Hok Hoei Kan
Hok Hoei Kan | |
---|---|
Lahir | 6 Januari 1881 Batavia, Hindia Belanda |
Meninggal | 1 Maret 1951 Jakarta, Indonesia | (umur 70)
Pekerjaan | Politisi, anggota parlemen, pemimpin komunitas, dan tuan tanah |
Suami/istri | Lie Tien Nio |
Anak | 8 anak |
Orang tua |
|
Keluarga |
|
Penghargaan |
|
Penghargaan
|
Kan Hok Hoei Sia (Hanzi: 簡福輝舍; Pinyin: Jiǎn Fúhuī Shè; Pe̍h-ōe-jī: Kán Hok-hui Sià; 6 Januari 1881 - 1 Maret 1951), biasa dikenal sebagai Hok Hoei Kan atau H. H. Kan, dulu adalah seorang tokoh publik, negarawan, dan tuan tanah berlatar belakang Tionghoa Peranakan di Hindia Belanda (kini dikenal sebagai Indonesia).[1][2][3][4]
Ia memimpin pendirian Chung Hwa Hui (CHH), sebuah partai politik Tionghoa Indonesia, dan juga menjadi perwakilan CHH di Volksraad.[2][5][6] Ia mengadvokasi kerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda agar komunitas Tionghoa di Hindia Belanda dapat memperoleh kesetaraan rasial dan hukum, tetapi ia dikritik karena cenderung pro-Belanda dan dianggap tidak peduli dengan orang Indonesia yang lebih miskin.[2][4][6]
Keluarga dan kehidupan awal
[sunting | sunting sumber]Kan lahir dengan nama Han Khing Tjiang Sia di Batavia, ibu kota Hindia Belanda, pada sebuah keluarga 'Cabang Atas'.[7] Ayahnya, Han Oen Lee (1856—1893), menjabat sebagai Letnan Cina di Bekasi dan merupakan keturunan dari salah satu keluarga Tionghoa paling tua dan paling banyak diceritakan di Jawa, yakni keluarga Han dari Lasem.[8][9] Melalui ayahnya, Kan adalah keturunan dari Han Khee Bing, Letnan Cina (1749 – 1768), anak sulung dari Han Bwee Kong, Kapitan Cina (1727 – 1778), dan cucu dari Han Siong Kong (1673-1743).[8] Sebagai keturunan pejabat Cina, Kan pun mendapat gelar Sia sejak lahir.[7]
Ibunya, Kan Oe Nio (1850—1910), adalah salah satu orang terkaya di Batavia, dan merupakan anak dari Kan Keng Tjong (1797—1871), yang diangkat oleh Pemerintah Kekaisaran Cina pada jabatan mandarin tingkat tiga.[7] Han Khing Tjiang Sia lalu diadopsi oleh pamannya, Kan Tjeng Soen (1855—1896), yang kemudian mengubah namanya menjadi Kan Hok Hoei Sia, sehingga ia menjadi pewaris utama dari marga dan kekayaan dari kakek dari pihak ibunya.[9] Ibu angkatnya adalah Khouw Tjoei Nio (1854—1944), anak dari Khouw Tjeng Tjoan, Letnan Cina (1808—1880) dan kakak dari Khouw Kim An (1875—1945), Mayor Cina Batavia kelima.[7]
Kan dididik secara Eropa, dengan disekolahkan di Europeesche Lagere School (ELS) dan Koning Willem III School te Batavia (KW III).[2] Selain fasih berbahasa Melayu dan Belanda, ia pun diakui dapat berbicara dalam tujuh bahasa lain asal Eropa.[3]
Pada tahun 1899, ia menikahi sepupu pertamanya, Lie Tien Nio (1885—1944), anak dari Lie Tjoe Hong (1846—1896), Mayor Cina Batavia ketiga, dan juga cucu dari Kan Keng Tjong.[7][9] Istrinya adalah keturunan dari keluarga Lie dari Pasilian.[7] Melalui istrinya, Kan pun menjadi saudara ipar dari Lie Tjian Tjoen, Kapitan Cina yang merupakan suami dari Aw Tjoei Lan (1889—1965).[7] Kan dan istrinya dianugerahi delapan orang anak.[7][9][10]
Pada tahun 1905, Kan mendapat kesetaraan hukum dengan orang Eropa (gelijkgestelling), dan kemudian dikenal sebagai Hok Hoei Kan atau H. H. Kan.[9]
Karier politik
