Guntur Sitohang
Guntur Sitohang | |
---|---|
Lahir | Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Hindia Belanda | 19 Desember 1936
Meninggal | 11 Juni 2017 Harian Boho, Samosir, Indonesia | (umur 80)
Pendidikan |
|
Pekerjaan |
|
Tahun aktif | 1951—2017 |
Organisasi |
|
Suami/istri | Tiamsah Habeahan (m. 1964) |
Anak |
|
Guntur Sitohang (dikenal sebagai Guru Guntur Sitohang; 19 Desember 1936 – 11 Juni 2017) adalah musisi Gondang Batak dan budayawan Samosir, Sumatera Utara. Tidak ada pendidikan khusus yang membentuk jiwa seni Guntur, baik sebagai musisi, maupun sebagai pembuat alat musik. Dia merapukan praktisi musik otodidak. Kemampuannya itu dipelajari lewat pengalaman yang bersifat empiris.[1]
Riwayat Hidup
[sunting | sunting sumber]Guntur Sitohang lahir 19 Desember 1936 di Desa Urat Kabupaten Samosir. Guntur adalah anak bungsu dari 7 bersaudara dari pasangan B.Sitohang dan S.Simbolon. Guntur hidup dalam keluarga yang sederhana. Orang tuanya berprofesi sebagai petani merangkap sebagai guru sekolah dasar milik pemerintah di tanah kelahirannya. Kadang-kadang demi memenuhi kebutuhan keluarganya yang berjumlah besar itu, B. Sitohang menjadi nelayan mencari ikan di pantai desa Urat, Danau Toba.[1]
Guntur kecil menghabiskan masa kecilnya di Desa Urat dan Harian Boho Kabupaten Toba Samosir. Di kalangan Orang Batak, anak bungsu cenderung lebih dimanja oleh kedua orang tuanya. Begitu juga dengan Guntur. Di saat kakak-kakak tertuanya sibuk membantu mencari nafkah orang tuanya, Guntur lebih bebas dan sering menghabiskan waktunya mengembangkan minatnya untuk bermain musik bersama-sama temannya. Inilah yang kemudian membentuk Guntur dewasa menjadi seorang pemusik tradisional dan pembuat instrumen musik Batak Toba yang handal.
Di usianya yang ke 28 tahun, Guntur mempersunting seorang wanita bernama Tiamsah Habeahan, yang adalah teman sekolah Guntur saat masih di SGB (Sekolah Guru Biasa). Dari pernikahannya yang dilangsungkan pada tahun 1964 itu lahirlah sebelas orang anak (enam perempuan dan lima laki-laki). Berikut keturunan Guntur Sitohang-Tiamsah Habeahan mulai dari yang tertua: Megawati br. (singkatan dari boru, seperti marga untuk penyebutan pada perempuan dalam tradisi Batak) Sitohang (perempuan) lahir pada tahun 1964, Baktiar Sitohang (laki-laki) lahir 1966, dan Lasnur Maya br. Sitohang (perempuan) lahir pada tahun 1968. Empat anak Guntur selanjutnya berturut-turut adalah laki-laki: Martogi Sitohang (1970), Junihar Sitohang (1972), Rumonang Sitohang (1976), Hardoni Sitohang (1978) dan Naldy Sitohang (1980). Kemudian Senida br. Sitohang (perempuan) yang lahir pada tahun 1982, Martahan Sitohang (laki-laki) lahir pada tahun 1984, dan anak yang paling bungsu, Elfrida Sitohang, (perempuan) yang merupakan kelahiran tahun 1987.
Sebagai pemusik Guntur Sitohang menurunkan darah seninya ke anak-anaknya. Tidak semua, hanya Lasnur Maya br. Sitohang, Martogi Sitohang, Junihar Sitohang, Hardoni Sitohang dan Martahan Sitohang. Dari kelima anaknya itu yang mengikuti ayahnya sebagai seniman, hanya dua yang pengetahuan musiknya ditempa lewat pendidikan formal di akademi: Martogi dan Martahan Sitohang. Martogi Sitohang, berdomisili di Jakarta dan kini menjadi seorang musisi tradisional yang terkenal dan juga handal. Lalu Martahan Sitohang adalah lulusan Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Ia jugalah yang mengaransemen ulang Lagu Sianjur Mula Mula karya ayahnya yang cukup populer dikalangan Orang Batak. Lagu tersebut mengisahkan keindahan Sianjur Mula Mula dan asal muasal tempat tinggalnya si Raja Batak pertama kali dan masyarakat suku Batak Toba.[2] Sedangkan Junihar Sitohang boleh dikatakan merupakan anak yang bakatnya paling lengkap. Seperti ayahnya, selain pandai bermain musik ia juga berprofesi sebagai pembuat alat-alat musik tradisional Batak Toba.
