalam dua bagian terpisah dari Ethika Nikomakheia (buku 7 bab 11-14 dan buku 10 bab 1-5), tetapi keduanya diintegrasikan di sini supaya lebih jelas.

Aristoteles menolak gagasan Speusippus (kemenakan dan pengganti Plato) yang berpendapat bahwa semua kesenangan itu jelek dan Eudoxus (seorang filsuf sezaman) yang berpendapat bahwa semua kesenangan itu baik, dan mengambil pendekatan yang lebih moderat. Menurut Aristoteles, kesenangan (yang mempengaruhi kesenangan intelektual) tidak semata-mata disebabkan oleh tak adanya atau pembebasan dari rasa sakit. Malah, penggunaan kesenangan semata-mata sebagai penawar rasa sakit dapat menyebabkan kecanduan dan kepribadian yang tidak berharga.

Lebih jauh, kesenangan tidaklah sama dengan kebahagiaan. Kesenangan dianggap sama sebagai kepuasan, yaitu dampak positif yang meningkatkan suatu aktivitas. Sementara sejumlah kesenangan dapat menghasilkan kebahagiaan (jangka panjang), yang lainnya tidak. Ada bentuk-bentuk kesenangan yang baik dan buruk, tergantung pada jenis aktivitas yang terkait dengannya. Sudah tentu, aktivitas yang bajik dihubungkan dengan kesenangan yang baik, sementara kemaksiatan dihubungkan dengan kesenangan yang buruk. "Kesenangan-kesenangan jenis tertentu dicari oleh orang-orang yang kasar dan anak-anak, dan ... kebebasan dari rasa sakit yang menyertainya dicari oleh orang-orang yang bijak" (Buku 7, bab 12). Inilah sebabnya tindakan harus dilakukan karena kebaikannya, dan bukan demi kesenangan yang mungkin ditimbulkan secara langsung olehnya.

Kesimpulan Aristoteles dalam Buku VII bab 12 bahwa kesenangan adalah suatu tindakan yang tidak terhalangi dari keadaan yang alamiah (hédoné = energeia, atau sekurang-kurangnya suatu jenis energeia) membantah klaim-klaim sebelumnya bahwa kesenangan adalah suatu proses. Ini disebabkan, bagi Aristoteles, aktivitas (energeia) dan proses (kinesis) itu berbeda. Aktivitas mempunyai tujuan di dalam dirinya sendiri dan mereka timbul ketika kita melakukan suatu kapasitas tertentu (1153a10-11, also Met. IX 6 1048b18-36). Misalnya, berjalan atau belajar bukanlah aktivitas karena keduanya bukanlah tujuan di dalam dirinya sendiri (bagi Aristoteles) tetapi berpikir dan melihat adalah aktivitas karena awal dan akhir mereka terjadi pada saat yang sama dan merupakan tujuan di dalam dirinya sendiri. dalam bagian ini Aristoteles membuat klaim-klaim berikut: (1) kesenangan mengharuskan kita melakukan suatu kapasitas tertentu, (2) kesenangan itu identik dengan aktivitas dari keadaan yang alamiah, (3) kesenangan adalah tujuan di dalam dirinya sendiri (itu berarti kesenangan itu sendiri sudah lengkap), dan (4) aktivitas ini tidak dapat dihalangi. Dengan definisi ini, kesenangan terjadi ketika seseorang (atau seekor binatang) melakukan suatu aktivitas alamiahnya tanpa halangan apapun. Misalnya, bila seseorang melihat suatu karya seni yang indah dan memperoleh kesenangan di dalamnya, itu disebabkan karena melihat adalah suatu aktivitas keadaan manusia yang alamiah dan bahwa orang itu tidak dihalangi dalam melaksanakan aktivitas itu (mis. tak ada orang yang berjalan di antara si pengamat dan karya seni tersebut). Tentang penjelasan ini, tampaknya kesenangan itu identik dengan aktivitas keadaan yang alamiah.