[sunting | sunting sumber]Karier politiknya dimulai di Dewan Kota Batavia dan sejumlah kamar dagang Cina (Siang Hwee).[3][11] Pada tahun 1918, saat Volksraad dibentuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk pertama kalinya, Kan ditunjuk sebagai anggotanya.[2][3][4] Ia pun tetap menjadi anggota, walaupun mendapat penolakan dari kalangan Cina dan pribumi Hindia Belanda, terutama yang menolak untuk bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda dan mengkampanyekan kemerdekaan.[4][5] Kan menjadi anggota Volksraad hingga dibubarkan oleh Jepang, yang menginvasi Hindia Belanda pada tahun 1942 selama Perang Dunia II.[3]
Pada tahun 1928, Kan memimpin pendirian Chung Hwa Hui (CHH), sebuah asosiasi politik yang terutama menarik dukungan dari orang Cina berpendidikan Belanda.[3][4][5][6] Bersama sejumlah orang, termasuk sepupu jauhnya, Han Tiauw Tjong, dan Loa Sek Hie, yang sama-sama menjadi anggota di Komite Eksekutif CHH, Kan memperjuangkan kesetaraan hukum antara orang Cina dan orang Eropa di Hindia Belanda.[4][5] Kan juga menolak sejumlah pembatasan yang dikenakan pada orang Cina di Hindia Belanda, seperti pembatasan kepemilikan lahan pertanian dan pajak yang berlebihan.[4][5] Walaupun begitu, CHH disebut sebagai 'klub Packard' oleh pers, karena para pemimpin CHH menggunakan mobil bermerek Packard, serta dikritik karena terlalu elitis dan tidak peduli dengan kekhawatiran sehari-hari dari Tionghoa Indonesia yang lain.[4][5][6]
Hubungan Kan dengan nasionalis Indonesia juga membingungkan.[2][5] Pada tahun 1927, Kan menolak perluasan hak pilih ke Volksraad, karena ia takut Volksraad akan didominasi oleh pribumi Indonesia.[2] Sikapnya yang pro-Belanda juga dikritik oleh Phoa Liong Gie, pemimpin faksi pemuda dari CHH yang lebih liberal dan pro-nasionalis.[2][5] Pasca terjadinya konflik terbuka mengenai dominasi Kan di CHH, Phoa akhirnya mengundurkan diri dari CHH dan kemudian duduk sebagai independen di Volksraad mulai tahun 1939.[2][5] Walaupun terlihat pro-Belanda, pada tahun 1936, Kan mendukung Petisi Soetardjo yang meminta agar Indonesia dimerdekakan dalam waktu sepuluh tahun ke depan sebagai bagian dari persemakmuran Belanda.[2][5]
Pada tahun 1932, dalam rangka mewakili perusahaan milik Tionghoa Indonesia, Kan pergi ke Tiongkok, dan menjadi dekat dengan Konsul Jenderal Tiongkok untuk Hindia Belanda.[11] Pada tahun 1934, kamar dagang Cina di Hindia Belanda resmi dibentuk, dengan Konsul Jenderal ditawari menjadi presiden kehormatannya, sementara Kan menjadi presiden.[11] Hal tersebut pun memicu kemarahan Gubernur Jenderal, karena kamar dagang tersebut menunjukkan kedekatan dengan Republik Tiongkok, sehingga Kan akhirnya mengundurkan diri dari jabatan presiden pada kamar dagang tersebut.[11] Pada tahun 1935, Kan pergi ke Belanda untuk mempromosikan hubungan yang lebih baik antara komunitas Tionghoa Indonesia dengan pemerintah Belanda.[11]
Kan lalu mendapat Officer of the Order of Orange-Nassau pada tahun 1921, dan Knight of the Order of the Netherlands Lion pada tahun 1930, sebagai penghargaan terhadap jasanya untuk Raja Belanda.[3]
Pendudukan Jepang dan kematian
[sunting | sunting sumber]Saat menginvasi Jawa pada tahun 1942, Jepang menahan Kan bersama pemimpin pemerintah Hindia Belanda lain, karena aktivitas anti-Jepang mereka.[3] Kan dipenjara di Tjimahi hingga Jepang menyerah pada tahun 1945.[3][10]
Ia tidak melanjutkan aktivitas politiknya pasca Perang Dunia II, dan akhirnya meninggal di rumahnya di Jl. Teuku Umar, Menteng pada tahun 1951.[3][10]
Keturunan[12]
[sunting | sunting sumber]Silsilah dari Hok Hoei Kan | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
|
Catatan
[sunting | sunting sumber]- ^ Tempo. Jakarta: Badan Usaha Jaya Press Jajasan Jaya Raya. 1985. Diakses tanggal 15 June 2019.
