Etika sekuler
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Desember 2022. |
Etika sekuler adalah cabang dari filsafat moral di mana etika hanya didasarkan pada kemampuan manusia seperti logika, alasan atau intuisi moral, dan tidak berasal dari wahyu supranatural yang diakui atau petunjuk (yang merupakan sumber etika agama). Etika sekuler terdiri setiap sistem etika yang tidak menarik pada supranatural, seperti humanisme, sekularisme dan pemikiran bebas.[1] Ruang lingkup yang menjadi kajian mayoritas etika sekuler terbatas pada objek secara empiris dapat diketahui dan secara nalar dapat dipertanggungjawabkan. Di luar itu, sudah tidak dianggap karena tidak dalam jangkauan akal dan nalar manusia.[2] Etika sekuler merujuk pada moralitas yang diderivasikan dari dunia ini dan diarahkan menuju orientasi keduniawian. Moralitas sekuler yang sempuma dapat diderivasikan dari dua prinsip yang dapat digunakan untuk membuktikan prinsip rasional yang sangat jauh dari pertimbangan-pertimbangan.[3]
Sekulerisme
[sunting | sunting sumber]Sekularisasi diadopsi dari bahasa Inggris (secularization), yang sumber asalnya dari bahasa Latin, yakni saeculum. Kata ini diartikan sebagai dunia temporal, lawan dari the Kingdom of God (Kerajaan Tuhan). Saeculum adalah istilah yang terkait dengan saat, zaman, atau waktu ini.[4] Berdasarkan fakta sejarah, istilah sekularisme diperkenalkan pertama oleh George Jacob Holyoale pada tahun 1841. Awalnya sekularisme disebut juga perluasan kebebasan berfikir dalam bidang etika. Maka dari itu, sekularisme tidak termasuk ke dalan suatu sistem etika yakni menyodorkan tentang kehidupan apa, bagaimana, dan harus kemana manusia hidup dan seharusnya manusia itu bertindak tegas dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai salah satu sistem etika, sekularisme mengajarkan untuk meningkatkan taraf hidup yang bermanfaat dengan jalan kebaikan di dunia lewat kemampuan manusiawi tanpa terikat dan merujuk pada agama atau ajaran agama yang bersifat adikodrati.[5] Setelah itu, istilah sekularisasi mengalami perkembangan. Sering kali kata ini diartikan dengan makna yang berbeda, tergantung pada konteks, topik, sudut pandang, tujuan, serta objek kajian dari orang yang menggunakannya. Pada abad ke-18, istilah sekularisasi dihubungkan dengan masalah kekuasaan dan kekayaan milik rohaniawan. Pada abad ke-19, sekularisasi dimaksudkan kepada penyerahan kekuasaan dan hak milik gereja kepada negara dan yayasan duniawi. Dan terakhir, yaitu pada abad ke-20, istilah ini mengalami perkembangan secara konseptual sesuai konteks yang melingkupinya, sehingga ditemukan memiliki makna dan arti yang beragam, namun memiliki nuansa semantik yang tidak jauh berbeda, yakni perubahan peran agama dalam masyarakat. Akhirnya, ditemukan kesimpulan bahwa sekularisasi secara etimologis ialah suatu proses penduniawian, profanisasi, dan pelepasan dari nilai-nilai keagamaan.[4]
Prinsip
[sunting | sunting sumber]Ilmu-ilmu sekuler merupakan produk seluruh manusia, sedangkan ilmu-ilmu integralistik adalah produk bersama seluruh manusia beriman. Prinsip-prinsip ilmu-ilmu sekuler adalah modernisme dalam filsafat, yaitu filsafat Rasionalisme. Filsafat ini muncul pada abad 15 atau 16 menolak theosentrisme abad tengah. Sumber kebenaran yang diakui adalah fikiran, bukan wahyu Tuhan. Tuhan masih diakui keberadaannya, namun Tuhan yang lumpuh, tidak berkuasa dan tidak membuat hukum-hukum. Dalam Rasionalisme manusia menempati kedudukan yang tinggi. Manusia menjadi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan dan pengetahuan, manusia adalah pencipta, pelaksana dan konsumen produk produk manusia sendiri. Ketika manusia menganggap bahwa dirinya menjadi pusat, maka terjadilah diferensiasi (pemisahan). Etika, kebijaksanaan dan pengetahuan tidak lagi berdasarkan wahyu Tuhan. Sejak itu kegiatan ekonomi, politik, hukum dan ilmu harus dipisahkan dari agama. Kebenaran terletak pada ilmu sendiri. Ilmu harus obyektif, tidak ada campur tangan dengan etika, moral dan kepentingan lain. Ilmu sekuler mengakui dirinya obyektif, bebas nilai, dan bebas dari kepentingan lainnya.[6]
Bibliografi
[sunting | sunting sumber]- ^ Kidder, Rushworth M. Kidder (2003). How Good People Make Tough Choices: Resolving the Dilemmas of Ethical Living. New York: Harper. ISBN 0-688-17590-2
- ^ Briando, Bobby; Triyuwono, Iwan; Irianto, Gugus (2020). Etika Profetik Bagi Pengelola Keuangan Negara. Malang: Penerbit Peneleh. hlm. 207. ISBN 978-623-93405-8-2.
- ^ Djakfar, Muhammad (2012). Etika Bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi. Depok: Penebar PLUS+. hlm. 56. ISBN 978-602-8661-72-0.
- ^ a b Muslim, Abu (2021). Nurcholis Madjid dan Politik Muslim. Yogyakarta: IRCISOD. hlm. 49. ISBN 978-623-6166-72-7.
- ^ Pachoer, Rd. Datoek A. (2016). "Sekularisasi dan Sekularisme Agama". Jurnal Agama dan Lintas Budaya. 1 (1): 93. ISSN 2528-7249.
- ^ Muslih (2021). Relasi Agama dan Sains dalam Pendidikan Islam. Lamongan: Nawa Litera Publishing. hlm. 44. ISBN 978-623-98154-4-8.