Guntur Sitohang tidak pernah memanjakan anak-anaknya. Mereka selalu dibiasakan untuk hidup mandiri dan bekerja. Semua anak Guntur terlibat membantunya dalam proses pembuatan alat-alat musik. Guntur Sitohang dan istri adalah penganut Kristen Protestan yang taat. Keduanya selalu membawa anak-anaknya untuk beribadah di gereja HKBP setiap hari minggu.
Bukan hal yang mudah menghidupi sebelas anaknya. Gaji dari guru PNS bergolongan rendah ditambah penghasilan bermain dan membuat alat musik ternyata belum juga mencukupi. Meski tidak Toh ia tetap saja bermusik dan membuat alat musik. Baginya kedua hal tersebut adalah pengorbanan dan panggilan jiwanya. Apa yang dilakoninya itu sekaligus sebagai upaya melestarikan budaya Batak Toba. Untuk menutupi finansial keluarga Guntur Sitohang, kadang pagi-pagi ia mengambil ikan di Danau Toba untuk kemudian malamnya dijual. Betenak dan berladang juga pernah dilakukan. Bahkan menjual goreng-gorengan saat ada pesta-pesta adat tak malu ia lakukan bersama istrinya.[3]
Pendidikan Formal
[sunting | sunting sumber]Guntur termasuk terlambat masuk sekolah. Usianya sudah 12 tahun ketika pertama kali mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat 6 Harian Boho (setingkat Sekolah Dasar). Alasan keterlambatannya masuk sekolah salah satunya adalah karena bermain musik. Meski terlambat, Guntur mampu menamatkan sekolahnya dengan baik. Guntur lalu melanjutkan pendidikannya di SGB juga di Harian Boho. SGB merupakan sekolah kejuruan yang lulusannya berkompetensi untuk menjadi guru di Sekolah Dasar.[1]
Sekitar tahun 1958, atau saat masih berstatus pelajar di SGB, Guntur Sitohang sempat berhenti belajar (tepatnya saat duduk di kelas 3 SGB). Ia memilih bergabung dengan gerakan pemberontak PRRI (Perjuangan Rakyat Republik Indonesia).Setelah pemberontakan selesai Guntur Sitohang kembali bersekolah dan menyelesaikan pendidikannya. Tidak berapa lama ia kemudian diangkat menjadi guru mata pelajaran kesenian di sekolah dasar.
Guntur Sitohang tidak pernah sedetikpun mengenyam pendidikan musik formal. Namun di kalangan pemusik tradisional Batak, bahkan dikalangan Dosen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara, namanya layak disebut sebagai maestronya musik tradisional Batak Toba. Wajar saja jika ia kerap dipanggil dengan Guru Guntur Sitohang.[3]
Karier Musik
[sunting | sunting sumber]Guntur Sitohang mulai tertarik dengan musik tradisional Batak Toba sejak masih berumur empat tahun. Alat musik yang pertama kali dimainkannya adalah Garantung. Karena balita, tentu saja Guntur masih bermain acak-acakan, atau tidak beraturan. Namun ayah Guntur tetap memberikan pujian kepadanya.[4] Suatu ketika Mangumbang Sitohang (abang B.Sitohang, ayah Guntur), pemain musik Opera Batak, memperhatikan dengan serius minat keponakannya itu. Mangumbang lalu menghadiahi Guntur Garantung seadanya. Hadiah itu semakin memotivasi Guntur untuk lebih memperdalam Garantung (secara otodidak). Ke depan, tidak hanya Garantung saja yang dikuasai Guntur, melainkan juga Sulim, Hasapi dan Sarune Etek.[1] Satu hal lagi yang memotivasi Guntur adalah ketika kemampuannya disamakan dengan Gereous. Gereous ini adalah pemain musik tradisional Batak yang hebat pada masa itu. Disamakan dengan Gereous, Guntur Sitohang menjadi semakin semangat saja memperlajari musik tradisional Batak[4]
Dengan kemampuan yang dimiliki, Guntur lalu diterima menjadi anggota kelompok opera batak profesional yang dipimpin oleh Mardairi Naibaho dan Mangumbang Sitohang. Namun karena masih belasan tahun dan berstatus pelajar SPG, Guntur belum bisa menjadi anggota tetap, alias sebatas additional performance saja. Meskipun begitu, Guntur sudah menerima honor atas penampilan-penampilannya itu. Jika dihitung-hitung dalam dalam satu minggu saja Guntur bisa tampil tiga hingga empat kali.[1]
Meski belum tetap, toh Guntur remaja kerap membolos sekolah. Mencari uang dilakukannya justru untuk biaya sekolah. Karena sering absen, guru tentu saja menegur dan mempertanyakan alasan Guntur. Jawaban Guntur atas pertanyaan itu rupanya membuat terharu sang guru: Justru karena ingin bersekolah itulah ia berusaha mencari uang tambahan dengan bermain musik. Maklum saja, Guntur bukan berasal dari keluarga berkecukupan. Karena aturan sekolah, Guntur kerap dihukum karena membolos. Guntur tidak merasa sakit hati karena sering dihukum. Baginya teguran dari gurunya adalah wajar-wajar saja. Meski sering membolos dan dihukum, Guntur dapat mengikuti pelajaran dengan baik, prestasinya pun cukup membanggakan.
