Lompat ke isi

Hadiah menurut Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hadiah menurut Islam adalah suatu pemberian yang diberikan seseorang kepada orang lain hanya sebagai bentuk penghormatan semata. Suatu pemberian dapat disebut hadiah hanya jika bentuk pemberiannya berupa harta yang dapat berpindah-pindah tempat seperti pakaian dan budak. Pemberian hadiah dianjurkan di dalam Al-Qur'an pada Surah Al-Baqarah ayat 177 dan Surah An-Nisa' ayat 4. Praktiknya sudah dicontohkan oleh Muhammad sebagai nabi dalam Islam.

Kedudukan[sunting | sunting sumber]

Hadiah merupakan salah satu bentuk hibah karena terjadi perpindahan harta dari satu pemilik ke pemilik lainnya. Namun suatu perpindahan kepemilikan harta hanya disebut sebagai hadiah jika harta yang berpindah kepemilikan sifatnya dapat dipindah-pindah tempat.[1] Sedangkan harta berupa rumah atau lahan yang termasuk jenis properti tidak dapat dijadikan sebagai hadiah.[2] Selain itu, hadiah berbeda dari hibah karena pemberian hadiah tidak memerlukan ijab qabul sedangkan hibah dipersyaratkan mengadakan ijab qabul.[1]

Imam Syafi'i menyatakan bahwa hadiah berbeda dengan sedekah ditinjau dari tujuan pemberiannya. Hadiah hanya ditujukan sebagai pemberian untuk penghormatan kepada orang yang diberi hadiah tanpa adanya harapan akan balasan apapun. Sedangkan sedekah merupakan pemberian kepada orang lain dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan pahaia dari-Nya.[3]

Dasar hukum[sunting | sunting sumber]

Al-Qur'an[sunting | sunting sumber]

Dasar hukum pemberian hadiah ialah Surah Al-Baqarah ayat 177 dan Surah An-Nisa' ayat 4.[4] Kedua ayat ini merupakan anjuran kepada seorang muslim untuk membagikan sebagian harta yang dimilikinya kepada orang lain yang membutuhkannya. Pemberian harta diutamakan dari yang memiliki hubungan terdekat yakni kerabat, tetangga dan masyarakat.[1]

Hadis[sunting | sunting sumber]

Dalam hadis riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Muhammad sebagai nabi dalam Islam diketahui tidak menerima sedekah tetapi selalu menerima hadiah. Muhammad diketahui menerima hadiah baik dari seorang Muslim maupun non-Muslim.[5] Hadiah menjadi salah satu sumber rezeki yang diterima oleh Muhammad yang kemudian menjadi nafkah bagi keluarganya.[6]

Imam Bukhari meriwayatkan hadis yang menyatakan bahwa setiap Muhammad memperoleh pemberian makanan, ia akan menanyakan tujuannya sebagai sedekah atau hadiah. Jika pemberian makanan sebagai sedekah, maka Muhammad akan membagikan makanan tersebut kepada para Sahabat. Sementara itu, jika pemberian makanan sebagai hadiah maka Muhammad akan makan bersama dengan para Sahabat.[5]

Jenis[sunting | sunting sumber]

Contoh pemberian yang termasuk hadiah adalah pakaian dan budak.[1] Imam Bukhari dan Abu Dawud meriwayatkan hadis dari Aisyah yang menyatakan bahwa Muhammad sebagai nabi dalam Islam memberikan hadiah balasan atas hadiah yang diterimanya dari orang lain.[7] Dalam Shahih Bukhari terdapat sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Muhammad telah menerima hadiah berupa seekor keledai putih dari Raja Ailah. Muhammad kemudian membalas dengan memberikan hadiah berupa pakaian. Periwayatan hadis ini dari Abu Humaid.[5] Hadiah berupa budak pernah diterima Muhammad dari Raja Mesir. Budak ini bernama Mariaah al-Qibthiyah. Muhammad kemudian menikahinya dan memiliki seorang anak laki-laki bernama Ibrahim.[8]

Keharaman[sunting | sunting sumber]

Para ulama dalam ushul fikih telah menetapkan suatu konsep yang disebut sadd adz-dzari’ah yang berarti mencegah sesuatu yang menjadi perantara kerusakan. Dalam konsep ini diadakan penolakan atas suatu bentuk kerusakan maupun pencegahan adanya sarana yang menyebabkan seseorang melakukan kerusakan.[9] Salah satu kasusnya ialah pemberian hadiah dari orang yang memiliki perkara di pengadilan kepada hakim yang sedang menangani perkara tersebut. Status pemberian hadiah yang awalnya mubah berubah menjadi haram karena adanya kekhawatiran bahwa hadiah yang diberikan dapat mempengaruhi keputusan yang ditetapkan oleh hakim sehingga menjadi tidak adil.[10]

Pemberlakuan syariat[sunting | sunting sumber]

Dalam ajaran Islam, hadiah menjadi salah satu penyebab kepemilikan harta perseorangan.[11] Hadiah yang diterima secara tidak terduga termasuk salah satu jenis harta yang wajib hukumnya dihitung dalam penunaian zakat ketika telah mencapai nisab. Statusnya sebagai salah satu jenis harta karun. Besarnya zakat yang ditunaikan pada hadiah adalah 20%.[12]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d Hasan 2018, hlm. 122.
  2. ^ Hasan 2018, hlm. 121.
  3. ^ Hasan 2018, hlm. 120-121.
  4. ^ Hasan 2018, hlm. 121-122.
  5. ^ a b c Anis 2013, hlm. 22.
  6. ^ Anis 2013, hlm. 19-22.
  7. ^ Hasan 2018, hlm. 118.
  8. ^ Nasution, Syamruddin (2013). Sejarah Peradaban Islam (PDF). Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau. hlm. 32–33. 
  9. ^ Abdullah dan Darmini 2021, hlm. 91.
  10. ^ Abdullah dan Darmini 2021, hlm. 92.
  11. ^ Sudrajat, A., dkk. (2016). Dinul Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PDF). Yogyakarta: UNY Press. hlm. 359. ISBN 978-602-7981-95-9. 
  12. ^ Rohidin (Mei 2020). Pendidikan Agama Islam: Sebuah Pengantar (PDF). Yogyakarta: FH UII Press. hlm. 193. ISBN 978-602-53159-2-3. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]