- ^ a b c d e f g h i j Institute of Southeast Asian Studies (1997). Political Thinking of the Indonesian Chinese, 1900-1995: A Sourcebook (dalam bahasa Inggris). Singapore: NUS Press. ISBN 9789971692018. Diakses tanggal 15 June 2019.
- ^ a b c d e f g h i j Setyautama, Sam (2008). Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 9789799101259. Diakses tanggal 15 June 2019.
- ^ a b c d e f g h Suryadinata, Leo (2012). Southeast Asian Personalities of Chinese Descent: A Biographical Dictionary, Volume I & II (dalam bahasa Inggris). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 9789814345217. Diakses tanggal 15 June 2019.
- ^ a b c d e f g h i j Lohanda, Mona (2002). Growing pains: the Chinese and the Dutch in colonial Java, 1890-1942 (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. ISBN 9789799722904. Diakses tanggal 9 January 2017.
- ^ a b c d Dieleman, Marleen; Koning, Juliette; Post, Peter (2010). Chinese Indonesians and Regime Change (dalam bahasa Inggris). Amsterdam: BRILL. ISBN 9789004191211. Diakses tanggal 15 June 2019.
- ^ a b c d e f g h Haryono, Steve (2017). Perkawinan Strategis: Hubungan Keluarga Antara Opsir-opsir Tionghoa Dan 'Cabang Atas' Di Jawa Pada Abad Ke-19 Dan 20 (dalam bahasa Inggris). Steve Haryono. ISBN 9789090302492. Diakses tanggal 25 May 2019.
- ^ a b Salmon, Claudine (1991). "The Han Family of East Java. Entrepreneurship and Politics (18th-19th Centuries)". Archipel. 41 (1): 53–87. doi:10.3406/arch.1991.2711. Diakses tanggal 11 March 2016.
- ^ a b c d e "13. Han Oen Lee's widow and her three children". Chinese Indonesian Heritage Center. Chinese Indonesian Heritage Center. 22 May 2017. Diakses tanggal 15 June 2019.
- ^ a b c "16. H.H. Kan's last home: Teuku Umar 15, Jakarta". Chinese Indonesian Heritage Center. Chinese Indonesian Heritage Center. 22 May 2017. Diakses tanggal 15 June 2019.
- ^ a b c d e Suryadinata, Leo (2015). Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-4th). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 9789814620505. Diakses tanggal 15 June 2019.
- ^ "Kan Han Tan". www.kanhantan.nl. Leiden University. Diakses tanggal 23 November 2019.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- Haris, Syamsuddin (2007). Partai dan Parlemen Lokal Era Transisi Demokrasi di Indonesia: Studi Kinerja Partai-Partai di DPRD Kabupaten/Kota. TransMedia. ISBN 978-9797990527.
- Lohanda, Mona (2002). Growing Pains: The Chinese and The Dutch in Colonial Java, 1890-1942. Yayasan Cipta Loka Caraka.
- Salmon, Claudine (1991). The Han Family of East Java. Entrepreneurship and Politics (18th-19th Centuries). Archipel, Vol 41.
- Salmon, Claudine (1997). La communauté chinoise de Surabaya. Essai d'histoire, des origines à la crise de 1930. Archipel, Vol 68.
- Salmon, Claudine (2004). The Han Family from the Residency of Besuki (East Java) as Reflected in a Novella by Tjoa Boe Sing (1910). Archipel, Vol 53.
- Suryadinate, Leo (1995). Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 9813055030.
- Suryadinata, Leo (2005). Peranakan Chinese Politics in Java, 1917-1942. Marshall Cavendish Academic. ISBN 9812103600.
- Suryadinate, Leo (2012). Southeast Asian Personalities of Chinese Descent: A Biographical Dictionary. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-9814345217.