Sekitar tahun 1958, atau saat berusia Guntur berusia 22 tahun, keterampilan bermain musik Guntur semakin maju. Ia mulai ikut bermain dalam ensambel Gondang Sabangunan dan memainkan alat musik Taganing. Guntur pun mulai terlibat dalam grup lainnya, sebut saja Grup Opera Batak pimpinan Marsius Sitohang dan Grup Opera Batak Sinar Dairi. Bersama mereka Guntur Sitohang kerap mengikuti tur keliling daerah (Samosir, Toba dan Silindung). Semakin hari semakin bertambahlah kemampuan Guntur. Kini dia mampu memainkan dua buah Sarune Etek sekaligus. Skill seperti itu masih jarang dikuasai pemusik-pemusik tradisional Batak. Jadilah nama Guntur Sitohang populer seantero Tanah Batak.
Pada tahun 1956 Guntur Sihotang memilih "berkarier" dalam organisasi pemberontak PRRI (Perjuangan Rakyat Republik Indonesia).[5] Tidak jauh-jauh soal urusan musik juga, Guntur ditempatkan dalam Regu Penerangan. Ia bertugas menjadi pengiring orasi-orasi PRRI di Tapanuli Utara (dahulu merupakan gabungan kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Samosir dan Humbang Hasundutan).[1] Selama bergabung, Guntur bersama rekan-rekannya menghasilkan beberapa lagu bertemakan perjuangan PRRI. Salah satu yang terkenal adalah lagu “O Dunia”.
Nada-nada "O Dunia" tidak asing di kalangan Orang Batak pada medio 70-an. Lagu itu pernah dipopulerkan oleh Roy Sagala (almarhum). Judulnya berganti menjadi “O Jamilah” (begitu juga dengan refreinnya). Lagu "O Dunia" berkisah tentang tentang hari bersejarah PRRI dan menyebut-nyebut tokoh pemimpin pemberontakan di Tanah Batak, Kolonel Maludin SImbolon (1916 - 2000). Salah satu bagian liriknya berbunyi seperti ini: "ari sampulupitu toho mai di bulan onom, ro do tu nipikku ikkon sinjata dongan modom, asi roha ni Tuhan dioloi ma pangidoan, anggiat boi monang na nipimpin ni si Simbolon o, dunia" (Hari ke-17 tepat di bulan 6, datang melalui mimpiku untuk tidur berteman senjata, semoga Tuhan berbelas kasih dan mengabulkan permintaan, semoga bisa memang yang dipimpin Simbolon ini, o, dunia). Tentang alasan mengganti judul dengan "O Jamilah", karena pada tahun 1960-an sedang populer tokoh dalam sebuah film India bernama Jamila.[5] Pada waktu dipopulerkan Roy Sagala pencipta lagu "O Jamilah" diberi inisial “NN” atau “No Name”. Pada waktu itu belum ada undang-undang tentang hak cipta, belum ada juga usaha untuk mempatenkan suatu karya. Tidak hanya "O Dunia", beberapa karya lain juga diciptakan Guntur Sitohang secara refleks, saat berjuang bersama para pemberontak PRRI.