Aristoteles memberikan penjelasan yang agak berbeda tentang kesenangan dalam Buku X dan tidak membuat rujukan kepada pembahasannya yang sebelumnya tentang topik ini. Ia menyatakan, “Kesenangan melengkapi aktivitasnya ... sebagai suatu akhir yang terjadi sebagai konsekuensinya, seperti mekarnya orang-orang muda” (1174b33-35). Ini disebabkan suatu aktivitas yang sempurna adalah suatu kapasitas perceptual dalam kaitannya dengan objek yang dapat dipersepsikan bila keduanya berada dalam kondisi yang sempurna (1174b15-17) dan karena itu “aktivitas yang terbaik adalah aktivitas dari sang subyek dalam kondisi yang terbaik dalam hubungan dengan objek yang terbaik dalam kapasitasnya.” (1174b19-21). Aktivitas yang paling sempurna adalah yang paling menyenangkan dan setiap kapasitas mempunyai kesenangannya sendiri (1174b20-22). Karena setiap kapasitas (proses persepsi atau pemikiran) mempunyai kesenangan yang terkait dengannya, Aristoteles menyimpulkan bahwa kesenangan melengkapi aktivitasnya. Dalam model ini tampaknya ada tiga komponen yang berbeda: objek persepsi (mis. musik yang indah), kemampuan persepsi (mis. pendengaran), dan kesenangan – yang hanya timbul sebagai hasil yang ditimbulkan apaila kedua komponen yang pertama itu sempurna (artinya dilakukan dengan cara terbaik). Misalnya, bila seseorang menghadiri sebuah konser di mana musik yang indah dipentaskan oleh pembawa yang hebat dan pendengarannya tidak terhalangi, maka orang itu akan memperoleh kesenangan. Jadi di sini ada dua jenis tujuan: (1) aktivitas antara obyeknya dan kapasitasnya yang sempurna dan (2) kesenangan yang terkait.

Kedua penjelasan tentang kesenangan ini mula-mula tampaknya saling berkontradiksi karena yang satu menghubungkan kesenangan dengan aktivitas (hédoné = energeia) dalam Buku VII dan penjelasan dalam Buku X menggambarkan kesenangan sebagai suatu aktualisasi terpisah yang muncul dari penyelesaian aktivitas-aktivitas tertentu. Masing-masing penjelasan tampaknya menyebut hédoné sesuatu yang berbeda dan megnatakan bahwa hal itu dihasilkan dalam cara yang berbeda. Selain itu, kedua penjelasan itu tidak membuat rujukan kepada satu sama lain.. Penjelasan dalam Buku VII tampaknya ditujukan pada penggambaraan aktivitas yang menyenangkan sementara penjelasan dalam Buku X tampaknya lebih berkaitan dengan sifat kesenangan. Karenai itu, kedua penjelasan ini tidaklah sepenuhnya tidak cocok karena Buku X harus dilihat sebagai penyempurnaan dari Buku VII. Penjelasan yang lebih awal menggambarkan proses yang harus terjadi untuk mencapai kesenangan. Di sini digambarkan hubungan antara aktivitas keadaan yang alamiah dengan kesenangan dan dengan maksud mendefinisikan aktivitas-aktivitas apa yang menyenangkan, dan hubungan ini tampaknya sudah memadai. Namun demikian, Aristoteles ternyata menggambarkan sifat kesenangan dalam Buku X dan menggunakan bab-bab ini untuk mempertajam model awalnya. Penjelasan dalam Buku X memperlihatkan bagaimana dan mengapa kesenangan muncul dari suatu aktivitas, hal ini tidak menggantikan model yang sebelumnya, melainkan menambahkan rincian yang sebelumnya tidak ada. Aristoteles mungkin sedikit gegabah ketika memastikan bahwa penjelasannya sudah konsisten di seluruh teksnya. Namun pembacaan yang cermat dalam meneliti tujuan Aristoteles dalam masing-masing buku akan memungkinkan kita menjelaskan apa yang tampaknya sebagai inkonsistensi dan menciptakan suatu model yang lengkap tentang hal-hal yang menyenangkan dan sifat kesenangan itu sendiri.

Buku 8 dan 9: Persahabatan

[sunting | sunting sumber]

PP Nic.+Eth.1155a

Aristoteles berpendapat bahwa sahabat dapat dipandang sebagai diri pribadi kedua. seperti halnya perilaku yang bajik memperbaiki diri sendiri, sahabat pun dapat saling meningkatkan – inilah pentingnya persahabatan, dan alasan ini dapat dianggap sebagai sejenis kebajikan. Keberhasilan atau kegagalan seorang sahabat dapat disamakan dengan keberhasilan atau kegagalan seseorang. Aristoteles membagi persahabatan ke dalam tiga jenis, berdasarkan motif dalam membentuknya: persahabatan berdasarkan manfaat, persahabatan karena kesenangan dan persahabatan untuk kebaikan.

