Hamid Roesdi
Hamid Roesdi | |
---|---|
Informasi pribadi | |
Lahir | 1911 Pagak, Kabupaten Malang, Keresidenan Pasuruan, Hindia Belanda |
Meninggal | 8 Maret 1949 Malang, Jawa Timur, Indonesia |
Suami/istri | Siti Fatimah Hamid Roesdi |
Karier militer | |
Pihak | Indonesia |
Dinas/cabang | TNI Angkatan Darat |
Pangkat | Mayor TNI |
Pertempuran/perang | Revolusi Nasional Indonesia |
Sunting kotak info • L • B |
Mayor TNI Hamid Roesdi, juga dieja Hamid Rusdi (1911 - 8 Maret 1949) merupakan seorang pejuang asal Malang yang berhasil menumpas PKI pada tahun 1948 di Donomulyo.
Kehidupan sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia
[sunting | sunting sumber]Latar belakang dan masa kecil
[sunting | sunting sumber]Hamid Roesdi lahir dari pasangan H. Umar Roesdi dan Mbok Teguh. Ayahnya dahulu tergolong orang terkaya di kawasan Pagak. Dia memiliki banyak tanah. Sehingga salah satu rumahnya telah diwakafkan demi sebuah lembaga pendidikan (rumah pertama Hamid saat itu berada di kompleks SMA Negeri 1 Pagak. Ayahnya mewakafkan rumah asli tersebut karena beliau ingin memiliki rumah yang dekat dengan pinggiran jalan. Tujuannya, sekalian akan digunakan untuk membuka usaha. Akhirnya, mendapatkan rumah baru di Jalan Hamid Roesdi No. 117, RT 32 RW 08, Desa Sumbermanjing Kulon, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang, di rumah inilah Hamid Roesdi menghabiskan masa kecilnya di sana bersama saudara-saudaranya. Di keluarga tersebut, Hamid Roesdi yang lahir pada tahun 1911 adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Kakaknya bernama Nitiduwiryo. Sedangkan adik-adiknya di antaranya Hasyim, H Shaleh, Soekarni, Tayyib Roesdi, Sanusi dan Abdul Radjak.
Sebagaimana layaknya anak kecil, Hamid tidak beda dengan teman sebaya di kampungnya. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bermain-main. Yang membedakan, kalau teman sebayanya suka bermain bola atau layang-layang. Sedangkan, Hamid kecil lebih suka bermain pistol-pistolan. Dari hobinya tersebut, Hamid Roesdi memiliki bakat menembak.
Masa remaja hingga menjadi tentara Jepang
[sunting | sunting sumber]Selain memiliki bakat menembak, Hamid Roesdi juga aktif berorganisasi. Ketika menginjak remaja dan mulai dewasa, dia aktif bergabung dengan organisasi pemuda bentukan Nahdlatul Ulama. Namanya Pandu Ansor. Di organisasi inilah, mental Hamid digembleng. Dari Pandu Ansor itu, dia memahami arti nasionalisme dan heroisme untuk menentang penjajah. Maka, ketika ada gerakan melawan penjajah Belanda hingga pemberontakan terhadap Partai Komunis Indonesia, Hamid selalu berada di garda depan. Jiwa keberaniannya sudah tertempa di Pandu Ansor. Setelah ikut Pandu Ansor, Hamid Roesdi bergabung dengan Majelis Muslimin ala Indonesia.
Semasa remaja, Hamid Roesdi tak hanya aktif di Organisasi Pandu Ansor (kini GP Ansor) saja. Dia juga rajin bekerja untuk mempersiapkan masa depannya. Kali pertama bekerja, Hamid Roesdi di Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru sebagai sopir. Setelah menjadi sopir, Hamid menjadi sipir penjara. Itu karena pada 1943, Hamid sudah dilatih menjadi tentara. Beliau dilatih oleh tentara Jepang setelah Nippon (nama lain Jepang) merebut Indonesia yang awalnya dijajah Belanda. Jepang kemudian angkat kaki setelah tragedi bom atom di Kota Hiroshima dan Nagasaki. Sebelum Jepang angkat kaki dari Indonesia, Hamid sudah terlatih menjadi tentara. Ketika Indonesia melucuti senjata tentara Jepang, Hamid ikut serta dalam pelucutan itu. Dengan demikian, Hamid dilatih Jepang, tapi dengan alasan membela Tanah Air dia harus melucuti tentara yang sudah melatihnya itu. Saat pelucutan berlangsung, Hamid Roesdi jadi komandannya.