Untuk diketahui sejak 1950, Maludin Simbolon merupakan petinggi militer di Sumatra. Pada tanggal 22 Desember 1956, Maludin menyatakan pemutusan hubungan dengan pemerintah pusat karena adanya ketimpangan ekonomi pusat-daerah. Maludin lantas dicopot dari jabatannya dan dinyatakan sebagai buronan. Ia pun melarikan diri ke Tapanuli dan membentuk basis perjuangan bernama Divisi Pusuk Buhit. Pada tanggal 27 Juli 1961, Maludin Simbolon bersama para pengikutnya secara resmi menyerahkan diri. Maka berakhirlah perlawanan Maludin Simbolon cs kepada Jakarta.[6][7]
Selesai pemberontakan Guntur Sitohang lalu menamatkan pendidikan SGBnya yang sempat tertunda. Lulus dari SGB Guntur kemudian diangkat menjadi Guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk mata pelajaran kesenian Sekolah Dasar (SD). Selama mengajar ia sering mendapatkan undangan dari pemerintah daerah Sumatera Utara atau pusat (Jakarta) untuk mengisi program terkait musik tradisional Batak Toba. Ia beberapa kali juga diundang untuk beraudiensi dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentunya soal Kebudayaan Batak. Tidak terhitung berapa penghargaan kepada Beliau oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan karena jasa-jasanya dalam pengembangan budaya Batak Toba.Kira-kira tahun 1980 Anton Sitohang diminta melatih grup tari, musik, dan nyanyian di Tapanuli Utara untuk mengikuti even-even kebudayaan, mulai kabupaten, propinsi, maupun tingkat Nasional.[1] Guntur Sitohang pernah mengharumkan nama Samosir saat perayaan Hari Anak Nasional. Ketika itu, anak-anak didik Guntur Sitohang (anak-anak SD dari Samosir) menjadi juara se-nasional dalam perayaan tersebut. Hadiah langsung diserahkan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhono.[3]
Di masa-masa pensiunnya (1999), Guntur Sitohang diangkat menjadi Penilik bidang kebudayaan Batak untuk sekolah-sekolah di Kabupaten Samosir. Ia pun tetap konsisten bermain musik meski tidak sesering seperti ketika muda dahulu. Dia lalu mendirikan Gondang Sabangunan Sianjur Mula-mula, sebuah grup musik yang sering diminta untuk mengisi upacara-upacara Adat Batak. Karena penalaman dan pengetahuannya itu pada tahun 2008 Guntur diangkat sebagai pembina dan penasehat Dewan Kesenian Samosir.[1]
Pembuat Alat Musik
[sunting | sunting sumber]Selain sebagai pemusik, Guntur Sitohang juga dikenal sebagai pembuat alat musik tradisional Batak Toba. Instrumen Musik Batak pertama yang dibuatnya adalah Sarune Etek. Profesi sebagai pembuat alat musik secara otodidak dimulainya sekitar tahun 1976. Seperti halnya bermusik, membuat alat musik dilakukannya secara empiris, atau dengan cara mengobservasi secara cerrnat alat musik yang ada. Istilah Orang Bataknya Mata guru roha sisean, yang artinya kurang lebih belajar dari apa yang dilihat. Mengenai kenapa Sarune Etek yang pertama, ini karena alat musik tersebut yang lebih sering dimainkan Guntur Sitohang dalam penampilan-penampilannya. Waktui berjalan Guntur Sitohang lalu mulai memproduksi alat musik Batak lainnya, seperti Sulim, Hasapi, Garantung, bahkan Taganing.[1]
Profesi membuat alat musik awalnya hanya untuk digunakan orang-orang dekat saja dan grup opera dimana Guntur Sitohang bermain. Namun lama-kelamaan instrumen yang dikerjakan Guntur dianggap awet dan memiliki kualitas suara yang prima. Guntur Sitohang pun kebanjiran pesanan mulai dari pemusik, gereja, instasi pendidikan, pemerintah maupun instansi swasta. Pemesannya pun berasal dari berbagai daerah di Indonesia, Medan, Jakarta, Menado, maupun Padang. Bahkan orang-orang mancanegara pun tertarik dengan karya Guntur, sebut saja Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Belanda, Israel dan Australia. Para pemesan karya Guntur itu ternyata bukan hanya dari kalangan praktisi Musik Batak saja, melainkan juga dari para kolektor pecinta benda-benda kesenian tradisional.
Soal kualitas yang bagus buatan Guntur bukanlah hal yang aneh. Hal ini mengingat dia adalah juga praktisi yang memainkan alat-alat musik tersebut. Guntur sendiri tidak pernah mengangkat karyawan untuk membantunya. Soal ini Guntur sangat ketat, menjaga kualitas adalah prioritas utamanya. Tidak masalah buat Guntur soal lamanya waktu pengerjaan. Untuk diketahui, mulai dari pemilihan bahan baku (memilih pohon, menebang, pengolahan kulit dan masih banyak lagi) sampai tahap pada penyempurnaan akhir (menjalin rotan dan memasang gantungan) Guntur sendirian mengerjakannya.