Persahabatans karena manfaat adalah hubungan-hubungan yang terbentuk tanpa kepedulian terhadap orang lain sama sekali. Bila seseorang membeli suatu barang, misalnya, mungkin ia harus bertemu dengan orang lain, tetapi biasanya hanya tercipta hubungan yang sangat dangkal antara si penjual dan pembelinya. Dalam konteks modern, orang-orang dalam hubungan seperti itu mungkin malah tidak disebut sahabat, melainkan kenalan (kalaupun misalnya mereka saling mengingat yang lainnya setelah transaksi itu). Satu-satunya alasan orang-orang ini berkomunikasi adalah untuk membeli atau menjual sesuatu, dan itu bukan hal yang jelek, tetapi segera setelah motivasi itu hilang, hilang pulalah hubungan antara kedua orang ini, kecuali muncul sebuah motivasi yang lain. Keluhan dan pertikaian biasanya hanya muncul dalam persahabatan seperti ini.

Pada tingkat yang berikutnya, persahabatan untuk kesenangan didasarkan pada kesenangan semata-mata akan kehadiran orang lain. Orang yang minum bersama-sama atau yang memiliki hobi yang sama mungkin mempunyai persahabatan seperti itu. Namun demikian, sahabat-sahabat ini juga akan berpisah – apabila mereka tidak lagi menikmati kegiatan bersama, atau tidak dapat lagi ikut serta bersama-sama di dalamnya.

Persahabatan karena kebaikan adalah persahabatan di mana anggota-anggotanya menikmati watak yang lainnya. Sejauh sahabat-sahabat ini mempertahankan watak yang sama, hubungan ini akan bertahan karena motif di baliknya adalah kepedulian terhadap sang sahabat. Ini adalah tingkat hubungan yang tertinggi, dan dalam konteks sekarang hal ini dapat disebut sebagai persahabatan sejati.

Buku 10: Kesenangan dan politik

[sunting | sunting sumber]

PP Nic.+Eth.1172a

Bab 1-5: Kesenangan (pleasure) (bag. 2)
[sunting | sunting sumber]

Lihat buku 7, bab 11-14 untuk pembahasan yang lebih lengkap.

Bab 6-9: Politik
[sunting | sunting sumber]

“Karena meskipun kebaikan ini sama untuk pribadi dan negara, namun kebaikan negara tampaknya lebih besar dan lebih sempurna untuk dicapai dan diamankan; dan meskipun seseorang akan berbahagia melakukan pelayanan ini, melakukannya untuk suatu bangsa dan untuk beberapa negara adalah lebih mulia dan lebih suci.” Nikomachean Ethics, Buku I Ch ii, terj. F.H. Peters (1893: Oxford)

Di sini Aristoteles melukiskan hubungan antara etika dan politik, dan mengatakan bahwa politik pada dasarnya adalah etika pada tingkat yang lebih besar (bdk. pendapat Socrates dalam “Republik” karya Plato, Buku II, sehingga ia membahas keadilan negara, ketimbang keadilan oleh individu, karena negara "kemungkinan lebih luas dan lebih mudah dicermati.").

Memang, Aristoteles percaya bahwa politik haruslah merupakan upaya yang mulia dan untuk itu etika adalah sebuah pengantar. Bab terakhir dari Ethika Nikomakheia menyatakan “Karena para leluhur kita telah meninggalkan masalah perundang-undangan ini tanpa diselidikinya, barangkali lebih baiklah bila kita sendiri menyelidikinya, dan bahkan mempertanyakan secara menyeluruh (masalah) pengelolaan sebuah negara, agar filsafat kita tentang kehidupan manusia dapat disempurnakan sejauh kemampuan kita.” Nicomachean Ethics, Buku X Ch ix, terj. F.H. Peters (1893: Oxford). Ia melanjukan pembahasannya dalam Politik.

Kutipan penting

[sunting | sunting sumber]
  • "Setiap seni dan setiap penelaahan, dan demikian pula setiap tindakan dan pencarian, dianggap bertujuan pada suatu kebaikan; dan karena alasan ini yang baik dengan tepat telah dinyatakan sebagai apa yang dituju oleh segala sesuatu." - 1094a (Buku I, Bab 1)
  • "Dan kebahagiaan dianggap bergantung pada kegiatan bersantai (leisure); karena kita bersibuk-sibuk supaya kita dapat bersantai, dan berperang agar kita hidup dalam damai." - (Buku X, Bab 7)
    • (Juga) "Kita berperang agar kita dapat hidup dalam damai."


Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  • Nicomachean Ethics, terj. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1985)
  • Nicomachean Ethics: Aristotle with an introduction by Hye-Kyung Kim, terj. F.H. Peters di Oxford, 1893. (Barnes & Noble, 2004)

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]