Awal kemerdekaan Republik Indonesia
[sunting | sunting sumber]Menjadi anggota TNI
[sunting | sunting sumber]Selanjutnya, ketika Indonesia melakukan perekrutan untuk dijadikan tentara, Hamid terpilih. Awal-awal kemerdekaan, TNI masih bernama Badan Keamanan Rakyat. Ketika diangkat menjadi tentara, pangkat pertama Hamid adalah letnan satu. Setelah itu, karier Hamid Roesdi terus menanjak. Hingga pada akhirnya dia berpangkat letnan kolonel. Hanya saja pada 1948, Hamid harus turun pangkat menjadi mayor. Penurunan satu strip pangkat ini tidak hanya untuk Hamid, tapi juga untuk semua tentara di Indonesia. Ini setelah ada kebijakan bernama Rekonstruksi dan Rasionalisasi (ReRa). Tujuan ReRa adalah untuk melakukan penghematan keuangan negara. Dengan menurunkan satu pangkat tentara, maka dana untuk gaji bisa ditekan. Kebijakan ini juga untuk menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran negara.
Sedangkan dalam buku Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo dan kawan-kawan dijelaskan, kalau Hamid Roesdi pernah bertugas di Donomulyo. Ini setelah PKI begitu mengakar di daerah ini. Di daerah paling barat dan selatan di Kabupaten Malang itu, sudah didirikan batalyon khusus yang dipimpin oleh Tjokro Bagong. Dia adalah gembong PKI terbesar yang waktu itu sangat kuat pengaruhnya di Malang. Hingga kemudian, salah seorang anak buah Tjokro Bagong yakni Dji'an berhasil ditangkap di Donomulyo oleh anak buah Hamid Roesdi. Dia kemudian dibawa ke Talangagung, lalu dipindahkan ke Turen. Dji'an terbunuh di Turen. Sebelumnya, Muso terbunuh pada 31 Oktober 1948. Muso sendiri adalah pimpinan tertinggi PKI dalam pemberontakan berdarah di Madiun. Menumpas PKI di Malang Selatan merupakan salah satu prestasi Hamid Roesdi.
Penumpasan PKI di wilayah Malang Selatan, bukan akhir perjuangan Hamid Roesdi. Sebab, dia masih harus menghadapi tentara Belanda. Suatu hari pada 1948 silam, Hamid Roesdi panik. Karena pasukan Belanda mulai berhasil menduduki beberapa daerah di Kota Malang. Bersama pasukannya, dia memilih bersembunyi di daerah Bululawang. Di tempat yang bisa ditempuh sekitar 30 menit dari Kota Malang ini, Hamid menyusun kekuatan. Namun, Hamid lagi-lagi tidak bisa tenang di tempat tersebut. Keberadaannya selalu diintai Belanda. Strategi gerilya dengan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain memang menjadi pilihan Hamid. Dia melakukan gerilya untuk menghindari Belanda dan juga untuk melakukan misi tertentu, seperti memerangi ideologi Partai Komunis Indonesia. Setelah bikin markas di Bululawang, dia bergeser ke Turen. Dia tidak lama berada di Turen. Karena persenjataannya tidak lengkap. Selanjutnya, Hamid bergerilya ke daerah Sempal Wadak, Bululawang.
Dalam melakukan gerilya, ada dua strategi yang dilakukan Hamid untuk bisa lolos dari kepungan Belanda. Strategi pertama adalah sistem estafet. Cara ini dipakai untuk mengantar surat perintah pelaksanaan yang dia keluarkan dari pos satu ke pos lainnya. Agar strateginya tidak diketahui Belanda, surat perintah berpindah dari satu tangan ke tangan lain, sehingga Belanda akan sulit melacaknya. Strategi lainnya adalah strategi "surat pantat". Sistem ini berisi bila isi surat sangat penting. Disebut surat pantat karena surat rahasia itu dimasukkan ke dalam pantat seorang perempuan agar luput dari pengeledahan. Karena pengantarnya adalah perempuan yang menyamar sebagai mlijo atau pedagang yang hendak berbelanja ke pasar. Hamid memanfaatkan perempuan dalam mengantarkan suratnya karena ketika itu perempuan lebih leluasa dan bebas untuk berkomunikasi dengan para gerilyawan. Tentara Belanda jarang sekali menggeledah tubuh perempuan dengan sangat detail.