Soal harga buatannya beragam. Seruling atau Talatuit paling murah. Guntur mempersilahkan saja jika kedua alat musik tersebut digratiskan. Harga termahal adalah Gondang atau Tagading. Guntur menghargainya Rp 3 juta, jika komplet (plus gong, serunai besar dan pasangannya) Guntur mematok harga paling murah Rp 6 juta. Bukan maksud materialistis, pembuatan Tagading sangat sulit, belum lagi langkanya bahan-bahan pembuatnya.[8] Dari beberapa alat musik yang diproduksi sepanjang karier Guntur Sitohang, Taganing merupakan instrumen yang paling banyak dibuat.[1]
Akhir hidup
[sunting | sunting sumber]Guntur Sitohang, maestro kesenian Batak Toba akhirnya menghadap Yang Maha Kuasa pada hari Minggu 11 Juni 2017 dalam usianya yang ke-81 tahun. Ia dimakamkan beberapa hari kemudian di tanah kelahirannya, Harian Boho pada tanggal 16 Juni.[3][9]
Hingga akhir hayatnya Guntur masih menyumbangkan pemikiran-pemikirannya sebagai pembina dan penasehat dalam Dewan Kesenian Samosir. Ia diangkat Bupati Samosir, Mangindar Simbolon, pada tahun 2008.[1] Dalam kapasitasnya itu, Guntur mengkritik penggunaan keyboard dalam pesta-pesta Adat Batak. Dia tidak setuju jika pesta adat Batak yang musiknya hanya diisi dengan keyboard saja. Guntur juga mengkritik Gereja-gereja (Batak) yang tidak pernah lagi menggunakan alat musik tradisional Batak dalam prosesi ibadahnya. Menurutnya musik tradisional Batak sebagai warisan nenek moyang orang Batak harus tetap lestari, dan itu harus menjadi tanggung jawab kita semua, termasuk pemerintah. Guntur Sitohang sendiri memiliki obsesi yang menurutnya belum terwujud, yaitu, Samosir harus menjadi penggagas pelestarian musik tradisional.[3]
Empat tahun sebelum wafat Guntur Sitohang sempat tampil dalam World Drum Festival Danau Toba 2013. Yang menjadi kebanggaan buat Guntur waktu itu, dia bermain sepanggung bersama-sama dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Kini, di depan jenazah Guntur Sitohang yang sudah dibalut Ulos, salah satu anaknya, Martahan Sitohang, memetik hasapi dengan khidmat membawakan lagu Batak untuk yang terakhir kalinya buat sang Guru.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f g h i j k Jeperson Valerius, Silalahi (2009). Biografi Guntur Sitohang Sebagai Pemusik dan Pembuat Alat Musik Toba (PDF). Medan: Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-10-31. Diakses tanggal 2019-04-11.
- ^ Hutagalung, Maria Agnes (2017). Instrumen Garantung Pada Lagu Sianjur Mula Mula Karya Guntur Sitohang Dalam Aransemen Musik Etnik Batak (PDF). Yogyakarta: Jurusan Musik Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2018-11-02. Diakses tanggal 2019-04-12.
- ^ a b c d e "Selamat Jalan Maestro Batak Guru Guntur Sitohang". metrosiantar. 16 Juni 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-12. Diakses tanggal 12 April 2019.
- ^ a b "Selamat Jalan Maestro Batak Guru Guntur Sitohang". newtapanuli. 15 Juni 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-12. Diakses tanggal 12 April 2019.
- ^ a b Siallagan, Tuntun (16 Januari 2017). "Martogi Sitohang Ungkap Asal Usul Lagu 'O Jamila', Karya Bapaknya". batakgaul. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-12. Diakses tanggal 11 April 2019.
- ^ Anwar, Rosihan (2006). Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961-1965. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 9789794616130.
- ^ Sitompul, Martin (26 Desember 2018). "Drama Malam Natalan: Kisah Penangkapan Simbolon". historia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-18. Diakses tanggal 11 April 2019.
- ^ "Toba, Muara Tradisi yang Nyaris Punah". Liputan6online. 13 Agustus 2001. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-11. Diakses tanggal 10 April 2019.
- ^ Simanjuntak |, Coky (14 Juni 2017). "Sedihnya Martahan Sitohang Main Hasapi di Depan Jenazah Sang Ayah". batakgaul. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-12. Diakses tanggal 12 April 2019.