Kisah cinta Hamid Roesdi
[sunting | sunting sumber]Perempuan yang dinikahi Hamid Roesdi adalah Geetrada Josephine Schwarz. Geetrada adalah anak dari pasangan Victor Schwarz dan Marinten. Victor Schwarz adalah orang Belanda berkebangsaan Jerman, sedangkan Marinten adalah orang Lamongan. Victor ditugaskan Kerajaan Belanda untuk menjadi pejabat perkebunan di daerah Turen, Kabupaten Malang dan sekitarnya. Pasangan ini menetap di Dusun Krajan RT 2 RW 4, Desa Tawangrejeni, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang. Di rumah itulah, cinta Hamid Roesdi dan Geetrada bersemi. Cinta mereka bersemi pun juga karena mereka sama-sama penyuka kuda. Dalam perjalanan selanjutnya, kedua insan itu menikah sekitar tahun 1946. Dalam proses menikah juga tidak ada hambatan, karena meski orang tua Hamid Roesdi termasuk tokoh muslim yang sudah haji, dan ayah Geetrada adalah tuan tanah Belanda, mereka pun setuju.
Setelah menikah, Geetrada masuk Islam dan berganti nama menjadi Siti Fatimah. Sejak saat itulah, Siti Fatimah selalu menggunakan kerudung dan kebaya seperti kebanyakan orang Jawa. Namun, perjalanan cinta keduanya mendapat banyak hambatan. Siti Fatimah yang berwajah bule menjadi incaran tentara KNIL, atau secara harfiah berarti Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Apalagi dia adalah istri Hamid Roesdi. Bukan hanya itu, meski telah menjadi istri seorang pejuang Indonesia, Siti Fatimah kerap mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari sebagian masyarakat karena wajah Indo-nya itu. Siti Fatimah sangat khawatir jika keluar rumah, lalu bertemu dengan orang Indonesia yang menjadi mata-mata KNIL. Maka, Siti Fatimah harus sering bersembunyi-sembunyi saat keluar rumah mendampingi sang suami. Sehingga banyak juga yang tidak tahu jika Hamid Roesdi memiliki istri blasteran. Praktis, Siti Fatimah sering diajak berpindah-pindah tempat karena sang suami ditugaskan di berbagai tempat. Keduanya belum bisa merasakan hubungan yang benar-benar indah karena selalu dihantui rasa tidak aman. Hingga pada suatu malam pada tahun 1949, Hamid Roesdi berpesan kepada sang istri agar bisa hidup mandiri dan dapat menjaga diri, terutama soal keselamatannya.
Pengguna pertama bahasa walikan
[sunting | sunting sumber]Bahasa walikan berasal dari pemikiran para pejuang yang tergabung dalam kelompok Gerilya Rakyat Kota (GRK) yang dipimpin Mayor Hamid Roesdi. Dia jugalah salah satu yang mendorong untuk menciptakan bahasa khusus yang bisa dijadikan kode atau sandi saat berkomunikasi dengan anggota kelompoknya. Bahasa ini mulai berkembang sekitar 1949 silam, ketika Agresi Militer Belanda ke-2. Pada saat itu, karena banyaknya mata-mata serta tidak jelas mana yang lawan dan kawan, para pejuang akhirnya memikirkan cara tertentu untuk mengirim pesan. Akhirnya tercetuslah ide untuk menggunakan bahasa walikan atau boso walikan.
Wafat
[sunting | sunting sumber]Hamid Roesdi gugur sebagai bunga bangsa di usia 38 tahun pada 8 Maret 1949 bersama keempat temannya. Beliau dan keempat temannya ditembak bersamaan oleh pasukan Belanda di pinggir sungai di Wonokoyo, Kedungkandang. Kemudian, dimakamkan di pemakaman Desa Wonokoyo. Namun, makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Suropati, Kota Malang pada akhir tahun 1949. Nama beliau kemudian diabadikan sebagai nama jalan maupun terminal di Kota Malang, bahkan diabadikan sebagai nama untuk bumi perkemahan.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- Koran Jawa Pos, Radar Malang, Edisi Khusus Spirit Kemerdekaan 2016, 17 Agustus 2016